kaidah kaidah fikih
Bab Satu berisi lima kaidah pokok:
- Kaidah pertama: “al Umur bi maqosidiha”( segala sesuatu tergantung tujuannya), yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadits Nabi: innamal a’malu bi al niyyat, menurut imam syafi’i hadits ini bisa mencakup tujuh puluh bab masalah fiqh, yang dibahas oleh para ulama tentang masalah niat ini adalah tentang syarat, tata cara, waktu, tujuan, dan tempat, tujuannya adalah untuk membedakan antara suatu ibadah dengan kebiasaan yang menyerupainya.
- Kaidah kedua: “al Yaqin la yuzalu bi al syak”(sesuatu yang sudah yakin/mantap tidak bisa di batalkan dengan keragu-raguan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri yang artinya: bahwa Rasululloh bersabda: jika seseorang diantara kamu ragu didalam solatnya dan tidak tahu apakah dia solat tiga rakaat atau sudah empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keragu-raguannya dan hendaknya dia berpegang pada yang sudah pasti(yang sedikit). Semua bab dalam masalah fiqh bisa masuk dalam kaidah ini.
- Kaidah ketiga: “al Masyaqqoh tajlibu al taisir”(sesuatu yang dianggap berat/masyaqqot bisa mendapatkan kemudahan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah ayat alQur’an surat al Baqarah ayat 185 yang kurang lebih artinya: Alloh menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan surat al Hajj ayat 78 yang artinya : dan Alloh tidak menjadikan kesempitan atas kamu dalam masalah agama. Selain itu juga ada dalil dari hadits Nabi. Inti dari kaidah ini adalah memberi keringanan, sedangkan sebab-sebab diperolehnya keringanan tersebut ada tujuh yaitu: terpaksa, lupa, bodoh, sulit menghindar, bepergian, sakit, dan sifat kurang seperti anak kecil. Sedangkan keringanan dalam agama di bagi enam: pengguguran, pengurangan, penggantian, pendahuluan, penundaan, dan pemotongan. Adapun hukum keringanan tersebut adakalanya wajib, sunnah dan mubah.
- Kaidah ke empat: “al dhororu yuzalu”(suatu bahaya harus di hilangkan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah Hadits Nabi yang berbunyi: la dhororo wala dhiroro. Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa suatu bahaya dapat memperbolehkan sesuatu yang dilarang, tetapi harus disesuaikan dengan kadar bahayanya. Dan suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.
- Kaidah kelima: “al ‘Adatu muhakkamah”(adat itu bisa dijadikan dasar hukum). Dasar dari kaidah ini adalah Hadits Nabi yang artinya: sesuatu yang menurut kaum muslimin itu baik maka berarti sesuatu itu menurut Alloh juga baik. Penjelasan kaidah ini adalah bahwa adat atau kebiasaan suatu masyarakat itu bisa dijadikan dasar hukum, dan jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syariat maka kebiasaan tersebut bisa lebih di utamakan selama tidak ada hukum yang pasti dari sariat tentang masalah tersebut.
Bab kedua berisi 40 kaidah umum:
- Kaidah pertama: “al ijtihadu la yunqodhu bi al ijtihad”( suatu ijtihad tidak bisa dirusak dengan ijtihad yang lain)
- Kaidah kedua: “idza ijtama’a al halalu wal haramu ghulliba al haramu”(jika berkumpul suatu yang halal dengan yang haram, maka harus dimenangkan yang haram.
- Kaidah ketiga: “al itsaru bil qurobi makruhun wafi ghairiha mahbubun”(mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah itu hukumnya makruh sedang diselain ibadah itu disunnatkan).
- Kaidah keempat: “al tabi’u tabi’un”(hukum dari suatu cabang itu harus mengikuti pokoknya).
- Kaidah kelima: “tasarruful imam ala ra’iyyah manutun bil maslahah”(tasarruf dari seorang pemimpin atas rakyatnya itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang baik).
- Kaidah keenam: “al hududu tasqutu bi al syubuhat”(hukum-hukum had itu bisa digugurkan denagn adanya sesuatu yang meragukan).
- Kaidah ketujuh: “al hurru la yadkhulu tahtal yadi”(orang yang merdeka/bukan budak itu tidak bisa dikuasai oleh orang lain).
- Kaidah kedelapan: “harimus syai’i bimanzilatihi”(pagar atau batas dari sesuatu itu hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasinya).
