GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM, STUDI HADITS GENDER
Bag 2
bagian 2 dari makalah gender dalam pandangan islam, studi hadits gender ini membahas tentang kedudukan wanita menurut hadits Nabi, Status wanita dalam tinjauan hadits Nabi, Hikmah Hadits-Hadits Tentang Gender
B. Kedudukan Wanita menurut Hadits Nabi
Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa sayyidina Umar bin Khattab ra.
Suatu ketika tersenyum dan tidak lama kemudian ia menangis. Para sahabat yang
lain heran bertanya kepada sayyidina Umar mengenai hal itu, lalu amirul
mukminin menjawab bahwa ia tertawa karena mengingat
sikap dan perbuatannya ketika ia masih berada dalam kekafiran, ia bepergian
dengan membawa patung yang terbuat dari roti yang kemudian disembah dalam
perjalanannya. Akan tetapi karena merasa lapar dan tidak ada yang bisa dimakan,
akhirnya ia mencabut hidung patung tuhannya yang terbuat dari roti kemudian ia
makan hidung tersebut.
Sedangkan penyebab ia menangis karena mengingat sikap dan perbuatannya
ketika menguburkan hidup-hidup anak perempuannya disebabkan adanya anggapan
bahwa wanita adalah sebuah aib atau mungkin menjadi pintu masuk kehinaan dalam
lingkungan keluarga terhormat.
Demikianlah salah satu dari sekian banyak gambaran tentang keadaan wanita
pra-Islam. Terlepas dari benar dan tidaknya riwayat di atas, hal itu
menunjukkan penghinaan dan pelecehan terhadap eksistensi wanita[9], bahkan disebutkan
bahwa sayyidina Umar bin Khattab ra pernah mengatakan :
والله ان كنا في الجاهلية ما نعد النساء أمرا حتى أنزل الله فيهن ما أنزل وقسم
لهن ما قسم “Demi Allah, dulu ketika
masa Jahiliah. Kami tidak pernah menganggap wanita sebagaimana mestinya hingga
Allah menurunkan ayat yang berbicara tentang mereka dan bersumpah untuk
mereka”.[10]
Bukan hanya itu, pelecehan terhadap wanita masuk pada persoalan pembagian
harta warisan. Di mana mereka –masyarakat jahiliyah- tidak memberikan warisan
kecuali kepada anak laki-laki dewasa mereka. Sedangkan wanita dan anak kecil
dianggap tidak pantas menjadi pewaris. Bahkan di saat mereka bertawaf di
sekeliling Ka’bah, sehelai kain pun tidak melekat ditubuhnya. Betapa rendah
kedudukan wanita pra-Islam.
Akan tetapi Islam sebagai agama yang membawa misi kerahmatan datang dengan
mengumumkan kemuliaan wanita, mengukuhkan eksistensi mereka sebagai makhluk
seutuhnya yang memiliki sifat taklif, tanggung jawab, balasan dan hak masuk
surga. Islam memandang wanita sebagai manusia yang mulia, yang memiliki hak
yang sama dengan laki-laki. Karena keduanya adalah dua cabang dari satu pohon,
dua bersaudara yang ayahnya adalah Adam dan ibunya adalah Hawa.[11]
Wanita dalam Islam adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang tinggi, di
mana sebelumnya mereka tidak memiliki nilai dan penghargaan. Banyak dalil yang
menunjukkan hal tersebut, termasuk hadits dan sunnah Nabi, maka di sana
ditemukan beberapa sabda Nabi yang mengangkat derajat wanita.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah ra. :
سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الرجل يجد البلل ولا يذكر احتلاما قال ”
يغتسل ” وعن الرجل يرى أن قد احتلم ولا يجد البلل قال ” لا غسل عليه ” فقالت أم
سليم المرأة ترى ذلك أعليها غسل ؟ قال ” نعم إنما النساء شقائق الرجال “[12]
Hadits di atas memang berbicara mengenai kewajiban mandi junub jika
seseorang mengalami mimpi basah, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya tidak
dibedakan sebab mereka adalah bersaudara yang berasal dari satu keturunan.[13]
Persamaan konsekuensi tersebut memberi isyarat bahwa wanita memiliki
kedudukan yang tinggi.
Termasuk pula hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. ;
من كانت له أنثى فلم يئدها ولم يهنها ولم يؤثر ولده عليها قال يعني الذكور
أدخله الله الجنة
“Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, lalu ia tidak
menyakiti (menguburnya hidup-hidup) dan menghinanya serta tidak membedakannya
dengan anak laki-lakinya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga”.[14]
Hadis ini kembali menegaskan bahwa betapa besar perhatian Islam terhadap
wanita karena mereka memang pantas untuk diperhatikan sebagai makhluk yang
dimuliakan oleh-Nya dengan adanya kesamaan kedudukan dengan lawan jenisnya.
