LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
makalah ini membahas tentang kurikulum, landasan pengembangan kurikulum pendidikan agama islam, pengertian landasan, landasan pengembangan kurikulum pai, landasan teologis, landasan filosofis, filsafat dan tujuan pendidikan, aliran filsafat pendidikan, manfaat filsafat pendidikan, landasan psikologis, psikologi perkembangan, psikologi belajar, landasan sosiologis, landasan teknologis,
A. Latar Belakang
Kurikulum
merupakan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar
di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah yang bukan hanya meliputi semua kegiatan
yang direncanakan, melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah
pengawasan sekolah.[1]
Semua itu digunakan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan
memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan
pendidikan. Sejalan dengan ketentuan tersebut, perlu ditambahkan bahwa
pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional dan pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan undang Undang Dasar 1945.[2]
Kurikulum
dewasa ini seiring berkembangnya zaman maka semakin berkembang pula
kurikulumnya. William B. Ragan, sebagai dikutip S. Nasution, berpendapat bahwa
kurikulum meliputi seluruh program dan kehidupan di sekolah. S. Nasution
menyatakan, ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum. Di antaranya :
pertama, kurikulum sebagai produk (sebagai hasil pengambangan kurikulum),
kedua, sebagai program (alat yang dilakukan sekolah untuk mencapai tujuan),
ketiga , kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh siswa
(sikap, keterampilan tertentu), dan keempat, kurikulum sebagai pengalaman
siswa.[3]
Mengingat
pentingnya kurikulum, maka dalam pengembanganya diperlukan landasan atau asas
yang kuat, melalui pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dalam makalah ini,
kami akan mencoba mengupas sedikit tentang landasan atau asas pengembangan
kurikulum.
B. PENGERTIAN
LANDASAN
Menurut
Hornby dalam buku” Kurikulum dan Pembelajaran” Landasan adalah
suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang
mendasari. Contohnya: seperti landasan kepercayaan agama, dasar atau titik
tolak.[4]
Secara
bahasa landasan berarti tumpuan, dasar ataupun alas, karena itu landasan
merupakan tempat bertumpu atau titik tolak maupun dasar pijakan. Atau dapat
pula diartikan sebagai asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik
tolak.
Landasan itu
sama dengan dasar-dasar. Seringkali istilah pembinaan dan pengembangan dalam
pemakaiannya menyatu dan kabur. Pembinaan
menunjukkan pengertian bahwa suatu upaya atau kegiatan mempertahankan,
penyempurnaan dan perbaikan yang telah ada dianggap baik berdasarkan suatu
ukuran/kriteria tertentu mencapai sasaran yang diharapkan. Sedangkan Pengembangan di sini menunjukkan
pada kegiatan yang menghasilkan alat, sistem atau cara baru melalui
langkah-langkah penyusunan, pelaksanaan dan penyempurnaan atas dasar penilaian
yang dilakukan selama kegiatan pengembangan tersebut.[5]
Dengan
demikian landasan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan, landasan,
suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum.
C. Landasan
Pengembangan Kurikulum PAI
Dalam
pengembangan kurikulum PAI diperlukan landasan atau asas yang kuat. Apabila
proses pengembanganya secara acak-acakan dan tidak memiliki landasan yang kuat,
maka output pendidikan yang dihasilkan tidak akan terjamin kualitasnya. Landasan Pengembangan kurikulum PAI, pada hakikatnya adalah faktor-faktor
yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang kurikulum
ketika hendak mengembangkan atau merencanakan suatu kurikulum lembaga
pendidikan.[6]
Asas-asas
utama dalam pengembangan kurikulum PAI yaitu asas teologis, filosofis,
psikologis, sosiokultural, ilmu pengetahuan dan teknologi.
D. Landasan Teologis
Dasar teologis, adalah dasar yang ditetapkan nialai-nilai ilahi yang terdapat pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang merupakan nilai yang kebenarannya mutlak dan universal.
Prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki
keterkaitannya dengan sumber pokok agama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Prinsip
yang ditetapkan Allah dan diperintahkan Rasulullah berikut ini dapat dijadikan
pegangan dasar kurikulum tersebut:
1. Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai
kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan
berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qisas :
77)
2. Sabda Rasulullah : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia
menguasai ilmunya dan barang siapa menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di
akhirat) hendaklah ia menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya,
maka hendaklah ia menguasai ilmu keduanya. (Hadist Nabi)
Dari dasar-dasar kurikulum tersebut diaplikasikan dalam kurikulum
pendidikan formal yang terdapat pada kurikulum pendidikan agama Islam. Merujuk
kurikulum pendidikan formal yang terdapat di sekolah dan madrasah di Indonesia,
maka batasan atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 Sistem Pendidikan Nasional.
Dasar kurikulum secara umum dapat ditarik secara khusus ke dalam kurikulum
Pendidikan Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar pokoknya.
Dalam mengembangkan kurikulum sebaiknya berlandaskan pada Pancasila
terutama sila ke satu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di Indonesia menyatakan bahwa
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing individu. Dalam kehidupan, dikembangkan sikap
saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat terbina
kehidupan yang rukun dan damai.[7]
E. Landasan Filosofis
1. Pengertian
filsafat
Seorang
pengembang kuriulum dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum harus
memperhatikan falsafah, baik falsafah pengembangan, falsafah lembaga pendidikan
dan falsafah pendidik.[8] secara
etimologis filsafat berasal dari dua kata yaitu philare yang berarti
cinta dan shophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta pada
kebijaksanaan.
Pengertian
umum filsafat adalah cara berfikir radikal, menyeluruh dan mendalam atau
berfikir yang mengupas sesuatu dengan sedalam-dalamnya.[9]
Adapun yang dimaksud dengan filsafat sebagai landasan kurikulum adalah supaya
dalam pengembangan kurikulum didapatan dari hasil secara mendalam, analitis,
melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum
sebagai rencana(tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan di
sekolah/madrasah.
2. Filsafat dan Tujuan
Pendidikan
Pandangan
filsafat sangat erat dibutuhkan dalam pendidikan, tetutama dalam menentukan
arah dan tujuan pendidikan.[10]
Pandangan yang dianut oleh suatau bangsa/ kelompok masyarakat tertentu atau
perseorangan akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
sedangkan pendidkan sendiri pada dasarnya merupakan rumusan yang komprehensif
mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan pendidikan memuat
pertanyaan-petanyaan mengenai berbagai kemanpuan yang diharapkan dapat dimiliki
peserta didik selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianutnya.
Dengan demimkian suatu komunitas akan memiliki keterkaitan sangat erat dengan
rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya.
Filsafat
pendidikan mengandung nilai-nilai dan cita-cita masyarakat, sehingga ketika
filsafat itu menjadi landasan pendidikan maka akan tergambarkan manusia ideal
yang diharapkan, karena filsafat pendidikan itu merupakan pandangan hidup
masyarakat. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal, yakni: cita-cita
masyarakat dan kebutuhan peserta didik.[11]
Berkaitan
dengan tujuan pendidikan, terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan sebagai
sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan. Herbert Spencer menggungkapkan lima
kajian dalam merumuskan tujuan pendidikan, yakni:[12]
1) Self
Preservation, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
kelangsungan hidup, individu harus dapat menjaga kelangsungan hidupnya dengan
sehat, mencegah penyakit, dan hidup secara teratur.
2) Securing the
necessities of life, yaitu individu harus sanggup mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhaan hidup dengan melakuakan suatu pekerjaan.
3) Rearing of
family, yiatu individu harus mampu bertanggung jawab atas pendidikan anak dan
kesejahtreraan keluarganya.
4) Maintaining
proper sosial end political relatioships, yaitu setiap
individu adalah makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan
negara, dalam artian harus bisa memelihara hubungan baik dan memenuhi
kewajiban.
5) Enjoiying
leisure time, yaitu individu harus sanggup memanfaatkan waktu
senggangnya dengan memilih kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menambah
kenikmatan dan gairah hidup.
Tujuan
Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yaitu pancasila. Hal ini memiliki arti bahwa pendidikan
di Indonesia harus dapat membawa peserta didik agar menjadi manusia yang
ber-Pancasila. Maksudnya bahwa landasan dan arah yang ingin diwujudkan adalah
yang sesuai dengan Pancasila itu sendiri.[13]
Rumusan tujuan nasional ini tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan Pancasila yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak kehidupan
berbangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Rumusan tujuan tersebut
merupakan keinginan luhur yang harus menjadi inspirasi dan sumber bagi para
guru, kepala sekolah, para pengawas pendidikan, dan para pembuat kebijaksanaan
dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum
senantiasa konsekuen dan konsisten merefleksikan nilai-nilai tersebut. Adanya
itu akan diharapkan manusia menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu,dan
beramal dalam kondisi yang serasi, selaras, dan seimbang.
3. Aliran-aliran
Fisafat Pendidikan
Pengembangan
kurikulum membutuhkan fisafat sebagai acuan atau landasan berfikir.
Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab
permasalah-permasalahan berkisar: (1) Bagiaman seharusnya tujuan pendidikan itu
dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana seharusnya diajarkan
kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya dilakukan pendidik dan
peserta didik. Menurut Redja Mudyaharjo, terdapat tiga sitem pemikiran filsafat
yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya dan
pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu Idealisme, Realisme dan
Pragmatisme.[14]
Apabila
aliran idealis yang dianut, maka perancang kurikulum harus meyakini sepenuhnya
bahwa manusia memiliki pemikiran benar yakni adalah akal (a reality of the
mind), kebenaran merupakan ide ( truth as ideas), dan nilai
bersumber pada dunia( values from the ideas world). Atas dasar ini,
aliran ini memandang bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Kebaikan itu
bersumber dari Tuhan dan alam semesta.[15]
Filsafat ini umumnya diterapkan
disekolah yang berorientasi religius, hampir semua agama menganut filsafat ini.
