METODE dan LANGKAH KRITIK MATAN HADITS Bag. 2
Pra Kodifikasi dan Pasca Kodifikasi
A. Metode Kritik Matan Hadits
Dilihat dari sisi materi atau objek kritiknya, model kritik teks/matan
hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua macam; (1) kritik matan hadits pra
kodifikasi “semua” hadits, dalam kitab-kitab hadits. dan (2) kritik matan pasca
kodifikasi “semua” hadits.[9]
1. Metode kritik matan hadits pra kodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadits periode ini secara umum dapat
dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative) dan/atau rujuk
silang (cross reference). Di antara teknik-teknik perbandingan
yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
b. Membandingkan (matan-matan) hadits dalam dokumen tertulis dengan
hadits-hadits yang disampaikan dari hafalan.
c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang
disampaikan pada waktu yang berlainan.
d. Membandingkan hadits-hadits dari beberapa murid yang mereka terima
dari satu guru.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
Memperhatikan teknik-teknik yang dilakukan dalam kritik matan hadits pra
kodifikasi di atas, teknik yang pertama yaitu membandingkan matan hadits dengan
al-Qur’an masih mungkin dilakukan untuk kritik matan pasca kodifikasi.
Sedangkan teknik-teknik lainnya tidak mungkin diaplikasikan terhadap kritik
matan pasca kodifikasi.
Jadi, dapat dinyatakan bahwa metode kritik model pertama ini lebih
merupakan pengalaman sejarah, karena hadits-hadits Nabi sekarang ini telah
dikodifikasikan. Namun demikian, sebagian metodenya, masih ada yang relevan
untuk diterapkan terhadap model kedua dengan adanya modifikasi.
2. Metode kritik matan hadits pasca kodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadits pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca
kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja
teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk
zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau
memiliki kedekatan susunan redaksi.
b. Membandingkan antara matan-matan hadits.
Cara menghimpun matan-matan hadis untuk kepentingan kritik matan ini,
ialah dengan melihat kitab-kitab kumpulan hadis yang menggunakan sistematika
perbab atau pertema, seperti kitab-kitab hadits yang tergolong kategori sunan.
Selain itu, dapat pula mengambilnya dari kitab-kitab kumpulan hadis tematik
seperti kitab Riyad as-Salihin karya Imam Nawawi, dan kitab Bulug al-Maram karya
Ibnu Hajar al-Asqalani. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam perbandingan
antar matan itu adalah kemungkinan adanya perbedaan dalam hal tambahan redaksi
atau lafal, yakni adanya idraj atau ziyadah. Hal tersebut
bisa saja terjadi karena adanya tambahan atau kekurangan lafal atau
redaksi baik karena adanya unsur kesengajaan (dengan tujuan yang semula
positif), ataupun tidak, atau karena kekeliruan dan kelalaian periwayat yang
sifatnya manusiawi.
Contohnya, perbedaan redaksi ucapan salam dalam matan-matan hadits
pada saat memalingkan wajah atau muka ke kanan dan ke kiri sebagai penutup
dalam salat. Dalam berbagai naskah cetakan kitab hadits yang beredar
di masyarakat terdapat perbedaan tentang keberadaan lafal “wa barakatuh” dalam
ucapan salam.
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang
diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak
janggal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu
metodologi yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah
metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut,
terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan
otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai
sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang lain mahfuzh,
juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits yang
bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai
sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi
jika tetap tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan
yang lebih kuat.[10]
Menurut Shalahuddin Al-Adlabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak
dari beberapa segi, di antaranya:
1. Menghindari sikap sembrono (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud)
dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam
metodologi kritik matan.
2. Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan
menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya
tidak shahih
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan
penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
1. Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan
metodenya.
2. Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
Jika melihat kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan
banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan
sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah
kesengajaan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk
pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan,
seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.[13]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang berkualitas shalih ada dua
macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat).
Apabila mengacu pada pengertian hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama,
sebagaimana telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa
kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah 1). terhindar
dari syuzuz dan 2). terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga
terjadi pada matan hadis.[14]
Dari keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur yang oleh
Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[15]
Adapun kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz
adalah: Pertama, Matan bersangkutan tidak
menyendiri. kedua, Matan hadis tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat. Ketiga, Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Keempat, matan hadis itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan
sejarah[16]
Adapun kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah :
Pertama, matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan).