- Kaidah kesembilan: “idza ijtama’a amrani min jinsin wahidin walamyakhtalif maksuduhuma dakhola ahaduhuma fil akhori gholiban”(jika ada dua hal yang sejenis dan tidak berbeda tujuannya, maka kebanyakan salah satu dari keduanya bisa masuk hukum yang lain), seperti mandi wajib antara mandi karna haid dan mandi karna nifas bisa dijadikan satu.
- Kaidah kesepuluh: “i’malul kalami aula min ihmalihi”(kata-kata itu lebih baik dipergunakan sebagai bukti daripada diacuhkan), seperti contoh jika ada suami berkata pada istrinya dan pada kambingnya: salah satu dari kalian aku caraikan. Maka sang istri dihukumi sudah dicerai.
- Kaidah kesebelas: “al khoroju bi al dhomani”(keuntungan yang diambil dari suatu benda itu harus diganti jika benda tersebut dikembalikan).
- Kaidah keduabelas: “al huruju minal khilafi mustahabbun”(keluar dari masalah sengketa itu dianjurkan).
- Kaidah ketigabelas: “al daf’u aqwa min al rof’i”( hukum menolak itu lebih kuat dari pada hukum menghilangkan).
- Kaidah keempat belas: “al ruhosu la tunatu bi al ma’asi”(keringanan hukum itu tidak bisa digantungkan dengan tindak maksiat).
- Kaidah kelimabelas: “al ruhosu la tunatu bi al syak”(keringanan tidak bisa digantungkan dengan keraguan).
- Kaidah keenambelas: “al ridho bi syai’i ridhon bima yatawalladu minhu”(rela dengan adanya sesuatu itu berarti rela dengan akibat yang akan ditimbulkannya).
- Kaidah ketujuhbelas: “al su’alu muadun fil jawabi”(kalimat yang ada dalam pertanyaan itu diulang dalam jawaban), contohnya jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu.
- Kaidah kedelapanbelas: “la yunsabu li sakitin qoulun”(orang yang diam tidak bisa dihukumi dengan perkataan apapun).
- Kaidah kesembilanbelas: “ma kana aktsaro fi’lan kana aktsaro fadhlan”(sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak upahnya).
- Kaidah keduapuluh: “al muta’addy ‘indahum afdholu minal qosir”(menurut para ulama’ bahwa orang yang kelewat batas itu lebih baik daripada orang yang sembrono).
- Kaidah keduapuluh satu: “al fardhu afdholu min al nafli”( ibadah fardhu itu lebih utama daripada ibadah sunnah).
- Kaidah keduapuluh dua: “al fadhilah al muta’aliqoh bi dzatil ibadah aula min al muta’aliqoh bi makaniha wa zamaniha”(keutamaan yang berhubungan dengan ibadah itu sendiri itu lebih utama daripada yang berhubungan dengan waktu dan tempat).
- Kaidah keduapuluh tiga: “al wajib la yutroku illa li wajib”(suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karna adanya kewajiban yang lain).
- Kaidah keduapuluh empat: “ma aujaba a’dhoma amroini bi khususihi la yujibu ahwanahuma bi umumihi”(kewajiban yang ada pada sesuatu yang lebih besar itu bisa menggugurkan kewajiban pada sesuatu yang lebih kecil), seperti kewajiban mandi menggugurkan kewajiban wudlu.
- Kaidah keduapuluh lima: “ma tsabata bil syar’i muqoddamun ala ma tsabata bil syarti”(sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ itu lebih didahulukan daripada sesutau yang ditetapkan karna adanya syarat).
- Kaidah keduapuluh enam: “ma haruma isti’maluhu haruma ittikhodhuhu”(sesuatu yang haram dipakai berarti haram disimpan).
- Kaidah ke duapuluh tujuh: “ma haruma akhdhuhu haruma i’to’uhu”(sesuatu yang haram untuk diambil berarti haram diberikan).
- Kaidah keduapuluh delapan: “al masyghulu la yusygholu”(sesuatu yang sudah disibukkan itu tidak boleh ditambah kesibukan lagi), contohnya barang yang statusnya digadaikan itu tidak boleh digadaikan lagi, tidak boleh ada dua akad.
- Kaidah keduapuluh sembilan: “al mukabbar la yukabbar”(sesuatu yang sudah dibesarkan /diperbanyak itu tidak boleh diperbanyak lagi), contoh hukum taslis tidak disunnatkan pada cara membasuh najis anjing karena sudah tujuh kali.
- Kaidah ketigapuluh: “man ista’jala syai’an qobla awanih ‘uqiba bi hirmanihi”(barang siapa tergesa-gesa dengan sesuatu sebelum masanya maka dia tidak akan mendapatkannya).
