SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM TASAWUF
Bag. 2
makalah sejarah perkembangan pemikiran dalam tasawuf Bagian 2 ini membahas tentang tahap perkembangan tasawuf, Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah, Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah, Tasawuf Abad kelima Hijriyah, Tasawuf Abad Keenam Hijriyah, Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan Sesudahnya
D. Tahap
Perkembangan Tasawuf ( Tasawuf dari masa ke masa)
1. Tasawuf
Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Menurut para
ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului
lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme
mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya
kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya
mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap
bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan
kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[33]
Istilah yang
populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan
‘ubbaad[34]. Nussaak merupakan
bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah
menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah
bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia,
kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan
bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah
mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Para ahli
berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan
asketisisme dalam Islam. R.A. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam
Islam bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide
Islam tentang Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi (Kristen).
Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama,
asketisisme yang mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena
pula dampak asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya
yang luas yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah (ma’rifah),
keadaan ruhaniah (hal), dan rasa (dzauq). Menurutnya yang kedua
ini terkena dampak Neo-Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan
demikian, kedua orientalis di atas menganggap asketisisme dalam Islam muncul
dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani,
sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang
terakhir[35].
Sementara
itu, Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan
asketisisme dalam Islam[36]. Pertama,
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran sendiri telah mendorong
manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah, menghindari dunia beserta
hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi
kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia agar beribadah,
bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan lain-lain.
Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim
terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak
asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak
para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya
Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih
banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsip-prinsip
umumnya.
Keempat, penentangan terhadap fikih dan
kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman
para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan
perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk
memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka.
Menurut Abu
al-Wafa’, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan
dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini
berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan
memelihara dari azab neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan
Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam
masyarakat Islam ketika itu. Kedua, asketisisme ini bercorak
praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun
prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Sarana-sarana praktisnya
merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan
maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, berlebih-lebih dalam merasa
berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya.
Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan moral. Ketiga,
motivasi asketisisme ini adalah rasa takut (khouf), yakni rasa
yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada
akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi
cinta kepada Allah(mahabatullah), yang bebas dari rasa takut
terhadap azab-Nya maupun rasa harap terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan
penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Allah. Keempat,
asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada
Rabia’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang
sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak
dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih
tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat
Hijriyah.[37]
Sedangkan
Abu al-Wafa’ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek[38]. Pertama, faktor Al-Quran dan Sunnah.
Faktor pertama dan utama yang mengembangkan asketisisme dalam Islam adalah
ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan
uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha
secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk memperoleh pahala surga ataupun
selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan
dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu membersihkan diri.[39] Kedua,
kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah
Utsman bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan
politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak
terjadi kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada
asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi
mengundang reaksi kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan
tercipta kesetaraan hidup umat Islam.
Kaum asketisisme
pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali
bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama.
Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai
akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir,
Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia
dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul
Aziz (717-720M.) yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan
patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.[40]
Khalifah
lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian,
selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta
tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin
mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut.[41] Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga
melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu
Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.[42]
Era abad
pertama dan kedua Hijriyah ini sudah banyak para tokoh zahid, baik dari
kalangan sahabat maupun generasi tabi’in. Berikut ini merupakan tokoh-tokohnya
menurut tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari
kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18H), Abu Dzar Al-Ghiffari
(w 22H), Salman Al-Farisi (w 32 H), dan Abdullah ibn Mas’ud (w 33 H). Sedangkan
dari kalangan tabi’in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w 91 H)
dan Salim ibn Abdullah (w 106 H). Tokoh-tokoh zahid dari Basrah adalah Hasan
Al-Bashri ( w 110 H), Malik ibn Dinar (w 131 H), Fadl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn
Al-Hadan Al-Qais (w 149 H), Shalih Al-Murri dan Abdul Wahid ibn Zaid (w 171 H)
dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w 67 H), Said
ibn Jubair (w 96 H), Thawus ibn Kisan (w 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w 161 H),
Al-Laits ibn Said (w 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w 198 H), dan lain-lain.
Sedangkan
tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar
Al-Tajibi (w 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w 83 H), Nafi’ hamba sahaya
Abdullah ibn Umar (w 117 H), Hayah ibn Syuraih (w 158 H), dan Abu Abdullah ibn
Wahhab ibn Muslim Al-Mishri (w 197 H). Pada masa terakhir tahap ini juga muncul
tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham (w 161 H), Fudhail ibn Iyadh (w 187 H),
Dawud Al-Tha’i (w 165 H), dan Rabi’ah Al-Adawiyyah[43].