Bahkan secara khusus di dalam al Qur’an terdapat satu surah yang
ber-“label”-kan wanita. Demikian pula ayat-ayat al Qur’an, banyak yang
menjelaskan kesetaraan tersebut. Misalnya saja firman Allah SWT QS. Al Nisa’; 1
:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu…”[15]
Penghormatan dan penghargaan Islam –termasuk yang digambarkan oleh sunnah
Nabi- adalah penghormatan yang sempurna, sebab Islam dalam memuliakan wanita
tidak terbatas pada pencegahan penyiksaan terhadap mereka atau membebaskan
mereka dari penindasan masyarakatnya utamanya kaum lelaki tetapi Islam
memuliakan wanita sampai pada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam bentuk
pembinaan, mendorong mereka pada kebaikan, membahagiakan serta melapangkan dada
mereka pada batasan-batasan yang diperbolehkan oleh Allah.[16]
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh
al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ;
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فإذا شهد أمرا فليتكلم بخير أو ليسكت واستوصوا
بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه إن ذهبت تقيمه كسرته
وإن تركته لم يزل أعوج استوصوا بالنساء خيرا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian maka hendaklah ia
berkata baik bila melihat sesuatu atau ia diam saja, dan minta wasiatlah untuk
para wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok. Dan sesungguhnya sesuatu yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Bila kamu ingin meluruskannya –dengan memaksa- maka kamu akan memecahkannya,
namun bila kamu meninggalkannya maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah –minta
wasiatlah- terhadap wanita dengan kebaikan”[17]
Menurut Abdul Rauf al Manawi kata “istaushu bi al nisa’I khairan” bermakna
saling menasihatilah kalian, pergaulilah para wanita, bercengkramalah dengan
mereka serta perbaikilah hubungan kekerabatan dengan mereka.[18]
C. Status wanita dalam tinjauan hadits Nabi
Membicarakan persoalan gender berarti berbicara mengenai sesuatu yang
hangat baik di kalangan agamawan, politisi, akademisi bahkan ibu rumah tangga.
Tentunya dari pembicaraan tersebut akan melahirkan perdebatan yang dipicu oleh
pola piker dan metodologi yang digunakan.[19]
Kata “Gender” sampai sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan
pengkajinya, Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender
yang berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”, Nasaruddin Umar juga
menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan.[20]
Berdasarkan pengertian tersebut maka akan dilihat bahwa kedua jenis makhluk
tersebut (laki-laki dan wanita) adalah dua makhluk yang tidak mungkin disamakan
dari segi social dan budaya karena memang keduanya memiliki perbedaan.[21] Karena itulah muncul sebuah istilah persamaan jender karena adanya
keinginan oleh sebagian orang untuk menyamakan wanita dan laki-laki dalam semua
aspek sampai kepada pembangkangan atas kedudukannya sebagai istri, ibu atau
sebagai perempuan. Bahkan Juhaya S. Praja mengutip tulisan Qasim Amin –penulis
buku al Mar’at al Jadidah (Wanita Modern) dan Tahrir al Mar’at (Emansipasi
Wanita) bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita.[22]
Memang Islam telah memuliakan kedudukan dan derajat wanita bahkan dalam
beberapa ayat dan hadis terdapat indikasi bahwa wanita lebih mulia dari
laki-laki. Di antaranya QS. Al Zumar ; 6, atau hadis-hadis Nabi yang berbicara
mengenai perbandingan ayah dan ibu bagi seorang anak untuk berbakti kepadanya,
atau pernyataan Nabi bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Akan tetapi Islam
juga mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki perbedaan –plus mines- di
antara keduanya, sehingga keinginan untuk mempersamakan mereka dalam segala
aspek kehidupan adalah sesuatu yang tidak mungkin tercapai disebabkan banyak
perbedaan tersebut baik dari segi kodratinya maupun dari segi syar’inya.
Bahkan dengan adanya perbedaan dari kedua segi tersebut sehingga Rasulullah
sangat melaknat المتشبه baik laki-laki maupun
wanita. Hal itu disebabkan oleh adanya keinginan untuk merusak dan
menghancurkan perbedaan-perbedaan tersebut di mana hal tersebut tidak bisa
berubah.[23] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah dari Hasan ra. :
لعن من الرجال المتشبه بالنساء ولعن من النساء المتشبهة المترجلة
“Rasulullah melaknat lakai-laki yang menyerupai wanita demikian pula wanita
yang bertingkah laku seperti laki-laki”.