Disamping mempercayai wahyu dari tuhan sebagai kebenaran mutlak, filsafat ini
juga sangat mengutamakan pendidikan intelektual dengan menentukan standar mutu
yang tinggi.[16]
Apabila
Aliran realisme yang dianut, maka perancang kurikulum harus meyakini sepenuhnya
bahwa realitas yang sesungguhnya benda (a reality of things), kebenaran ini
diperoleh melalui observasi (truth throught observation) dan nilai bersumber
dari alam semesta(values of natural). Atas dasar ini, aliran ini
memandang bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang tidak mengerti
apa-apa, manusia akan mengetahui kebenaran dan nilai setelah mempelajari
realitas dunia melalui berbagai percobaan.[17]
Sekolah yang menganut aliran ini mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap
hasil dari penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai
disiplin ilmu, dimulai dengan teori, prinsip yang fundamental kemudian praktik
dan aplikasinya. Pelajaran-pelajaran yang bukan merupakan pengetahuan esensial
seperti keterampilan dan seni dianggap tidak perlu. Minat anak didik tidak
diperhatikan, justru peserta didik diharapkan bisa menaruh perhatiannya
terhadap pelajaran akademis dari semua disiplin ilmu, karena penguasaan tentang
semua itu adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi kelanjutan studi dan kehidupan
di masyarakat.[18]
Apabila Aliran
pragmatisme yang dianut, maka perancang kurikulum harus meyakini sepenuhnya
bahwa pada dasarnya realitas yang sesungguhnya adalah dunia pengalaman (anexperiental
reality), kebenaran merupakan sesuatu yang dialami (
truth as what works), dan nilai bersumber dari masyarakat ( values
from sosiety). Atas adasar ini manusia adalah netral, dalam arti tidak baik
dan tidak bodoh. Adapun kebaikan dan keahliannya merupakan hasil dari
pengalaman hidupnya. Kebaikan adalah sesuatu yang baik bagi masyarakat, tujuan
hidup adalah mengabdi kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan
manusia.[19]
Aliran ini disebut juga sebagai aliran instrumentalisme, yang berpendapat bahwa
kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalaman. Kebenaran adalah
tentatif dan dapat berubah. Tugas guru bukan menyampaikan pengetahuan,
melainkan memberi kesempatan pada peserta didik melakukan berbagai kegiatan
guna memecahkan masalah, dengan dasar bahwa belajar itu hanya bisa dilakukan
oleh anak sendiri, bukan diajarkan. Dalam perencanaan kurikulum, orang tua dan
masyarakat akan dilibatkan dengan tujuan agar dapat memadukan sumber pendidikan
formal dengan suber sosial, politik dan ekonomi guna memperbaiki hidup manusia,
dan sekolah dianggap sebagai komunitas masyarakat kecil.[20]
Selain
aliran tersebut yang diperhatikan, khususnya di Indonesia harus sesuai dengan
filsafat Pancasila sebagai falsafah pengembangan kurikulum. Hal ini yang
sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional,
khususnya Bab II Pasal 3. Untuk mengembangkan peserta didik di atas, maka para
perancang kurikulum harus memperhatikan 5 kelompok pelajaran yakni adalah: (a)
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;(b) kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian;(c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi;(d) kelompok mata pelajaran etestika, serta (e) kelompok mata
pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
4. Manfaat
Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dalam pemikiran untuk memecahkan
permasalahan pendidikan. adapun manfaatnya :[21]
1. Dapat menentukan arah akan dibawa
kemana siswa melalui pendidikan. di madrasah/sekolah, yakni kearah yang di
cita-citakan oleh siswa yang berdampak pada agama, nusa dan bangsa.
2. Dengan adanya tujuan dari pendidikan
yang diwarnai filsafat yang dianut, kita akan mendapat gambaran yang jelas
tentang hasil yang harus dicapai.
3. dapat ditentukan secara jelas cara
dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. memberikan
kebulatan usaha dalam pendidikan, sehingga terdapat kontinuitas dalam
perkembangan anak.
5. memberi
petunjuk apa yang harus dinilai dan sampai mana tujuan itu telah tercapai.
6. memberi
motivasi dalam proses belajar mengajar, karena sudah diketahui dengan jelas apa
yang ingin dan harus dicapai.
F. Landasan
Psikologis
Pendidikan
senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia, dalam proses pendidikan itu
terjadi interaksi antara peserta didik dengan guru, dan lingkungannya.
Diharapkan pendidikan mampu membawa perubahan perilaku siswa menuju kedewasaan.
Yang dimaksud dengan landasan psikologi supaya memperhatikan dari sisi
perkembangan jiwa manusia. Sementara itu psikologi adalah ilmu yang
memepelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah suatu upaya
menentukan program pendidikan untuk merubah perilaku manusia.
Dasar
psikologi ini dipahami bahwa dalam mengembangkan kurikulum diperlukan
pertimbangan yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik (basic
human needs). Pada landasan psikologi dibagi menjadi 2 cabang
psikologi: (a) Psikologi perkembangan , (b) psikologi pembelajaran.
a. Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi
perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan,
aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal
lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi ini diperlukan terutama dalam menentukan isi
kurikulum yang diberikan kepada siswa, baik tingkat kedalaman dan
keluasan materi, kesulitan dan kelayakan serta kebermafaatan materi
senantiasa disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta
didik.
Dalam kurikulum implikasi psikologi mempunyai arti
terhadap proses pembelajaran itu sendiri:
· Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional akan selalu berpusat
pada perubahan tingkah laku siswa.
· Bahan atau materi yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan
perhatian siswa, bahan tersebut mudah dterima siswa.
· Srategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan taraf perkembangan
anak.
· Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat siswa.
Tokoh pertama yang sangat menekankan perhatian
terhadap pendidikan anak adalah J.J. Rousseu (1712-1778), ia menegaskan bahwa
seorang anak tidak bisa diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Dalam bukunya
yang terkenal Emile ia menguraikan fase-fase perkembangan anak dari
kecil sampai dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang menuntut
perlakuan sesuai dengan sifat perkembangannya.[22]
Perkembangan anak baik fisik, emosional, sosial, dan
mental intelektual adalah faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam
pengembangan kurikulum. Berdasarkan berbagai penelitian, diperoleh sejumlah
kesimpulan antara lain:[23]
- anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, masa
bayi, masa kanak-kanak, dan seterusnya, yang pada setiap taraf menunjukkan
sifat dan kebutuhan tertentu, dan antara tiap taraf itu tidak ada batas yang
tegas karena berkembang secara berangsur.
- kecepatan perkembangan tidak merata, ada saat cepat,
tenang, dan kadang seolah tidak ada perubahan, serta kadang juga lambat.
Terdapat hubungan antara perkembangan satu aspek dengan yang lain, contohnya
perkembangan fisik yang cepat berpengaruh terhadap asspek sosial dan emosional,
karena ketika seorang anak lebih cepat besar dan tinggi dari teman sekelasnya
yang hal itu dapat mengganggu hubungannya dengan murid yang lain, menimbulkan
ketegangan dan kegelisahan
- ada perbedaan pola perkembangan anak, ada yang pada
mulanya lamban belajar, tetapi pada usia lebih lanjut seolah mekar dan
menunjukkan prestasi. Karena adanya perbedaan ini maka kurikulum harus
memperhatikan perbedaan individual, bukan didasarkan asumsi bahwa perkembangan
anak semua sama. Namun ada pola umum dalam perkembangan anak yang memungkinkan
pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan yang sesuai dengan kelompok
usia tertentu.
Dari sisi psikologi perkembangan, seorang anak
dipandang dari berbagai aspek, seorang nak dianggap sebagai keseluruhan artinya
bukan hanya aspek intelektual saja yang diperhitungkan, tetapi segi pendidikan
yang lain juga diperhatikan, misalnya kepandaian bergaul, minat terhadap
kesenian dan olah raga.[24]
Anak juga dipandang sebagai pribadi tersendiri, tidak
ada dua orang yang sama dalam segala hal di dunia ini karena pengaruh pembawaan
dan lingkungan, baik jasmani, rohani, emosional dan sosial, begitu juga taraf
intelijensinya. Tetapi perbedaan individual itu tidak berarti bahwa semua
pelajaran harus berbeda, ada hal-hal yang termasuk pengetahuan umum yang harus
dimiliki oleh setiap anak.[25]
Kebutuhan anak juga harus dipertimbangkan dalam
kurikulum, baik itu kebutuhan jasmani, setiap anak ingin bergerak, berlari,
melompat dan sebagainya. Pendidikan jasmani bertujuan membentuk manusia yang
sehat dan kuat. Kebutuhan pribadi, setiap anak mempunyai dorongan untuk
mengetahui sesuatu, menyatakan pikiran dan perasaannya melalui bahasa, lukisan,
suaraatau gerak, ingin merasakan kepuasan atas hasil yang dicapai. Kebutuhan
sosial, seorang manusia harus hidup dalam hubungan yang erat dengan manusia
lain, membimbing anak agar menjadi mahluk sosial adalah salah satu fungsi
sekolah yang amat penting.[26]
b. Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji
tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku
individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan suatu cabang bagaimana
individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku baik yang
berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik dan terjadi karena proses
pengalaman yang dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Mengetahui
psikologi belajar merupakan bekal yang sangat penting bagi guru
dalam proses pembelajaran. Psikologi ini dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok, yakni: Behaviorisme, Pikologi daya, Perkembangan kognitif, Teori
lapangan (Gestalt), dan Teori kepribadian.[27]
Teori behavioris memandang pelajar sebagai organisme
yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Peranan guru adalah
menyajikan stimulus (S) tertentu yang membangkitkan respon (R) tertentu yang
merupakan hasil belajar yang diinginkan. Guru menganalisa bahan pelajaran,
membaginya dalam bagian-bagian kecil, menyajikan satu persatu, sambil memberi
umpan balik berupa pujian bila benar dan ada kalanya hukuman bila salah. Tokoh
utama dari teori behaviorisme ini adalah B.F. Skinner.[28]
Teori psikologi daya mengungkapkan bahwa belajar
adalah mendisiplinkan dan menguatkan daya mental, terutama daya fikir. Teori
ini beranggapan bahwa otak atau mental
manusia terdiri dari beberapa daya, seperti daya ingat, daya pikir, daya
tanggap, daya fantasi dan lain-lain. Tujuan pendidikan adalah memperkuat
daya-daya tersebut dengan latihan untuk mendisiplinkannya. Teori ini didasarkan
atas anggapan bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu rohaniah atau mind
dan jasmaniah atau body.