- Kaidah ketigapuluh satu: “al naflu ausa’u hukman minal fardhi”(hukum sunnah itu lebih luas ketimbang hukum fardhu).
- Kaidah ketigapuluh dua: “al wilayatul khossoh aqwa minal wilayatil ‘ammah”(kekuasaan husus itu lebih kuat daripada kekuasaan umum).
- Kaidah ketigapuluh tiga: “la ‘ibrota bi al dhon al bayyini khoto’uhu”(dugaan yang salah itu tidak dianggap).
- Kaidah ketigapuluh empat: “al isytigholu bi siwal maqsudi i’rodhun ‘anil maksudi”(sibuk dengan selain tujuan itu barati berpaling dari tujuan).
- Kaidah ketigapuluh lima: “la yunkaru al mukhtalafu wa innama yunkaru al mujma’u alaihi”(sesuatu yang diperselisihkan itu tidak di pungkiri, sesungguhnya
yang dipungkiri itu adalah sesuatu yang sudah disepakati).
- Kaidah ketigapuluh enam: “ yadkhulu al qowiyu ala al dho’ifi wala aksa”(sebab yang kuat itu bisa masuk padda sebab yang lemah dan tidak sebaliknya).
- Kaidah ketigapuluh tujuh: “yughtafaru fil wasa’ili mala yughtafaru fil maqasidi”(hal-hal yang tidak bisa dimaklumi dalam tujuan itu bisa dimaklumi dalam perantara dari tujuan tersebut).
- Kaidah ketigapuluh delapan: “al maisur la yasqutu bil ma’sur”(perkara yang mudah tidak bisa gugur dengan adanya perkara yang sulit).
- Kaidah ketigapuluh sembilan: “ma la yaqbalu al tab’idh fa ikhtiyaru ba’dhihi ka ikhtiyari kullihi wa isqotu ba’dhihi ka isqoti kullihi”(sesuatu yang tidak bisa dibagi itu jika dipilih sebagian maka berarti memilih keseluruhan, dan membatalkan sebagian berarti membatalkan keseluruhan).
- Kaidah keempat puluh: “idha ijtama’a al sabab wal ghurur wal mubasyarah quddimat al mubasyarah”(jika dalam suatu masalah itu berkumpul antara faktor penyebab, tipuan, dan faktor pelaku, maka yang dikenai hukuman adalah faktor pelaku).
Bab Satu berisi lima kaidah pokok:
- Kaidah pertama: “al Umur bi maqosidiha”( segala sesuatu tergantung tujuannya), yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadits Nabi: innamal a’malu bi al niyyat, menurut imam syafi’i hadits ini bisa mencakup tujuh puluh bab masalah fiqh, yang dibahas oleh para ulama tentang masalah niat ini adalah tentang syarat, tata cara, waktu, tujuan, dan tempat, tujuannya adalah untuk membedakan antara suatu ibadah dengan kebiasaan yang menyerupainya.
- Kaidah kedua: “al Yaqin la yuzalu bi al syak”(sesuatu yang sudah yakin/mantap tidak bisa di batalkan dengan keragu-raguan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri yang artinya: bahwa Rasululloh bersabda: jika seseorang diantara kamu ragu didalam solatnya dan tidak tahu apakah dia solat tiga rakaat atau sudah empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keragu-raguannya dan hendaknya dia berpegang pada yang sudah pasti(yang sedikit). Semua bab dalam masalah fiqh bisa masuk dalam kaidah ini.
- Kaidah ketiga: “al Masyaqqoh tajlibu al taisir”(sesuatu yang dianggap berat/masyaqqot bisa mendapatkan kemudahan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah ayat alQur’an surat al Baqarah ayat 185 yang kurang lebih artinya: Alloh menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan surat al Hajj ayat 78 yang artinya : dan Alloh tidak menjadikan kesempitan atas kamu dalam masalah agama. Selain itu juga ada dalil dari hadits Nabi. Inti dari kaidah ini adalah memberi keringanan, sedangkan sebab-sebab diperolehnya keringanan tersebut ada tujuh yaitu: terpaksa, lupa, bodoh, sulit menghindar, bepergian, sakit, dan sifat kurang seperti anak kecil. Sedangkan keringanan dalam agama di bagi enam: pengguguran, pengurangan, penggantian, pendahuluan, penundaan, dan pemotongan. Adapun hukum keringanan tersebut adakalanya wajib, sunnah dan mubah.
- Kaidah ke empat: “al dhororu yuzalu”(suatu bahaya harus di hilangkan). Yang menjadi dasar dari kaidah ini adalah Hadits Nabi yang berbunyi: la dhororo wala dhiroro. Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa suatu bahaya dapat memperbolehkan sesuatu yang dilarang, tetapi harus disesuaikan dengan kadar bahayanya. Dan suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.