2. Tasawuf
Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Walaupun
sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme
dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah
terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada
masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka
lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer,
seperti zuhhaad dan nussaak, secara
perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.[44]
Para sufi
pada era tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang
sebelumnya justru tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku,
pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang
dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal),
ma’rifat dan metode-metodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu
mereka menyusun prinsi-prinsip teoretis dari semua konsep tersebut. Bahkan
mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa
simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing
bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan
para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim
Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan
bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti
yang luas[45].
Sejak abad
ketiga Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi
terpisah dari ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua
bagian: yang satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai
hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi
berkaitan dengan kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi
diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan
cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan
terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.[46]
Sejak masa
itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan
terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu
mereka sebagai ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu
dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu
syariah, ilmu dirasah, dan ilmu riwayah[47].
Selanjutnya
menurut Abu Al-Wafa’, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf[48]. Pertama, aliran para sufi yang
pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan
syari’ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi
ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona
keadaan-keadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang
terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah
Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami[49].
Kendati
demikian, secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik
kedua jenis tasawuf tersebut.[50] Pertama,
peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah,
tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab, aspek moral tasawuf pada masa
itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya,
penyakitnya, ataupun jalan keluarnya.
Kedua, pengetahuan intuitif secara
langsung atau disebut ma’rifat. Ini merupakan prinsip epistemologis yang
membedakan tasawuf dengan filsafat.[51]
Tokoh yang
mula-mula membahas persoalan ma’rifat adalah Ma’ruf Al-Karkhi, yang diikuti
oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun
Al-Mishri. Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis
sebuah buku kecil yang cukup terkenal tentang ma’rifah yaitu Syarh
al-Ma’rifah wa Badzl al-Nashihah[52]. Secara
garis besar, Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma’rifat yaitu (1) ma’rifat
kepada Allah; (2) mengenal iblis sebagai musuh Allah; (3) mengenalnafs; dan
(4) mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata.
Ketiga, pemenuhan fana (sirna) dalam
realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik
dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai pada kondisi
tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun keakuannya.
Keempat, ketenteraman atau kebahagiaan. Ini
merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf
diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta
pembangkit keseimbanagn psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya,
tujuan tersebut akan membuat sang sufi terlepas dari semua rasa takut dan
merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.[53]
Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam
mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang dimaksud dengan simbol di
sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi biasanya mengandung dua
pengertian; 1) pengertian yang terdapat pada kata-kata tekstual. 2) pengertian
yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir
sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk dapat memahami maksud
tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisi-kondisi efektif yang khusus,
yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata.
3.
Tasawuf Abad kelima Hijriyah
Aliran
tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima
Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung
dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai
tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi
sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.
Tenggelamnya
aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh
berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung
melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di
antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan
Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap
penyimpangan tasawuf.[54]
Abu Al-Qasim
Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah
terutama karena karya monumentalnya, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang
sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi
melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu,
Qusyairi memulai kitabnya dengan menguraikan prinsip-prinsip tauhid,
seperti ma’rifatullah, sifat-sifat, keimanan dan lainnya.
Selanjutnya ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat wal ahwal,
kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat
mengenai para tokoh sufi ternama.
Menurut
Qusyairi, antara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat merupakan
disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah ketuhanan.
Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima.
Sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syariat, tidak akan tercapai.
Syari’at berarti menyembah-Nya, sedang hakikat berarti seorang hamba
menyaksikan-Nya.[55]
Begitu pula
eksposisinya mengenai tahap-tahap perjalanan sufistik menuju Tuhan, terlihat
sangat sistematis. Dalam perspektif Qusyairi, seorang hamba tidak akan bisa
menaiki satu maqam ke maqam lainnya sebelum
terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Siapa yang belum
sepenuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Siapa
yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak
bertobat, tidak sah ber-inabah. Dan siapa yang tidak wara’, tidak
sah untuk ber-zuhud.[56] Bahkan
ia mampu menguraikan konsep fana’ yang sering disalah pahami
oleh sebagian sufi lainnya, secara moderat. Fana’ baginya
bukanlah leburnya atau penyatuan seorang hamba dengan Tuhan, melainkan
lenyapnya sifat-sifat tercela pada diri seorang hamba dan melahirkan ke-baqa’-an,
yakni kekalnya sifat-sifat terpuji.[57] Dengan
uraian semua ini, terlihat sekali bahwa Qusyairi mempunyai pandangan yang
moderat dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Tokoh sufi
lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah
ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang
sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang
terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan
Al-Hallaj[58]. Karya Al-Harawi yang paling terkenal
adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya
ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal
dan akhir. Mendekati Qusyairi, ia juga mengungkapkan bahwa tingkatan akhir
tidak bisa diraih tanpa melalui tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak
bisa tegak tanpa berdasarkan fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah[59].