Pada dasarnya hadis di atas berbicara mengenai penyamaan dalam aspek bentuk
tubuh, akan tetapi setidaknya ia menunjukkan bahwa tidak mungkin menyamakan
kedua jenis tersebut. Itulah sebabnya istri Imran ketika mengalami kesulitan
ketika melahirkan Maryam –ibunda nabi Isa as.- mengatakan :
رب اني وضعتها أنثى والله أعلم بما وضعت
وليس الذكر كالأنثى
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah
seperti anak perempuan”.[24] Imam al Razi pun menafsirkan kalimat وليس الذكر كالأنثى sebagai bukti kemuliaan laki-laki dibandingkan dengan
perempuan disebabkan banyak faktor.[25]
Dalam sejarah Islam, jelas bahwa wanita telah memberikan sumbangannya –yang
tidak jauh berbeda dengan sumbangsi kaum pria- dalam proses pembangunan dan
pengayaan kebudayaan Islam. Meskipun demikian, fungsi-fungsi wanita dalam
bidang pekerjaan, secara umum berbeda sifat dan ruang lingkupnya. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh keterbatasan mereka dan perbedaannya dengan laki-laki,
baik dari segi fisik, pisiologi, psikologi maupun emosi. Semua itu dimaksudkan
sebagai upaya mengaktualisasikan potensi peradaban masyarakat, menyumbangkan
kemampuan kreatifnya dalam bidangnya massing-masing, baik yang bersifat
material maupun spiritual.[26]
pada persoalan lain, wanita tetap memiliki kesempatan sesuia dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang dimuliakan[27]. Sebagai contoh, kewajiban menuntut ilmu bukan hanya
ditujukan kepada kaum dam semata namun juga mengarah ke kaum Hawa, sebagaimana
sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh umat Islam”.[28]
D. Hikmah Hadits-Hadits Tentang Gender
Dari beberapa hadits diatas, dapat diambil beberapa hikmah atau pelajaran
sebagai berikut:
a. Sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur’an
yang dapat membantu dalam menafsirkan keadilan gender dalam kehidupan
sehari-hari, serta Membantu memahami peran dan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam peran sosial.
b. Mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang
ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi indivisual, baik dalam bidang
spiritual maupun karir tidak mesti dimonopoli salah satu jenis kelamin saja.
c. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi
terhadap kaum perempuan, justru Islam memuliakan kaum perempuan dan laki-laki.
Islam menghormati hak laki-laki dan perempuan tanpa menjatuhkan salah satu
jenis.
d. Sabda Rasulullah selalu menyesuaikan
dengan keadaan pada saat beliau mengutarakan maksud atau perkataannya.
e. Islam selalu mengutamakan kepentingan
laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki atau perempuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gender adalah konsep perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan
yang dibentuk oleh konstruksi sosial budaya. Beberapa hadits-hadits gender
diantaranya sebagai berikut: Hadits tentang penciptaan manusia; Hadits tentang
kepemimpinan; Hadits tentang laknat malaikat; Hadits tentang puasa sunnah;
Hadits tentang Perempuan Kurang Akal dan Agamanya; Hadits tentang Perempuan
Lebih Utama Shalat di Rumah; Hadits tentangPerempuan Sumber Kesialan; Hadits
tentang Perempuan Sumber Fitnah; Hadits tentang Perempuan Perangkap
Setan; dan Hadits tentang Wanita adalah Aurat.
Dari beberapa hadits diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Islam
bukanlah misoginis, yaitu menindas kaum perempuan dan mengunggulkan kaum
laki-laki, akan tetapi Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang
memuliakan baik laki-laki maupn perempuan. Adanya hadits-hadits yang terkesan
membebani perempuan, muncul semata-mata adanya kejadian-kejadian yang mengarah
untuk itu, sehingga hadits-hadits tersebut perlu diteliti dan dianalisis
peristiwa apa yang menjadi latar belakang hadits tersebut. Sehingga, tidak
semua hadits bisa diambil maknanya secara tekstual saja, terkadang juga harus
secara kontekstual.