- Kaidah kelima: “al ‘Adatu muhakkamah”(adat itu bisa dijadikan dasar hukum). Dasar dari kaidah ini adalah Hadits Nabi yang artinya: sesuatu yang menurut kaum muslimin itu baik maka berarti sesuatu itu menurut Alloh juga baik. Penjelasan kaidah ini adalah bahwa adat atau kebiasaan suatu masyarakat itu bisa dijadikan dasar hukum, dan jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syariat maka kebiasaan tersebut bisa lebih di utamakan selama tidak ada hukum yang pasti dari sariat tentang masalah tersebut.
Bab kedua berisi 40 kaidah umum:
- Kaidah pertama: “al ijtihadu la yunqodhu bi al ijtihad”( suatu ijtihad tidak bisa dirusak dengan ijtihad yang lain)
- Kaidah kedua: “idza ijtama’a al halalu wal haramu ghulliba al haramu”(jika berkumpul suatu yang halal dengan yang haram, maka harus dimenangkan yang haram.
- Kaidah ketiga: “al itsaru bil qurobi makruhun wafi ghairiha mahbubun”(mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah itu hukumnya makruh sedang diselain ibadah itu disunnatkan).
- Kaidah keempat: “al tabi’u tabi’un”(hukum dari suatu cabang itu harus mengikuti pokoknya).
- Kaidah kelima: “tasarruful imam ala ra’iyyah manutun bil maslahah”(tasarruf dari seorang pemimpin atas rakyatnya itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang baik).
- Kaidah keenam: “al hududu tasqutu bi al syubuhat”(hukum-hukum had itu bisa digugurkan denagn adanya sesuatu yang meragukan).
- Kaidah ketujuh: “al hurru la yadkhulu tahtal yadi”(orang yang merdeka/bukan budak itu tidak bisa dikuasai oleh orang lain).
- Kaidah kedelapan: “harimus syai’i bimanzilatihi”(pagar atau batas dari sesuatu itu hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasinya).
- Kaidah kesembilan: “idza ijtama’a amrani min jinsin wahidin walamyakhtalif maksuduhuma dakhola ahaduhuma fil akhori gholiban”(jika ada dua hal yang sejenis dan tidak berbeda tujuannya, maka kebanyakan salah satu dari keduanya bisa masuk hukum yang lain), seperti mandi wajib antara mandi karna haid dan mandi karna nifas bisa dijadikan satu.
- Kaidah kesepuluh: “i’malul kalami aula min ihmalihi”(kata-kata itu lebih baik dipergunakan sebagai bukti daripada diacuhkan), seperti contoh jika ada suami berkata pada istrinya dan pada kambingnya: salah satu dari kalian aku caraikan. Maka sang istri dihukumi sudah dicerai.
- Kaidah kesebelas: “al khoroju bi al dhomani”(keuntungan yang diambil dari suatu benda itu harus diganti jika benda tersebut dikembalikan).
- Kaidah keduabelas: “al huruju minal khilafi mustahabbun”(keluar dari masalah sengketa itu dianjurkan).
- Kaidah ketigabelas: “al daf’u aqwa min al rof’i”( hukum menolak itu lebih kuat dari pada hukum menghilangkan).
- Kaidah keempat belas: “al ruhosu la tunatu bi al ma’asi”(keringanan hukum itu tidak bisa digantungkan dengan tindak maksiat).
- Kaidah kelimabelas: “al ruhosu la tunatu bi al syak”(keringanan tidak bisa digantungkan dengan keraguan).
- Kaidah keenambelas: “al ridho bi syai’i ridhon bima yatawalladu minhu”(rela dengan adanya sesuatu itu berarti rela dengan akibat yang akan ditimbulkannya).
- Kaidah ketujuhbelas: “al su’alu muadun fil jawabi”(kalimat yang ada dalam pertanyaan itu diulang dalam jawaban), contohnya jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu.
- Kaidah kedelapanbelas: “la yunsabu li sakitin qoulun”(orang yang diam tidak bisa dihukumi dengan perkataan apapun).
- Kaidah kesembilanbelas: “ma kana aktsaro fi’lan kana aktsaro fadhlan”(sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak upahnya).
- Kaidah keduapuluh: “al muta’addy ‘indahum afdholu minal qosir”(menurut para ulama’ bahwa orang yang kelewat batas itu lebih baik daripada orang yang sembrono).
- Kaidah keduapuluh satu: “al fardhu afdholu min al nafli”( ibadah fardhu itu lebih utama daripada ibadah sunnah).