Al-Harawi
juga dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun fana’nya
berbeda dengan fana’ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah
fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan
mereka sendiri. Atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu
selain yang disaksikan, bahkan juga ketidaksadaran terhadap penyaksiannya serta
dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya lewat
penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya,
dengan Yang Mengadakanya lewat wujudnya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta
kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat persaksian terhadap-Nya.
Kondisi demikian, biasanya disebut dengan sakr, ishthilam, atau mihwar.[60]
Al-Harawi
menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka
hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul
dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka,
maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala
penyebabnya.[61]
Tokoh
selanjutnya adalah Al-Ghazali, pembela tasawuf sunni yang menduduki peringkat
lebih besar daripada para sufi sebelumnya.[62] Al-Ghazali
menjauhkan tasawufnya dari semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para
filosof Islam, sekte Isma’iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan
lain-lainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan
Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Setelah
mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu fikih, kalam, filsafat dan tasawuf, maka
ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik
ekstremnya, dalam perspektif Imam Ghazali jalan yang paling ideal menuju Tuhan
adalah melalui pencerahan sufistik atau tasawuf. Setelah mencapai mukasyafah, terbukanya
tirai-tirai kegaiban alam malakut, Ghazali mempertajam wacana tersebut dengan
berkomentar bahwa: “Kaum sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah
secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara
yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran
para cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang
mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan
akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan
menemukan jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan
batinnya, teradopsi dari lentera kenabian, padahal tidak ada cahaya di muka
bumi yang melebihi terang cahaya kenabian”.[63]
Al-Ghazali
pun melakukan koreksi terhadap ungkapan-ungkapan ganjil Al-Busthami dan
Al-Hallaj. Menurut Al-Ghazali, ucapan-ucapan mereka di saat mabuk atau tidak
sadar bersama Tuhan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab,
ketika mereka sadar kembali, sebenarnya mereka tahu bahwa mereka tidaklah ittihad, menyatu
sebenarnya dengan Tuhan, melainkan hanya menyerupai penyatuan.
Al-Ghazali
membuat ilustrasi laksana orang yang belum pernah melihat cermin, lalu
tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana.
Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin adalah gambar cermin yang
telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri. Atau bagaikan seorang yang melihat
anggur dalam sebuah gelas yang jernih, lalu ia mengira bahwa anggur itu
bukanlah anggur, tapi hanya warna gelasnya. Jika kelak keadaan itu sudah
menjadi terbiasa bagi orang yang mengalaminya dan kuat pula pengetahuannya,
barulah ia akan menyadari keadaan yang sebenarnya.
Dengan
paparan dan ilustrasi tersebut, Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa tidak
mungkin terjadi penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Yang ada hanya lenyapnya
kesadaran si hamba ketika menyaksikan keagungan Wajah Tuhan Yang Maha Indah,
Maha Mulia, dan Maha sempurna.
4. Tasawuf
Abad Keenam Hijriyah
Tasawuf
filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian
pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi
filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah
mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan
jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah
seabad kemudian.
Bagaimanapun
juga tidak dapat dipungkiri, dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke enam
dan tujuh Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau
tasawuf-falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi (w. 587 H), Ibn Arabi (w. 638
H), Ibn Faridh (w. 632 H), dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf
berkembang dan diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani,
sekalipun pijakan fundamental para sufi adalah Al-Quran dan Sunnah.[64]
Adanya
pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis, dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah
ajaran-ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan
agama Nasrani. Akan tetapi orsinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang,
karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan
pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam yang telah
meluas pada waktu itu, tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran mereka,
terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam.[65]
Para
pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut tasawuf
filosofis terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan
berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik tolak tasawuf mereka.
Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis. Pertama,
latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam
gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian,
ruh, hakikat realitas segala wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan
kosmos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Ketiga,
peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Dan Keempat, penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syahahiyyat),
yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujui, atau menginterpretasikannya[66]. Adapun
tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi.
Al-Suhrawardi
Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh al-ishraq, karyanya
yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai tokoh tasawuf
filosofis adalah Hikmah al-Isyraq.[67]
Suhrawardi
membagi tingkatan orang yang berusaha mendapatkan pengetahuan sesuai dengan
usaha pengembangan daya-daya tersebut dalam dirinya. Menurutnya, terdapat
beberapa kategori yang bisa dipertimbangkan: 1) filsuf ketuhanan (muta’allih)
yang menguasai teosofi dan tidak mengetahui apa-apa secara diskursif; 2) filsuf
yang kuat secara diskursif dan tidak tahu menahu tentang teosofi; 3) filsuf
ketuhanan yang yang menguasai teosofi dan analisis; 4) filsuf ketuhanan yang
kuat dalam teosofi dan cukup mampu atau lemah dalam pemikiran diskursif; 5)
filsuf yang kuat olahan diskursifnya, tapi cukup mampu atau lemah untuk
berteosofi; 6) pemula dalam teosofi dan pemikiran diskursif; 7) pemula dalam
teosofi saja; 8) pemula dalam bidang diskursif.[68]
Garis besar
teori Suhrawardi dapat disingkat dalam nukilan berikut:
“Hakikat
dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus, yang merupakan
pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada
segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya
hakikat-Nya dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari
kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan.”[69]
Selanjutnya
Ibn Arabi yang dituduh sebagai tokoh panteisme dengan teori wahdat
al-wujud, (kesatuan keberadaan). Padahal inti paham tersebut adalah
bahwa tiada wujud selain Tuhan; hanya ada satu Wujud hakiki yaitu Tuhan.
Menurut Schimmel, dalam pemikiran Ibn Arabi tetap dipertahankan adanya suatu
transendensi atas kategori-kategori. Tuhan tetap berada di atas segala kualitas
dan Dia mengejawantahkan Dirinya Sendiri hanya dengan perantaraan Nama-nama
bukan dengan hakikat-Nya.[70]
Sedangkan
ilmuwan lain, seperti Al-Qasyani, Al-Qasyari, Seyyed Hossein Nasr, Henry
Corbin,[71] Toshihiko Izutsu dan William C,
Chittick[72] menafsirkan bahwa Ibn Arabi
mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan. Segala
sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri: ia hanya ada sejauh
memanifestasikan wujud Tuhan. Doktrin wahdat al-wujud menekankan
tidak hanya sisi tasybih, tetapi juga tanzih.
Dilihat dari
sisi tasybih, Tuhan adalah identik atau lebih tepat serupa dan
satu, dengan alam karena Dia, melalui nama-nama-Nya, menampakkan diri-Nya dalam
alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali
berbeda dengan alam karena Dia adalah Zat Mutlak yang tidak terbatas di luar
alam nisbi yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh Ibn Arabi dengan ungkapan
singkat, huwa wa laa huwa (Dia dan bukan Dia). Dalam pandangan
ini, Tuhan adalah imanen sekaligus transenden.
Sebenarnya
dalam doktrin wahdat al-wujud, Tuhan betul-betul Esa karena tidak
ada wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai
wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya.
Dengan demikian, doktrin ini hanya mengakui satu wujud atau realitas karena
mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti
memberi tempat kepada syirik atau politeisme.[73]
5. Tasawuf
Abad Ketujuh Hijriyah dan Sesudahnya
Periode abad
keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan periode-periode
sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam
filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan,
prinsip, dan sistem khusus.
Periode
inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi
sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah
aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di
berbagaizawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat
latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara
tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang
teratur.[74]
Tarekat
secara etimologis berasal dari bahasa Arab, thariqah yang
berarti al-khat fi al-syai (garis sesuatu), al-shirat dan al-sabil (jalan).
Kata ini juga bermakna al-hal(keadaan). Dalam literatur Barat,
menurut Gibb, kata thariqah menjadi tarika yang
berarti road (jalan raya), way (cara),
dan path (jalan setapak).[75] Hanya
saja ada perbedaan antara road dan path. Jika
yang pertama merupakan jalan besar yakni syariat, maka yang kedua jalan kecil
yakni yang secara khusus ditujukan sebagai tarekat atau perjalanan spiritual.[76]
Sedangkan
secara praktis, tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang
bersifat esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan
menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata
rantai secara sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid[77] lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan
bahkan sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat
dengan nama silsilah (transmisi). Dalam tataran ini, tarekat
menjadi sebuah organisasi ketasawufan.[78]
Sebagai
organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program
penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul
lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan
diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).[79]
Walaupun
sejak jauh sebelumnya organisasi tarekat telah hadir, seperti tarekat
Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w.
297 H) atau tarekat Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri
(w. 295 H), namun baru pada abad ketujuh Hijriyah dan sesudahnya inilah tarekat
berkembang pesat.[80] Di sini akan dipaparkan
beberapa sampel tarekat-tarekat besar dan terkenal dalam dunia Islam,
diantaranya:
1) Tarekat
Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H). Al-Jilani
mengikuti fikih mazhab Hanbaliyyah dan menguasai tiga belas macam ilmu, seperti
fikih, ushul fikih, tafsir, nahwu, ilmu hadis dan sebagainya.[81] Ia
mengaitkan tasawuf dengan Al-Quran maupun Sunnah. Tarekat tersebut tersebar
luas sampai ke Yaman, Syria, Mesir, India, Turki, Afrika, dan tetap berkembang
sampai sekarang di Mesir, Sudan, di bebagai kawasan Asia maupun Afrika.
2) Tarekat
Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w. 578 H) di kawasan Batha’ih. Ia
seorang yang sangat saleh dan bermazhab Syafi’i. Ajaran-ajaran tasawuf Ahmad
Rifa’i banyak diriwayatkan oleh Sya’rani yang meliputi tentang zuhud, ma’rifat
dan cinta. Tarekat Rifa’iyyah pun tersebar luas ke berbagai kawasan Islam dan
sampai sekarang masih berkembang di Mesir maupun dunia Islam lainnya.
3) Tarekat
Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H) serta
Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (w. 632 H). Al-Suhrawardi Al-Baghdadi mengarang kitab
tasawuf terkenal yaitu Awarif al-Ma’arif, yang berisi
aturan-aturan tarekat tersebut dan dia dipandang sebagai pendiri tarekat
tersebut yang sebenarnya.
4) Tarekat
Syadziliyyah yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w. 656 H) yang
berasal dari Tunisia kemudian mengembara ke Mesir dan menetap di Iskandariah.
Penerus Syadzili yang sangat terkenal adalah Abu Al-Abbas Al-Mursi, Ibn
Athaillah Al-Syakandari dan Ibn Abbad Al-Runda. Di bidang hukum, tarekat ini
mengikuti mazhab Maliki. Tarekat Syadziliyyah merupakan tarekat yang paling
layak disejajarkan dengan tarekat Qadiriyyah dalam hal penyebarannya.[82]
5) Tarekat
Ahmadiyyah yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Al-Badawi (w. 675 H), yang berasal
dari Maroko, lalu merantau ke Makkah dan menetap di Mesir. Tareket ini
konsisten dengan Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Badawi
bahwa tarekatnya dibina oleh Al-Quran, Sunnah, kejujuran, kebeningan kalbu,
loyalitas, penanggungan derita, dan pemeliharaan janji. Tarekat ini berkembang
di Mesir sejak tokoh utamanya masih hidup hingga sekarang.
6) Tarekat
Birhamiyyah yang berasal dari putra Mesir yaitu Ibrahim al-Dasuqi al-Qurysi (w
676 H). Al-Dasuqi, seperti tarekat-tarekat sebelumnya, sangat menekankan aturan
syariat. Baginya, syariat adalah pokok, sementara hakikat adalah cabang. Jika
syariat menghimpun seluruh ilmu yang diwajibkan, maka hakikat menghimpun
seluruh ilmu yang disembunyikan. Tarekatnya tersebar luas di Mesir, Syria,
Hijaz, Yaman dan Hadhramaut.
7) Tarekat
Kubrawiyyah yang berasal dari Persia yaitu dari ulama Najmuddin Kubra (w. 618
H). Pada tarekat inilah Fariduddin Al-Atthar berafiliasi. Sementara itu di
Turkistan muncul tarekat Yasawiyyah yang dinisbahkan kepada Ahmad Al-Yasawi (w
562 H) dan di Asia Tengah muncul tarekat Syisytiyyah yang berasal dari
Mu’inuddin Hasan Al-Syisyti (w 623 H).
8) Pada
abad-abad berikutnya bermunculan pula tarekat-tarekat lain yang tersebar luas
ke berbagai kawasan Islam, seperti Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Baha’
Naqsyaband Al-Bukhari (w. 791 H), tarekat Bektasyiyyah yang didirikan oleh Haji
Bektasyi (w 738 H), serta tarekat Maulawiyyah yang dinisbatkan kepada
Jalaluddin Rumi (w 1273 H).
PENUTUP
SIMPULAN
Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia.
Sumber dan
kriteria tasawuf adalah Al Qur’an dan amaliyahnya mencontoh perilaku Nabi Saw.
Obyek pembahasan dalam tasawuf adalah masalah dzat Allah dan kesucian hati atau
atau shofa’ dan musyahadah.
Zuhud adalah fase yang mendahului
tasawuf, karena station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang
calon harus terlebih dahulu menjadizahid. Meskipun ada kesamaan antara
praktek tasawuf dengan berbagai ajaran filsafat dan agama
sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, Tasawuf tetap
ada dalam Islam.
Gerakan
tasawuf sebagai sebuah perilaku yang khusus baru muncul paska era Shahabat dan
Tabi’in (Abad ke-II dan ke-III H.). Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah
perlawanan terhadap budaya materialism belum ada, bahkan tidak dibutuhkan.
Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah
perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak
meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq. Ketika
kekuasaan Islam makin meluas dan kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan,
mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonism pun menjadi
fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2
Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup dan
orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim
as-Shufi (w. 150 H).
Paruh
pertama pada abad ke-3 H, Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah
(aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis(nazhari) dengan
memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal
seperti: maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana,
hulul dan lain- lain. Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al
Baghdadi. Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis,
termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz
(w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H).
Kajian
tasawuf pada abad 3 dan 4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh.
Pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat amali yang didasarkan pada
Alquran dan assunnah. Kedua cenderung pada kajian tasawuf falsafati dan banyak
berbauar dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf falsafi merupakan perpaduan
antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena
orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan
hakikat segala sesuatu.
Perkembangan
tasawuf abad 5 H bisa dikatakan sebagai kemunduran tasawuf falsafati dan
berjayanya tasawuf amali-suni. Hal ini didukung oleh keunggulan aliran asariyah
dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf Suni. Dan puncak kecemerlangan abad
ini pada masa Al Ghozali. Dan perkembangan abad ke-7 H dan sesudahnya. Periode
inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi
sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah
aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani.
baca sebelumnya di: PEMIKIRAN SUFISTIK DALAM TASAWUF Bag. 1
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali
Abu Hamid, Kerancuan Filsafat, Penerjemah Achmad Maimun,
(Yogyakarta: Islamika, 2003)
--------------------- Penyelamat
Dari Kesesatan, Penerjemah Abu Ahmad Najieh, (Surabaya: Risalah Gusti,
1997)
---------------------, Raudhat
Al-Thalibiin (Libanon: Beirut, tt)
Al-Jilani
Abdul Qadir, Titian Mahabbah, terj. Ahmad Fadhil (Jakarta:
Sahara, 2003)
Al-Muhasibi
Al-Harits, Mencapai Makrifat, terj. Syarif Hade Masyah
& Usman Sya’roni (Jakarta: Serambi, 2006).
--------------------, Tulus
Tanpa Batas, terj. Izza Rohman Nahrowi (Jakarta: Serambi, 2005).
Al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyah (Beirut: Darul Khoir, t.t.)
Al-Suhrawardi
Syihabuddin, Hikmah Al-Isyraq, ter. M. Al-Fayadl (Yogyakarta:
Islamika, 2003).
al-Taftazani
Abu al-Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani (Bandung: Pustaka, 2003)
As-Sarraj
Abu Nashr, Al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya:
Risalah Gusti, 2002)
Bagir Haidar, Buku
Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006)
Bahjat
Ahmad, Pledoi Kaum Sufi, terj. Hasan Abrori (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997)
Bruinessen
Van Martin,Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan,
1996)
Chittick
William, Dunia Imajinal Ibnu Arabi, terj. Achmad Syahid
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001).
Corbin
Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, terj. Mohlm.
Khozim dan Suhadi (Yogyakarta: Lkis, 2002).
Dunya
Sulaiman, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, Penerjemah
Ibn Ali MA, (Surabaya: Hikmah Perdana, 2002)
Ernst Carl
W., Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, Terj. Heppi Sih Rudatin
& Rini Kusmawati (Yogyakarta: Putra Langit, 2003).
Hamka, Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993),
Hidayat
Komaruddin, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta:
Paramadina, 2003)
Huda
Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta:
LKiS: 2007)
Jamil, Cakrawala
Tasawuf (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004)
Jumantoro
Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:
Amzah, 2005).
Kartanegara
Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006)
Masignon
& M. Abd. El Razik, At Tassawuf, (Beirut: Dar Al Kitab
Al Banani, 1984)
Massignon
Louis, Al-Hallaj Sang Sufi Syahid,terj. Dewi Candraningrum (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2007).
Mulyati Sri
(et. al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006)
Munawir
Warson Ahmad, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, (PP.
Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984)
Mustofa. Akhlak
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Nasr Hassein
Seyyed,”Al-quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”, Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed Hassein
Nasr, Vol. I (Bandung: Mizan, 2003)
Nasution
Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta; Bulan
Bintang, 1995)
Nicholson
Reynold A., Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1998).
Noer Azhari
Kautsar, Tasawuf Perennial (Jakarta: Serambi, 2003)
Rahman
Fazlur, Islam, (Bandung, Pustaka: 1997), Cet. Ke-3
------------------, Islamic
Methodology in History (Islamabad: The Islamic Research Institute,
1984)
Schimmel
Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono
dkk. (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003)
Solihin M.
dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia,
2008).
Syukur
Amin, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002)
----------------, Tasawuf
Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
----------------, Zuhud
di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Trimingham J.
Spencer, The Sufi orders in Islam (New York : Oxford
University Press, 1973),
Wilcox
Lynn, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti
Bagoesoka, (Jakarta: Serambi, 2003)
Zaehner R.
C., Mistisisme Hindu Islam, Terj. Suhadi (Yogyakarta: LKiS,
2004).
[1] Fenomena mistisisme terdapat
di semua tradisi agama besar di dunia, meskipun sebagian besar dari lireratur
tentangnya dimulai dari premis yang sulit dibuktikan. Mistisisme (tasawuf)
merupakan dunia ke-batin-an yang sifatnya sangat personal dalam kaitannya
dengan kebutuhan ketenangan secara psikologis dan spiritual. Untuk mencapai
“kesempurnaan” dalam laku mistik, seseorang harus dapat melewati tangga-tangga
berjenjang menuju penyatuan diri dengan Tuhanyakni syari’at, tarekat, hakikat
dan ma’rifat. LIhat dalam R. C. Zaehner, Mistisisme Hindu Islam, Terj.
Suhadi (Yogyakarta: LKiS, 2004). Hlm. v -vii
[2] Mustofa. Akhlak
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm 106
[3] Annemarie Schimmel, Dimensi
Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono dkk. (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 2003), hlm. 15
[4] Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 86.
[5] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 7-8.
[6] Masignon & M. Abd. El Razik, At
Tassawuf, (Beirut: Dar Al Kitab Al Banani, 1984), hlm. 25
[7] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu
Tasawuf, (Wonosobo: Amzah, 2005). Hlm. 245-249
[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,
(Jakarta; Bulan Bintang, 1995), hlm. 57-58
[9] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka: 1997), Cet.
Ke-3, hlm. 190
[10] Lihat Syukur, Menggugat…, hlm.
9-11, Harun Nasution, Falsafat dan mistisme dalam Islam…,hlm. 58,
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 21, Abu Nashr
as-Sarraj, Al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya:
Risalah Gusti, 2002), hlm. 45-46.
[11] Ahmad Bahjat, Pledoi
Kaum Sufi, terj. Hasan Abrori (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hlm. 44.
[12] Al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyah (Beirut: Darul Khoir, t.t.), hlm. 280.
[13] Al-Qusyairi, Risalah
… , hlm. 279.
[14] Abdul Qadir Al-Jilani, Titian
Mahabbah, terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Sahara, 2003), hlm. 74.
[15] Abdul Qadir Al-Jilani, Titian
Mahabbah..., hlm. 75.
[16] Abdul Qadir Al-Jilani, Titian
Mahabbah…, hlm. 75-77.
[17] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf…, hlm. 18.
[18] Carl W. Ernst, Ekspresi
Ekstase dalam Sufisme, Terj. Heppi Sih Rudatin & Rini
Kusmawati (Yogyakarta: Putra Langit, 2003). Hlm. 13-14
[19] Tasawuf dalam Islam tumbuh
karena terpengaruh oleh ajaran di luar Islam, antara lain ajaran agama Hindu,
agama Persia, Agama Masehi, Pemikiran filsafat Yunani, dan ajaran Neo
Platonisme. Lihat dalam M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008). Hlm. 39
[20] Taftazani, Sufi dari
Zaman…, hlm. 23-29; Jamil, Cakrawala Tasawuf (Ciputat:
Gaung Persada Press, 2004), hlm. 18-24.
[21] J. Spencer Trimingham, The
Sufi orders in Islam (New York : Oxford University Press, 1973), hlm.2
[22] Seyyed Hassein Nasr,”Al-quran
sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas
Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed Hassein Nasr, Vol. I (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 10.
[23] Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa
Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti Bagoesoka, (Jakarta: Serambi,
2003), hlm. 21.
[24] Komaruddin Hidayat, Wahyu
di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 10.
[25] Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam… hlm. 64. Dalam konteks ini,zuhud dipahami
sebagai wasilah atau bentuk upaya penjernihan jiwa dari godaan
dunia sehingga mampu melakukan musyahadah kepada Allah.Menurut
Abu Bakar Al Kattani dalam Sokhi Huda menjelaskan bahwa tasawuf adalah shafa
(kejernihan hati) dan Musyahadah (menyaksikan Allah) atau merasa disaksikan
Allah. Yang satu sebagai wasilah, dan yang lain sebagai ghayah (tujuan).
Dan inilah makna lain dari Al Ihsan. Lihat lebih lanjut dalam Sokhi
Huda, Tasawif Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta:
LKiS: 2007). Hlm. 21-23
[26] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir
: Kamus Arab – Indonesia, (PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984), hlm. 626.
[27] Amin Syukur, Zuhud di
Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1
[28] Amin Syukur, Zuhud di
Abad Modern…, hlm. 2
[29] Abu al-wafa al-Ghanimi
al-Taftazani,Sufi…, hlm. 58-59; lihat juga Amin Syukur MA,Zuhud…,.,hlm.
4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam,
(Jakarta : Bumi Aksara,1998).,hlm. 8-21
[30] Amin Syukur, Zuhud di
Abad Modern… hlm. 5-6. Lihat juga al-Taftazani,Sufi…hlm. 58 dan
250
[31] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’,
hlm. 65
[32] Lihat Harun Nasution, falsafat
…,op.cit., hlm. 62-63
[33] Taftazani, Sufi…, hlm.
54.
[34] Hamka, Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), hlm.
68.
[35] Taftazani, Sufi…, hlm.
56-57.
[36] Taftazani, Sufi…, hlm.
57-58.
[37] Taftazani, Sufi…, hlm.
89-90.
[38] Taftazani, Sufi…, hlm.
59-68.
[39] Taftazani menunjuk ayat-ayat
berikut: Al-Hadiid: 20, Yunus: 7-8, An-Naazi’aat: 37-41, Al-A’laa:14-17,
Al-Fajr: 17-20, At-Taubah: 112, dan As-Sajadah: 16-36.
[40] Ibid.
[41] Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 64-65.
[42] Hamka, Tasauf…, hlm.
64-67.
[43] Haidar Bagir, Buku
Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 99-100. Taftazani, Sufi…, hlm.
69-79.
[44] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung,
Pustaka: 1997), Cet. Ke-3, hlm. 190.
[45] Taftazani, Sufi…, hlm.
91.
[47] Al-Thusi, Al-Luma’…, hlm.
49-50. Dalam perkembangan selanjutnya, pembedaan ilmu tersebut semakin luas dan
distingtif. Fakta ini diuraikan pada abad-abad selanjutnya oleh Abdul Qadir
al-Jilani yang menurutnya ada empat klasifikasi ilmu. Pertama, ilmu zahir
sayri’at. Kedua, ilmu batin syariat yang disebut dengan ilmu tarekat. Ketiga, ilmu
batin tarekat yang disebut dengan ilmu ma’rifat. Keempat, induk ilmu batin yang
disebut dengan ilmu hakikat. Al-Jilani, Titian Mahabbah…, hlm.
56.
[48] