METODE DAN LANGKAH KRITIK MATAN HADITS Bag. 2 (makalah lengkap)

METODE dan LANGKAH KRITIK MATAN HADITS Bag. 2
Pra Kodifikasi dan Pasca Kodifikasi

A.  Metode Kritik Matan Hadits
Dilihat dari sisi materi atau objek kritiknya, model kritik teks/matan hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua macam; (1)  kritik matan hadits pra kodifikasi “semua” hadits, dalam kitab-kitab hadits. dan (2) kritik matan pasca kodifikasi “semua” hadits.[9]
1. Metode kritik matan hadits pra kodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadits periode ini secara umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative) dan/atau rujuk silang (cross reference).  Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan  matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
b. Membandingkan (matan-matan)  hadits dalam dokumen tertulis dengan hadits-hadits yang disampaikan  dari hafalan.
c. Perbandingan antara  pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
d. Membandingkan hadits-hadits dari beberapa  murid yang mereka terima dari satu guru.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
Memperhatikan teknik-teknik yang dilakukan dalam kritik matan hadits pra kodifikasi di atas, teknik yang pertama yaitu membandingkan matan hadits dengan al-Qur’an masih mungkin dilakukan untuk kritik matan pasca kodifikasi. Sedangkan teknik-teknik lainnya tidak mungkin diaplikasikan terhadap kritik matan pasca kodifikasi.
Jadi, dapat dinyatakan bahwa metode kritik model pertama ini lebih merupakan pengalaman sejarah, karena  hadits-hadits Nabi sekarang ini telah dikodifikasikan. Namun demikian, sebagian metodenya, masih ada yang relevan untuk diterapkan terhadap model kedua dengan adanya modifikasi.

2. Metode kritik matan hadits pasca kodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadits pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
b. Membandingkan antara matan-matan hadits.
Cara menghimpun matan-matan  hadis untuk kepentingan kritik matan ini, ialah dengan melihat kitab-kitab kumpulan hadis yang menggunakan sistematika perbab atau pertema, seperti kitab-kitab hadits yang tergolong kategori sunan. Selain itu, dapat pula mengambilnya dari kitab-kitab kumpulan hadis tematik seperti kitab Riyad as-Salihin karya Imam Nawawi, dan kitab Bulug al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam perbandingan antar matan itu adalah kemungkinan adanya perbedaan dalam hal tambahan redaksi atau lafal, yakni adanya idraj atau ziyadah.  Hal tersebut   bisa saja terjadi karena adanya tambahan atau kekurangan  lafal atau redaksi baik karena adanya unsur kesengajaan (dengan tujuan yang semula positif), ataupun tidak, atau karena kekeliruan dan kelalaian periwayat yang sifatnya manusiawi.
Contohnya, perbedaan redaksi ucapan salam  dalam matan-matan hadits pada saat memalingkan wajah atau muka ke kanan dan ke kiri sebagai penutup dalam salat.   Dalam berbagai naskah cetakan kitab hadits yang beredar di masyarakat terdapat perbedaan tentang keberadaan lafal “wa barakatuh” dalam ucapan salam.
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits yang bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.[10]
Menurut Shalahuddin Al-Adlabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya:
1. Menghindari sikap sembrono (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2. Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih
4. Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.[11]
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
1. Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
2. Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
3. Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadits.[12]
Jika melihat kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kesengajaan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.[13]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada pengertian hadis sahih  yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana  telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah 1). terhindar dari syuzuz dan 2). terhindar dari ‘illat.  Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadis.[14]
Dari keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur yang oleh Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[15]
Adapun kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: Pertama, Matan bersangkutan tidak menyendiri. kedua, Matan hadis tidak  bertentangan dengan  hadis yang lebih kuat. Ketiga, Matan hadis itu tidak bertentangan  dengan Al-Qur’an. Keempat, matan hadis itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah[16]
Adapun kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah :  Pertama, matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan). Kedua, matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan). ketiga, matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian/terbalik lafaz atau kalimat) Keempat, matan Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.[17]

C.  Langkah-Langkah Dalam Melakukan Kritik Matan Hadits
Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, mengemukakan lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu:
1. Menghimpun hadis-hadits yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma’naKedua, hadis-hadis mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[18]
2. Meneliti matan hadits dengan pendekatan hadits
Sekiranya kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya, kandungan matan hadits tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadits maupun dengan al-Qur’an.
Hadis yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassal), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus (mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal dari yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[19] Berikut ini akan dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi tentang larangan mengenakan sarung sampai dabawah mata kaki atau memanjangkan sarung.
Shahih muslim, kitab iman:
قال مسلم : حدثنى ابو بكربن خلاد الباهلى حدثنا يحيى وهو القطان حدثنا سفيان حدثناسليمان الآعمش عن سليمان بن مسهر عن خرشة بن الخر عن أبى ذر عن النبيى ص م قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة المنّان الذى لايعطي شيئا الاّ منّه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر و المسبل ازره
Hadis di atas secara umum mengancam orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawah kedua mata kakinya. Dari hadis tersebut, timbul pertanyaan,apa di balik pelarangan tersebut? Untuk mengetahui kandungan hadis tersebut perlu diperbandingkan dengan hadis-hadis semakna. Salah satu hadis yang semakna dengan hadis di atas adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, sebagai berikut:
Shahih Al bukhari, kitab Al-libas,bab man jarra izarah
قال البخا رى:حد ثنا أحمد بن يونس حد ثنا زهير حد ثنا مو سى بن عقبة عن سالم بن عبد الله عن ابيه رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قا ل من جرثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه يوم القيامة يسترخي الاّ ان أتعاهد ذالك منه فقال النبي ص م لست ممّّن يصنعه خيلاء
Setelah dilakukan perbandingan dua hadis yang semakna, maka dapat disimpulkan bahwa larangan menjulurkan sarung sampai menyentuh tanah adalah yang dilakukan karena ada unsur kesombongan. Kesombongan merupakan salah satu sifat yang sangat dibenci Allah, maka pantaslah Rosulullah mengingatkan umatnya agar tidak melakukan aktivitas yang disertai dengan kesombongan termasuk dalam berpakaian.