- Kaidah keduapuluh dua: “al fadhilah al muta’aliqoh bi dzatil ibadah aula min al muta’aliqoh bi makaniha wa zamaniha”(keutamaan yang berhubungan dengan ibadah itu sendiri itu lebih utama daripada yang berhubungan dengan waktu dan tempat).
- Kaidah keduapuluh tiga: “al wajib la yutroku illa li wajib”(suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karna adanya kewajiban yang lain).
- Kaidah keduapuluh empat: “ma aujaba a’dhoma amroini bi khususihi la yujibu ahwanahuma bi umumihi”(kewajiban yang ada pada sesuatu yang lebih besar itu bisa menggugurkan kewajiban pada sesuatu yang lebih kecil), seperti kewajiban mandi menggugurkan kewajiban wudlu.
- Kaidah keduapuluh lima: “ma tsabata bil syar’i muqoddamun ala ma tsabata bil syarti”(sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ itu lebih didahulukan daripada sesutau yang ditetapkan karna adanya syarat).
- Kaidah keduapuluh enam: “ma haruma isti’maluhu haruma ittikhodhuhu”(sesuatu yang haram dipakai berarti haram disimpan).
- Kaidah ke duapuluh tujuh: “ma haruma akhdhuhu haruma i’to’uhu”(sesuatu yang haram untuk diambil berarti haram diberikan).
- Kaidah keduapuluh delapan: “al masyghulu la yusygholu”(sesuatu yang sudah disibukkan itu tidak boleh ditambah kesibukan lagi), contohnya barang yang statusnya digadaikan itu tidak boleh digadaikan lagi, tidak boleh ada dua akad.
- Kaidah keduapuluh sembilan: “al mukabbar la yukabbar”(sesuatu yang sudah dibesarkan /diperbanyak itu tidak boleh diperbanyak lagi), contoh hukum taslis tidak disunnatkan pada cara membasuh najis anjing karena sudah tujuh kali.
- Kaidah ketigapuluh: “man ista’jala syai’an qobla awanih ‘uqiba bi hirmanihi”(barang siapa tergesa-gesa dengan sesuatu sebelum masanya maka dia tidak akan mendapatkannya).
- Kaidah ketigapuluh satu: “al naflu ausa’u hukman minal fardhi”(hukum sunnah itu lebih luas ketimbang hukum fardhu).
- Kaidah ketigapuluh dua: “al wilayatul khossoh aqwa minal wilayatil ‘ammah”(kekuasaan husus itu lebih kuat daripada kekuasaan umum).
- Kaidah ketigapuluh tiga: “la ‘ibrota bi al dhon al bayyini khoto’uhu”(dugaan yang salah itu tidak dianggap).
- Kaidah ketigapuluh empat: “al isytigholu bi siwal maqsudi i’rodhun ‘anil maksudi”(sibuk dengan selain tujuan itu barati berpaling dari tujuan).
- Kaidah ketigapuluh lima: “la yunkaru al mukhtalafu wa innama yunkaru al mujma’u alaihi”(sesuatu yang diperselisihkan itu tidak di pungkiri, sesungguhnya
yang dipungkiri itu adalah sesuatu yang sudah disepakati).
- Kaidah ketigapuluh enam: “ yadkhulu al qowiyu ala al dho’ifi wala aksa”(sebab yang kuat itu bisa masuk padda sebab yang lemah dan tidak sebaliknya).
- Kaidah ketigapuluh tujuh: “yughtafaru fil wasa’ili mala yughtafaru fil maqasidi”(hal-hal yang tidak bisa dimaklumi dalam tujuan itu bisa dimaklumi dalam perantara dari tujuan tersebut).
- Kaidah ketigapuluh delapan: “al maisur la yasqutu bil ma’sur”(perkara yang mudah tidak bisa gugur dengan adanya perkara yang sulit).
- Kaidah ketigapuluh sembilan: “ma la yaqbalu al tab’idh fa ikhtiyaru ba’dhihi ka ikhtiyari kullihi wa isqotu ba’dhihi ka isqoti kullihi”(sesuatu yang tidak bisa dibagi itu jika dipilih sebagian maka berarti memilih keseluruhan, dan membatalkan sebagian berarti membatalkan keseluruhan).
- Kaidah keempat puluh: “idha ijtama’a al sabab wal ghurur wal mubasyarah quddimat al mubasyarah”(jika dalam suatu masalah itu berkumpul antara faktor penyebab, tipuan, dan faktor pelaku, maka yang dikenai hukuman adalah faktor pelaku).