Tetapi belakangan teori ini banyak mendapat kritik dan dibantah kebenarannya
secara ilmiah. Latihan daya mental daalam suatu bidang tidak dengan sendirinya
meningkatkan kemampuan dalam bidan lain.[29]
Teori pengembangan kognitif mengemukakan bahwa
kematangan mental berkembang secara berangsur pada individu berkat interaksi
pelajar dengan lingkungan. Anak harus dibimbing dengan bahan pelajaran yang
sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Dengan bertambahnya usia,
proses kognitif direstruktur secara kontinu agar mencapai tingkat pemikiran
yang lebih kompleks dan matang. Tokoh utama teori ini adalah John Dewey dan
Jean Piaget.
J. Piaget menemukan empat tahap utama dalam
perkembangan kognitif-intelektual yaitu: tahap senso-motoris (sejak lahir – 2
tahun), tahap pra-operasional (2-7 tahun), tahap operasional konkrit (7 – 11
tahun), dan tahap operasional formal (± 11 tahun). Menurut John Dewey ada tiga
tujuan pendidikan yaitu: mengajarkan kerjasama, penyesuaian sosial, demokrasi
dan kewarganegaraan aktif.[30]
Teori lapangan (field theory) menggunakan konsep
behaviorisme dan perkembangan kognitif dengan memasukkan unsur “O” (=organisme,
individu) dalam rumus S-R (stimulus-respons). Dalam teori ini individu seorang
pelajar sangat diutamakan dan dianggap sentral dalam proses belajar. Proses
belajar bukan sekedar akumulasi pengetahuan tetapi anak dipandang sebagai suatu
keseluruhan, perubahan pada satu aspek akan berpengaruh pada keseluruhan
pribadi anak. Teori ini cenderung menganjurkan pendidikan humanistik dengan
memupuk konsep diri yang positif pada pelajar karen konsep diri yang positif
akan berpengaruh baik begitu pula sebaliknya.[31]
Teori kepribadian dikembangkan oleh Peck dan Havighurst
pada tahun 1950. Teori ini sering dipandang sebagai teori motivasi ditinjau
dari segi psiko-sosial. Dalam teori ini dikemukakan 5 tipe watak yang
mempengaruhi pola motivasi individu,[32]
yakni: a-moral (anak sepenuhnya egosentris, memuaskan diri tanpa
menghiraukan orang lain), expedient (anak agak egosentris, patuh tanpa
memiliki sistem moral), konformis (berusaha memenuhi tuntutan external
karena takut tidak mendapat perhatian, irrational conscientious (anak
memiliki sistem moral internal tentang baik buruk, tetapi pelaksanaannya sangat
ketat dan kaku), altruistik rasional (anak telah sangat berkembang,
menyadari kebutuhan orang lain, sensitif dan rela berkorban).
G. Landasan Sosiologis
Landasan
sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi
yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Pendidikan adalah
proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Pendidikan
merupakan proses sosialisasi dan pewarisan budaya dari generasi ke generasi
selanjutnya dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia, baik sebagai
individu, kelompok masyarakat, maupun dalam konteks yang lebih luas yaitu
budaya bangsa. Oleh karena itu anak didik dihadapkan pada budaya, dibina dan
dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya.
Pendidikan
sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa,
dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi, yaitu
manusia yang berbudaya. Semakin meningkatnya perkembangan sosial budaya
manusia, akan menjadikan tuntutan hidup manusia semakin tinggi pula, untuk itu
diperlukan kesiapan lembaga pendidikan dalam menjawab segala tantangan yang
diakibatkan perkembangan kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, sebagai
antisipasinya lembaga pendidikan harus menyiapkan anak didik untuk hidup secara
wajar sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakatnya, untuk itu
diperlukan inovasi-inovasi pendidikan terutama menyangkut kurikulum.[33]
Kurikulum
pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini, dan bahkan
harus dipersiapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang bakal terjadi, dan
hal ini juga menjadi tugas dari seorang guru untuk dapat membina dan
melaksanakan kurikulum, agar apa yang diberikan kepada anak didiknya berguna
dan relevan dengan kehidupan dalam masyarakat.[34]
Mendidik
anak dengan baik hanya mungkin dilakukan jika kita memahami masyarakat tempat
ia hidup, karena itu setiap pembina kurikulum harus senantiasa mempelajari
keadaan, perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat. Salah satu ciri
masyarakat adalah perubahannya yang sangat cepat seiring perkembangan ilmu
pengetahuan. Perubahan-perubahan itu secara otomatis memberikan tugas yang
lebih luas dan berat kepada lembaga pendidikan, karena anak yang saat ini memasuki
sekolah dasar (SD) akan menghadapi dunia yang sangat berbeda dengan masyarakat
15 atau 20 tahun kedepan saat anak tersebut menyelesaikan studinya di
universitas misalnya. Perubahan masyarakat mengharuskan kurikulum untuk
senantiasa ditinjau kembali. Kurikulum yang baik pada suatu saat, bisa jadi
sudah tidak lagi sesuai dalam keadaan yang sudah berubah. Sebagai contoh, dalam
kehidupan bermayarakat, anak harus dididik untuk menghargai jasa orang lain,
karena di zaman yang semakin maju manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang
lain, begitu pula dalam kehidupan berbangsa, setiap negara tidak bisa lepas
dari ketergantungan dengan negara lain, untuk itu anak harus dididik dalam
hubungan manusia dengan dunia internasional.[35]
Alasan lain
mengapa kurikulum harus berlandaskan sosial budaya adalah bahwa pengajaran akan
mencapai hasil sebaik-baiknya bila didasarkan atas interaksi murid dengan
sekitarnya. Apa yang dipelajari anak hendaknya hal-hal yang juga terdapat dalam
masyarakat, karena itu berguna bagi kehidupan anak sehari-hari. Kurikulum itu
seharusnya merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis, mengikuti dan turut serta
menentukan perkembangan masyarakat di lingkungan sekolah. Dan karena keadaan
masyarakat di tiap daerah itu berbeda, maka hendaknya setiap sekolah di daerah
diberi kebebasan pada batas tertentu untuk menentukan kurikulum sendiri
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya, dengan pertimbangan hal berikut:[36]
1. Keadaan fisis
lingkungan (iklim, mata pencaharian, luas daerah, topografi daerah, keadaan
tanah dan kekayaan alam)
2. Penduduk
(jumlahnya, mata pencahariannya, susunan penduduknya, dan latar belakang
pendidikannya)
3. Organisasi-organisasi
masyarakat, manusia tidak hidup sendiri, tetapi membentuk kelompok dan
organisasi yang mempunyai tujuan dan problem masing-masing.
Adapun cara menggunakan masyarakat dalam
pelajaran adalah dengan hal-hal berikut:[37]
1. Karyawisata.
murid-murid dapat dibawa ke luar kelas untuk mempeajari berbagai hal.
2. Menggunakan
orang sebagai sumber. dalam tiap masyarakat betapapun kecilnya pasti terdapat
orang-orang yang mempunyai pengalaman, kecakapan atau pengetahuan yang khusus.
3. Pengabdian
masyarakat. murid diharapkan tidak hanya memperhatikan dan mempelajari, tetapi
juga turut serta dalam usaha-usaha memperbaiki keadaan masyarakat.
4. Pengalaman
kerja dalam masyarakat.
Sedangkan
tugas yang harus dihadapi oleh para pengembang kurikulum adalah:[38]
1. Mempelajari
dan memahami kebutuhan masyarakat seperti dirumuskan dalam undang-undang,
peraturan, keputusn pemerintah, dan sebagainya.
2. Menganalisis
masyarakat tempat sekolah berada.
3. Menganalisis
syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja.
4. Menginterpretasi
kebutuhan individu dalam rangka kepentingan masyarakat.
Pada ahirnya keputusan yang akan diambil tentang kurikulum akan bergantung
pada bagaimana para pengembang kurikulum memandang dunia tempat ia hidup,
bereaksi terhadap berbagai kebutuhan yang dikemukakan oleh berbagai golongan
masyarakat, dan juga oleh falsafah hidup dan pendidikannya.
H. Landasan Teknologis
Teknologi pada hakikatnya adalah
penerapan ilmu pengetahuan (technology is application of science).
Teknologi memegang peranan penting dalam kehidupan budaya manusia. Salah satu
indikator kemajuan peradaban manusia dapat diukur dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Teknologi banyak digunakan dalam berbagai bidang
kehidupan. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kondisi yang efektif,
efisien, dan sinergis terhadap pola perilaku manusia. Produk teknologi tidak
selalu berbentuk fisik, seperti komputer, televisi, radio, dan lain sebagainya,
tetapi ada juga non fisik, seperti prosedur pembelajaran, sistem evaluasi,
teknik mengajar dan sebagainya. Produk teknologi tersebut banyak digunakan
dalam pendidikan sehingga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap
proses dan hasil pendidikan.[39]
Perkembangan
dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi
dan komunikasi telah mampu merubah tatanan baru dalam kehidupan manusia. Oleh
karena itu, kurikulum seharusnya arahnya tidak hanya bersifat untuk sekarang
tetapi untuk masa depan dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bersama,
kepentingan sendiri dan kelangsungan hidup manusia.