3. Meneliti matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadis. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena bertentangan dengan al-Qur’an.[20]
Contohnya, hadis yang menjelaskan tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya terdapat dalam delapan kitab hadis dengan 37 jalur sanad. Hadis yang terdapat dalam Sahih Al Bukhari, terdapat dalam kitab janaiz, bab al mayyit yu’ azzab bibuka’i ahlih
قال البخارى : حدثنى علي بن حجر حدثنا علي بن مسهر عن الشيبا نيّ عن أبى بردة عن أبيه قال لمّا أصيب عمر جعل صهيب يقول واأخاه فقال له عمر يا صهيب اما علمت أنّ رسول الله ص.م قال انّ الميّت ليعذب ببكاءالحيّ
Menurut Muhammad Al Ghazali, dari 37 jalur sanad hadis diatas hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam sahih muslim . Argumen Muhammad Al Ghazali ini didasari oleh pendapat Aisyah yang mengkritik sahabat yang meriwayatkan hadis diatas. Menurut Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan pesan Alquran surat Al An’am : 164
…. ولاتزر وازرة وزر أخرى ….. ( الأنعام : ١٤٦
Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain (Q.S al an’am:164)
Dalam riwayat aisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa dalam kubur adalah orang yahudi, bukan orang mukmin. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap diatasnya.[21] Rasulullah lalu bersabda : (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya).

4. Meneliti matan hadits dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern?. Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.[22]
Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu. Contoh: riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW melihat laki-laki mengikuti burung merpati, kemudian bersabda : “Setan laki-laki mengikuti setan perempuan”. Demikian juga kandungan pernyataannya tidak bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprestasikan secara rasional. Contohnya :
والباذنجان شفاء من كل داء
5. Meneliti matan hadits dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi asbab al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.[23]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qishahs.[24]
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad  hadis diatas bersifat mauquf  tidak mencapai derajat marfu’ (tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat) dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari Rasulullah SAW.[25]
            


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kritik matan hadis adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status hadis sahih dan tidak sahih dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut memang berasal dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matanmemang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup
2. Metodologi kritik matan hadis (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a. Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan 2). Terhindar dari ‘illat.  Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadis.
b. Kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: 1). Matan hadis bersangkutan tidak menyendiri, 2). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan  hadis yang lebih kuat, 3). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, 4). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah
c.  Kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: 1). Matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan) 2). Matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan), 3). Matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), 4). Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan), 5). Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
3. Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadis adalah:
a. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
b. Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih
c. Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
d. Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
e. Penelitian matan dengan pendekatan sejarah


DAFTAR PUSTAKA

A.Salam, Bustamin, M. Isa H., Metodologi Kritik  Matan,  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
al-Adlabi, Shalahuddin, Ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj.  M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004
Arifuddin, Ahmad,  Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005
Azami, Muhammad Musthafa.  Metodologi Kritik Hadis.  Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995
--------------------------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2005
-------------------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabawi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007
-------------------------, Pengantar Ilmu hadis,  Bandung : Angkasa, 1991
Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Jilid 1, terj. Mujiyo. Bandung: Rosdakarya, 1994.
Kamil, Sukron, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000
Manshur, Fadlil Munawar (Penyunting). Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999.
Munawwir, Ahmad Wirson, Kamus Al-munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PBIK PP Al-Munawwir, 1984
Poerwadarminta, W.J.S.,  Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Cet.II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003





[1] Muhammad Musthafa Azami,.  Metodologi Kritik Hadis, Terj. A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 h. 17.
[2] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu hadis,  Bandung : Angkasa, 1991, h. 21
[3] Bustamin,  M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 h. 59-60
[4] Bustamin,  M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan.., h. 59-60
[5] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000, h . 34
[6] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj...,  h. 35
[7] Bustamin,  M. Isa H. A. Salam,  Metodologi Kritik...., h. 61
[8] Bustamin,  M. Isa H. A. Salam,  Metodologi Kritik...., h. 61
[9] Muhammad Musthafa Azami,.  Metodologi Kritik Hadis, h. 82.
[10] Bustamin,  M. Isa H. A. Salam,  Metodologi Kritik...., h. 61
[11] Shalahuddin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj.  M. Qodirun Nur dan Ahamad Musyafiq,  Metodologi Kritik Matan Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h. 7
[12] Shalahuddin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn..., h. 11
[13] Shalahuddin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn..., h. 33
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,  h. 109. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabawi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 117
[15] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahahihan Sanad Hadits; Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (cet . II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.145-149
[16] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h.117
[17] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis..., h.117
[18] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 64-65
[19] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 68-71
[20] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 71-75
[21] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000, h . 34
[22] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 76.
[23] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 85
[24] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 86-87
[25] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik...., h. 86-87


Related Posts:

0 Response to "METODE DAN LANGKAH KRITIK MATAN HADITS Bag. 2 (makalah lengkap)"