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai gender dalam perspektif
hadis Nabi, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ;
1. Wanita sebelum datangnya Islam bagaikan
makhluk aneh yang siap menyebarkan virus kehinaan di tengah peradaban
masyarakat utamanya kaum lelaki ataukah mereka hanya dianggap sebagai mesin
penhibur yang dapat diatur dan diperintah sesuai kemauan sang mulia
(laki-laki). Akan tetapi ketika Islam datang dengan membawa al Qur’an dan sabda
Nabi-Nya maka wanita mendapatkan tempat yang layak, kedudukannya diangkat
sebagaimana mestinya menjadi makhluk yan dimuliakan tanpa ada perbedaan dengan
laki-laki. Mereka sama di mata Tuhan dan agama. Karena setiap orang –termasuk
wanita- perlu menjaga kedudukan tersebut jangan sampai kedudukan yang tinggi
tidak dapat diraih bukan karena tidak ada anugerah Tuhan tetapi karena mereka
sendiri menolak pemberian Tuhan dengan menyalahi aturan-aturan keagamaan yan
ada.
2. Laki-laki dan wanita adalah dua makhluk
yang memiliki perbedaan, dan perbedaan tersebut sulit untuk disamakan namun
bukan berarti tidak bisa disatukan. Sehingga menyamakan peran dan kerja kedua
makhluk tersebut adalah sesuatu yang sulit bahkan “mungkin” mustahil, tetapi
menyatukannya dalam artian melaksanakan tanggung jawab dan fungsi sebagaimana
kodrat masing-masing adalah sebuah kemestian. Sehingga Islam –termasuk al Sunnah-
menilai persamaan gender adalah sebuah kesulitan namun kerja sama di antara
kedua gender tersebut adalah sebuah keharusan untuk menciptakan keragaman penuh
kebersamaan dalam masyarakat dan memang itulah yang menjadi tanggung jawab dua
orang bersaudara, al Nisa’ Syaqaiq al Rijal.
baca sebelumnya di: studi hadits gender bag. 1
DAFTAR PUSTAKA
Abu al Thayyib Muhammad Syamsul Haq al Azhim Abadi, ‘Aun al Ma’bud
Syarh Sunan Abi Daud. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiyah. 1994.
Al Hushain Ahmad Abdul Aziz, al Mar’at wa Makanatuha fi al
Islam. Kairo. Maktabah al Iman. 1981.
AL Qur’an al Karim
Al-Alusi Syihabuddin al Sayyid Mahmud, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al
Qur’an al Azhim.Beirut. Dar al FIkr. 1993.
Al-Bukhari Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al
Bukhari. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiah. 1992.
Al-Mubarakfuri Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim, Tuhfat
al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1995.
Al-Muqaddim Muhammad bin Ahmad Ismail, al Mar’at Baina Takrim al
Islam wa Ihanat al Jahiliyah. Kairo. Dar Ibni al Jauzi. 2005.
Al-Naisaburi Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi, Shahih
Muslim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1996.
Al-Qaradhawi Yusuf, Khithabuna al Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika
Islam; Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor
Ridho. Jakarta. Pustaka al Kautsar. 2007.
Al-Qazwini Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah, Sunan Ibni
Majah.Semarang. Karya Toha Putra. tt.
Al-Razi Fakhruddin, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib. Beirut.
Dar al Fikr. 1994.
Al-Sajastani Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Daud. Hims
Suriah. Dar al Hadits. tt.
Al-Tirmudzi Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al
Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Alvi Alvavi Maknuna, Hadits dan Isu-isu gender,
Bin Hanbal Ahmad bin Muhammad, al Musnad. Riyadh. Maktabah
al Turats al Islami. 1994.
Fakih Mansour ,Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 ), Cet. ke-1.
Ilyas Hamim, Perempuan Tertindas?, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2003.
Praja Juhaya S., Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan
Manusia.Bandung. Remaja Rosdakarya. 2000.
Siti Zubaedah, makalah yang berjudul Kesadaran Gender yang Islami.
FOOTNOTE:
[4] Kisah ini bisa dilihat dengan jelas dalam
surat An-Naml dan al-Anbiyaa, kisah nabi Sulaiman yang pada saat itu juga
seorang raja besar yang hendak menjalin hubungan diplomatik dengan seorang Ratu
yang mempunyai kekuasaan Negara yang besar, atas informasi dari seekor burung
Hudhud. (lihat Siti Muri’ah, Gender, Kepemimpinan dan pembebasan perempuan
dalam perspektif Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media 2007. Hlm. 45)
[7] HR. Bukhori, kitab al-Nikah, bab, صوم المرأة بإذن زوجها تطوعا no.4793, diriwayatkan juga oleh Imam muslim, Abu
Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah
[9] Keadaan masyarakat yang seperti di atas
digambarkan oleh al Qur’an –khususnya QS. Al Nahl ; 58-59- yang menyebutkan
bahwa bila yang lahir adalah wanita maka wajah mereka akan berubah menjadi hitam
dan sangat marah bahkan mereka akan menyembunyikan diri dari orang lain karena
menganggap kelahiran tersebut adalah suatu berita yang sangat buruk bagi mereka
[10] Ahmad Abdul Aziz al Hushain, al Mar’at
wa Makanatuha fi al Islam (Kairo; Maktabah al Iman, 1981), cet. II,
hal. 11.