Tidak setiap
kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membawa keuntungan dan
kebahagiaan bagi umat manusia, bahkan sering justru membawa masalah-masalah
yang lebih pelik lagi. Demikian pula, tidak setiap perubahan atau pembaharuan
berarti kemajuan. Hanya saja, kita sering terlambat mengenal akibat-akibat
perkembangan itu.[40]
Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup luas, meliputi semua
aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, etika dan
estetika, bahkan keamanan dan ilmu pengetahuan itu sendiri.[41]
Pendidikan,
juga mendapat pengaruh yang cukup besar dari ilmu dan teknologi. Pendidikan
sangat erat hubungannya dengan kehidupan sosial, sebab pendidikan merupakan
salah satu aspek sosial. Pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal saja,
melainkan juga pendidikan nonformal, sebab pendidikan meliputi segala usaha
sendiri atau usaha pihak luar untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan,
memperoleh keterampilan dan membentuk sikap-sikap tertentu. Kemajuan di bidang
komunikasi massa juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Sebab media massa
juga merupakan media pendidikan. Dengan kata lain, melalui media massa, dapat
berlangsung proses pendidikan. Baik tayangan-tayangan yang berbentuk informasi
ataupun tayangan yang bersifat hiburan juga mempunyai nilai-nilai pendidikan.[42]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut
perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah memberikan isi, materi, atau bahan yang akan disampaikan dalam
pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat
menimbulkan problema-problema baru yang menuntut pemecahan masalah dengan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan baru yang dikembangkan dalam
pendidikan.[43]
Pembangunan
didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa. Di sisi lain,
perkembangan IPTEK itu sendiri berlangsung semakin cepat, bersamaan dengan
persaingan antar bangsa semakin meluas, sehingga diperlukan penguasaan,
pemanfaatan, dan pengembangan IPTEK.[44] Dalam
hal ini, implikasi IPTEK dalam pengembangan kurikulum, antara lain:
1. Pengembangan
kurikulum harus dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir peserta
didik untuk lebih banyak menghasilkan teknologi baru sesuai dengan perkembangan
zaman dan karakteristik masyarakat Indonesia.
2. Pengembangan kurikulum harus difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk
mengenali dan merevitalisasi produk teknologi yang telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
itu sendiri.[45]
3. Perkembangan
IPTEK berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup
pengembangan isi atau materi pendidikan, penggunaan strategi dan media
pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi.
Dalam setiap perkembangan atau kemajuan,
pasti selalu ada dampak yang timbul, baik itu dampak positif maupun negatif.
Begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan
dampak terhadap pengembangan kurikulum.
a. Dampak
Positif
1. Pembelajaran Jarak Jauh. Masyarakat Indonesia sudah banyak memanfaatkan produk
teknologi dalam pendidikan.[46] Internet
merupakan salah satu bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
membantu kehidupan manusia. Dengan kemajuan teknologi, proses pembelajaran
tidak harus mempertemukan siswa dengan guru secara langsung, siswa sudah bisa
mendapatkan materi tanpa harus bertemu langsung dengan guru. Ini akan
mempermudah penyampaian materi serta kurikulum menjadi mudah dilaksanakan.
2. Munculnya metode-metode
pembelajaran yang baru, yang memudahkan siswa dan guru dalam proses
pembelajaran. Misalnya saja seperti penggunaan LCD dalam pembelajaran.
Penyampaian materi dengan metode ceramah, yang kemudian dibantu juga dengan
LCD, akan membuat siswa lebih memperhatikan materi pembelajaran dan tidak
merasa bosan.
3. Kita akan lebih cepat
mendapatkan informasi-informasi yang akurat dan terbaru di bumi bagian manapun
melalui Internet. Siswa dapat menggunakan internet untuk mendapatkan semua
informasi tambahan yang mereka butuhkan untuk meningkatkan basis pengetahuan
mereka.
4. Teknologi menawarkan media
audio-visual yang interaktif pada proses pembelajaran. Presentasi Power Point dan perangkat lunak animasi dapat digunakan untuk memberikan
informasi kepada siswa secara interaktif. Efek visual yang diberikan membuat
siswa lebih tertarik untuk belajar.
b. Dampak
Negatif
1. Penyalahgunaan teknologi pengetahuan untuk melakukan tindak kriminal. Seperti
yang diketahui bahwa kemajuan di bidang pendidikan juga mencetak generasi yang
berpengetahuan tinggi tetapi mempunyai moral yang rendah.
2. Menurunnya motivasi dan
prestasi belajar serta berkurangnya jumlah jam belajar para remaja rela membolos
saat jam sekolah demi bermain game di warnet.
3. TV merupakan salah satu
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menampilkan informasi, hiburan,
serta banyak hal-hal menarik lainnya. Namun, segi negatif yang lain dari media
TV untuk pendidikan anak adalah, kecenderungan anak untuk mengadakan peniruan
dan identifikasi.[47]
Untuk
mencapai tujuan yang baik dalam perkembangan IPTEK, ada hal-hal yang harus
diperhatikan, yakni:[48]
1. Pembangunan
IPTEK harus berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan
sumber daya manusia.
2. Pembangunan
IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas kesejahteraan bangsa.
3. Pembangunan
IPTEK harus selaras dengan nilai-nilai agama, sosial budaya, dan lingkungan
hidup.
4. pembangunan
IPTEK berdasarkan pada asas pemanfaatan yang dapat memberikan nilai tambah,
danpemecahan masalah konkret dalam pembangunan.
KESIMPULAN
Landasan
Kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan, landasan, suatu asumsi, atau
prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
Ada empat landasan
pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan kurikulum, yaitu:
1. Landasan Filosofis, yaitu asumsi–asumsi tentang hakikat realitas, hakikat
manusia, hakikat pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum. Kajian-kajian filosofis kurikulum menjawab
permasalah-permasalahan berkisar:
(1) Bagiamana seharusnya tujuan
pendidikan itu dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana seharusnya
diajarkan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya dilakukan
pendidik dan peserta didik.
Tiga sitem pemikiran filsafat yang
sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya dan pendidikan
di Indonesia pada khususnya, yaitu Idealisme, Realisme dan Pragmatisme
2. Landasan Psikologis, adalah asumsi–asumsi yang bersumber dari psikologi
yang dijadikan titik tolak dalam mengembaangkan kurikulum. dua bidang psikologi
yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan (Karakteristik
perilaku / pola-pola perkembangan untuk menyesuaikan apa yang dididik dan
bagaimana cara mendidik),
dan (2)
psikologi belajar (Perkembangan belajar melalui proses peniruan,
pengingatan, latihan, pembiasaan, pemahaman, penerapan, pemecahan masalah).
Teori-teori dalam psikologi belajar antara lain: Behaviorisme, Psikologi Daya,
Perkembangan Kognitif, Teori Lapangan (Gestalt) dan Teori Kepribadian.
3. Landasan sosiologis adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari
sosiologi dan antropologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan
kurikulum. Tugas para pengembang kurikulum adalah:
·
Mempelajari dan memahami kebutuhan
masyarakat seperti dirumuskan dalam undang-undang, peraturan, keputusn
pemerintah, dan sebagainya.
·
Menganalisis masyarakat tempat
sekolah berada.
·
Menganalisis syarat dan tuntutan
terhadap tenaga kerja.
·
Menginterpretasi kebutuhan individu
dalam rangka kepentingan masyarakat.
4. Landasan ilmiah dan teknologi, adalah asumsi – asumsi yang bersumber dari
hasil-hasil riset atau penelitian dan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang
menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. ada hal-hal yang harus
diperhatikan, yakni:
5. Pembangunan
IPTEK harus berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan
sumber daya manusia.
6. Pembangunan
IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas kesejahteraan bangsa.
7. Pembangunan
IPTEK harus selaras dengan nilai-nilai agama, sosial budaya, dan lingkungan
hidup.
8. pembangunan
IPTEK berdasarkan pada asas pemanfaatan yang dapat memberikan nilai tambah,
danpemecahan masalah konkret dalam pembangunan.
Sumbangsih dari keempat landasan pengembangan kurikulum di atas adalah
sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah, Pendidikan Islam Multikultural di
Pesantren, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011
Arifin, Zainal, Konsep
dan Model Pembangunan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
Hamalik,
Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
Ladjid, Hafni,
H. Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Quantum Teaching, 2005
Mudyahardjo,
Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Nasution
S., Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
-------------.,
Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
Nurdin,
Syafruddin Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakarta:
Quantum Teaching, 2005
Sukmadinata, Syaodih, Nana, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012
Susilo, Joko,
Muhammad, Kurukulum Tingkat Kesatuan Pendidikan, Cet. II, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012
Syamsul, Huda, Rohmadi, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Araska Pinang Merah. 2012.
Tim
Pengembangan MKDP, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pers,
2012
Zaini, Muhammad,
Pengmbangan Kurikulum Konsep
Implementasi Evaluasi dan Inovasi, Yogyakarta: Teras. 2009
[1]
S. Nasution, Kurikulum
dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 5
[2] Oemar Hamalik,
Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 19
[3] S. Nasution, Asas-Asas
Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 5
[8]
Muhammad Zaini, Pengmbangan
Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, (Yogyakarta:
Teras. 2009), h. 23.
[9] Syafruddin
Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), h. 34
[10]
Syafruddin
Nurdin, Guru Profesional & Implementasi ..., h. 34
[11] Oemar Hamalik,
Kurikulum dan...., h. 19-20
[12] S. Nasution, Asas-asas....h.
52
[13] S. Nasution, Asas-asas....h.
31
[14]
Redja
Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
h. 104
[15] S. Nasution, Kurikulum
dan..., h. 22
[16] S. Nasution, Asas-assas...,
h. 23
[17] S. Nasution, Kurikulum
dan..., h. 22
[18]
S. Nasution, Asas-assas...,
h. 24
[19] S. Nasution, Asas-asas...,
h. 24
[20]
S. Nasution, Asas-asas...,
h. 24-25
[21] S. Nasution,
Asas-asas...., h. 28
[22] S. Nasution, Asas-asas...,
h.94
[23]
S. Nasution,
Asas-asas..., h.96
[24] S. Nasution, Asas-asas...,
h.98
[25]
S. Nasution,
Asas-asas..., h.99-100
[26]
S. Nasution,
Asas-asas..., h.102-104
[27] S. Nasution, Kurikulum
dan..., h. 26
[28]
S. Nasution, Kurikulum
dan..., h. 26-27
[29]
S. Nasution,
Asas-asas..., h.61-62
[30]
S. Nasution,
Kurikulum dan..., h.30-31
[31]
S. Nasution,
Kurikulum dan..., h.32
[32]
S. Nasution,
Kurikulum dan..., h.33
[33]
Syafruddin
Nurdin, Guru Profesional & Implementasi ..., h. 36
[34]
Syafruddin
Nurdin, Guru Profesional & Implementasi ..., h. 36-37
[35] S. Nasution, Asas-asas....,
h. 153-154
[36] S. Nasution, Asas-asas....,
h. 166-168
[37]
S. Nasution, Asas-asas....,
h. 169-171
[38] S. Nasution, Kurikulum
dan...., h. 24
[39] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pembangunan
Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 76-77
[41] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 72
[48] Oemar Hamalik,
Kurikulum dan..,h. 23