Kedua, matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan).
ketiga, matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian/terbalik lafaz atau kalimat) Keempat, matan Tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak
dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan
makna yang jauh dari matan hadis itu.[17]
C. Langkah-Langkah Dalam Melakukan Kritik Matan Hadits
Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, mengemukakan lima langkah
yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis
yaitu:
1. Menghimpun hadis-hadits yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad dan matan yang
sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis mengandung makna
yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah,
ibadah, dan lainnya. Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat
kualitas sanad dan matannya. Perbedaan
lafad pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam
periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut muhadditsin,
perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi
asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[18]
2. Meneliti matan hadits dengan pendekatan hadits
Sekiranya kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits lainnya, menurut Muhadditsin perlu
diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula
dengan al-Qur’an. Pada dasarnya, kandungan matan hadits tidak
ada yang bertentangan, baik dengan hadits maupun dengan al-Qur’an.
Hadis yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan
ilmu mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya
terperinci (mufassal), kedua, mengandung makna umum (am)
dan lainnya khusus, ketiga, mengandung makna
penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus (mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya,
diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna
universal dari yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[19] Berikut ini akan dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi
tentang larangan mengenakan sarung sampai dabawah mata kaki atau memanjangkan
sarung.
Shahih muslim, kitab iman:
Shahih muslim, kitab iman:
قال مسلم : حدثنى
ابو بكربن خلاد الباهلى حدثنا يحيى وهو القطان حدثنا سفيان حدثناسليمان الآعمش عن
سليمان بن مسهر عن خرشة بن الخر عن أبى ذر عن النبيى ص م قال ثلاثة لا يكلمهم الله
يوم القيامة المنّان الذى لايعطي شيئا الاّ منّه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر و
المسبل ازره
Hadis di atas secara umum mengancam orang yang membiarkan sarungnya terjulur
sampai dibawah kedua mata kakinya. Dari hadis tersebut, timbul pertanyaan,apa
di balik pelarangan tersebut? Untuk mengetahui kandungan hadis tersebut perlu
diperbandingkan dengan hadis-hadis semakna. Salah satu hadis yang semakna
dengan hadis di atas adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, sebagai
berikut:
Shahih Al bukhari, kitab Al-libas,bab man jarra izarah
قال البخا رى:حد ثنا
أحمد بن يونس حد ثنا زهير حد ثنا مو سى بن عقبة عن سالم بن عبد الله عن ابيه رضي
الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قا ل من جرثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه يوم
القيامة يسترخي الاّ ان أتعاهد ذالك منه فقال النبي ص م لست ممّّن يصنعه خيلاء
Setelah dilakukan perbandingan dua hadis yang semakna, maka dapat
disimpulkan bahwa larangan menjulurkan sarung sampai menyentuh tanah adalah
yang dilakukan karena ada unsur kesombongan. Kesombongan merupakan salah satu
sifat yang sangat dibenci Allah, maka pantaslah Rosulullah mengingatkan umatnya
agar tidak melakukan aktivitas yang disertai dengan kesombongan termasuk dalam
berpakaian.
3. Meneliti matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah
sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai
ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi
sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang
tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis
yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil
atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadis. Oleh karena itu, kita akan
kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku
hadis atau hadis sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan
karena bertentangan dengan al-Qur’an.[20]
Contohnya, hadis yang menjelaskan tentang mayit disiksa karena tangisan
keluarganya terdapat dalam delapan kitab hadis dengan 37 jalur sanad. Hadis
yang terdapat dalam Sahih Al Bukhari, terdapat dalam kitab janaiz, bab al
mayyit yu’ azzab bibuka’i ahlih
قال البخارى : حدثنى
علي بن حجر حدثنا علي بن مسهر عن الشيبا نيّ عن أبى بردة عن أبيه قال لمّا أصيب
عمر جعل صهيب يقول واأخاه فقال له عمر يا صهيب اما علمت أنّ رسول الله ص.م قال انّ
الميّت ليعذب ببكاءالحيّ
Menurut Muhammad Al Ghazali, dari 37 jalur sanad hadis diatas hanya dua
jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam
sahih muslim . Argumen Muhammad Al Ghazali ini didasari oleh pendapat Aisyah
yang mengkritik sahabat yang meriwayatkan hadis diatas. Menurut Aisyah riwayat
mereka bertentangan dengan pesan Alquran surat Al An’am : 164
…. ولاتزر وازرة وزر
أخرى ….. ( الأنعام : ١٤٦
Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain (Q.S al an’am:164)
Dalam riwayat aisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa dalam kubur adalah
orang yahudi, bukan orang mukmin. Suatu ketika Rasulullah
SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat
sedang meratap diatasnya.[21] Rasulullah lalu bersabda : (mereka sedang
meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya).
4. Meneliti matan hadits dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada
beberapa obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan
kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai
dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang terdapat
dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah
dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata
baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern?. Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat,
menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis,
dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna
dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.[22]
Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya
bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu. Contoh: riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW melihat laki-laki mengikuti burung merpati, kemudian bersabda :
“Setan laki-laki mengikuti setan perempuan”. Demikian juga kandungan
pernyataannya tidak bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprestasikan
secara rasional. Contohnya :
والباذنجان شفاء من كل داء
5. Meneliti matan hadits dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu
hadis (asbab al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami
kandungan hadis. Fungsi asbab al-wurud hadits ada
tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua,
mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai
rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.[23]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama
bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang
berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah
Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah,
tetapi ia menolaknya karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di
dalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka
kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum
apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang
terikat perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka
ia dijatuhi hukum qishahs.[24]
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad hadis
diatas bersifat mauquf tidak mencapai derajat marfu’ (tidak
disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat) dan dari segi matan dengan
pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari
Rasulullah SAW.[25]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kritik matan hadis adalah kegiatan yang mempunyai
cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadis,
sehingga ditemukan status hadis sahih dan tidak sahih dari segi matannya, ini
juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali kebenaran sumber hadis yang
disandarkan kepada Nabi tersebut memang berasal dari nabi atau tidak dan
kegitan kritk matanmemang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup
2. Metodologi kritik matan hadis (kaidah mayor dan kaidah
minor) adalah:
a. Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan
2). Terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain
terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadis.
b. Kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz
adalah: 1). Matan hadis bersangkutan tidak menyendiri,
2). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat, 3). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an, 4). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan akal
sehat, indera dan sejarah
c. Kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah:
1). Matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan)
2). Matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan), 3). Matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), 4). Tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak
dapat dikompromikan), 5). Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna
yang jauh dari matan hadis itu.
3. Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadis
adalah:
a. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
b. Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih
c. Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
d. Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
e. Penelitian matan dengan pendekatan sejarah
DAFTAR PUSTAKA
A.Salam, Bustamin, M. Isa H., Metodologi Kritik Matan, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
al-Adlabi, Shalahuddin, Ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda Ulama
al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadits, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004
Arifuddin, Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta:
Renaisan, 2005
Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis.
Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan
Pemalsunya, Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995
--------------------------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah
Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang,
2005
-------------------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabawi, Jakarta:
Bulan Bintang, 2007
-------------------------, Pengantar Ilmu hadis, Bandung
: Angkasa, 1991
Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Jilid 1, terj. Mujiyo. Bandung: Rosdakarya, 1994.
Kamil, Sukron, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad
dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000
Manshur, Fadlil Munawar (Penyunting). Pengantar Teori Filologi.
Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi,
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999.
Munawwir, Ahmad Wirson, Kamus Al-munawwir Arab Indonesia
Terlengkap, Yogyakarta: Unit PBIK PP Al-Munawwir, 1984
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1976.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Cet.II; Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2003
[1] Muhammad Musthafa Azami,. Metodologi Kritik Hadis, Terj. A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 h. 17.
[2] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu hadis, Bandung : Angkasa, 1991,
h. 21
[3] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi
Kritik Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 h.
59-60
[5] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis,
terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam
Al-Huda, 2000, h . 34
[11] Shalahuddin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun
Nur dan Ahamad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan
Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h. 7
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi, h. 109. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabawi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 117
[15] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahahihan Sanad Hadits; Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan
Sejarah (cet . II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.145-149
[21] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis,
terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam
Al-Huda, 2000, h . 34
0 Response to "METODE DAN LANGKAH KRITIK MATAN HADITS Bag. 2 (makalah lengkap)"
Post a Comment