[11] Yusuf al Qaradhawi, Khithabuna al
Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika Islam; Bagaimana
Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor Ridho (Jakarta;
Pustaka al Kautsar, 2007) cet. II, hal. 225.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan al
Turmudzi. Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi
Daud (Hims Suriah; Dar al Hadits, tt), jil I, hal. 111, Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, al Musnad (Riyadh; Maktabah al Turats al
Islami, 1994), jil. VI, hal. 256, dan Abu Isa Muhammad bin Isa bin
Saurah, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. I,
hal. 189. Al Turmudzi mengomentari bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh para
perawi yang berkualitas baik kecuali Abdullah bin Umar al Umari yang dianggap
sebagai perawi yang lemah, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
hadis di atas dari segi sanad memang dhaif namun dari segi matan maka ia tetap
sahih, apatah lagi kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil
yang lebih kuat, termasuk al Qur’an.
[13] Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn
Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al
Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 312. Dan Muhammad
Syamsul Haq al Azhim Abadi Abu al Thayyib, ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan
Abi Daud (Beirut; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994), jil. I, hal. 275.
[14] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad
masing-masing dari Ibnu Abbas ra. Lihat Abu Daud, Sunan Abi Daud..., jil. II, hal, 759, dan Ahmad, al Musnad..., jil. I, hal.
223.
[15] Para mufassir berbeda pendapat memahami
makna kata “min nafsin wahidah”, sebagian di antaranya memahami sebagai
nabi Adam as. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai tanah yang menjadi bahan
dasar penciptaan tubuh manusia. Namun terlepas dari keragaman pehamaman
tersebut, yang jelas wanita dan laki-laki adalah makhluk yang sama di hadapan
Allah sehingga tidak seyogyanya mereka dibedakan dalam kedudukan sebagai hamba
Allah yang memiliki taklif dan tanggung jawab masing-masing. Untuk lebih
jelasnya lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi
Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. III, hal.
397, Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib (Beirut;
Dar al Fikr, 1994), jil. V, hal. 35.
[16] Muhammad bin Ahmad Ismail al
Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat al Jahiliyah (Kairo;
Dar Ibni al Jauzi, 2005), cet. I, hal. 101.
[17] Diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim dan
Ibnu Majah. Lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih
al Bukhari; Bab al Suhulah wa al Samahah(Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah,
1992), jil. III, hal. 212. Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al
Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1996),
jil. IV, hal. 178. Dan Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah al
Qazwini, Sunan Ibni Majah (Semarang; Karya Toha Putra, tt),
jil. I, hal. 594.
[18] Abdul Rauf al
Manawi, Faidhu al Qadir Syarh al Jami’ al Shaghir (Mesir;
Maktabah al Tijariyah al Kubra, 1356 H), cet. I, jil. 1, hal. 506.
[19] Untuk lebih jelasnya mengenai hal pola
piker dan metodologi tersebut lihat Barbara Freyer Stower, Reinterpretasi
Gender (Wanita dalam Al Qur’an, Hadis dan Tafsir) (Bandung; Pustaka
Hidayah, 2001), hal. 15.
[21] Hal ini berbeda dengan maksud bagian
pertama di atas tentang kedudukan wanita. Benar laki-laki dan wanita memiliki
kedudukan yang sama bahkan kemungkinan wanita lebih mulia dari laki-laki, akan
tetapi dalam aspek lain termasuk statusnya maka wanita dianggap tetap berbeda
dengan laki-laki.
[22] Juhaya S.
Praja, Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia(Bandung;
Remaja Rosdakarya, 2000), cet. I, hal. 254.
[23] Muhammad bin Ahmad, Ismail al
Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat..., hal.
125.
[27] Baca QS. Al Buruj ; 10, QS al Naahl ; 97,
QS. Ghafir; 40, dan masih banyak ayat-ayat yang lain tidak menyamakan tanggung
jawab dan hak mereka untuk melakukan serta mendapatkan konsekuensi
keberagamaannya.
[28] Lihat Ibnu Majah, Sunan Ibn
Majah..., jil. I, hal. 81. Al Suyuthi menganggap hadiis tersebut
sebagai hadis sahih karena memiliki banyak riwayat.
0 Response to "Gender dalam pandangan islam, studi hadits gender Bag. 2 (makalah lengkap)"
Post a Comment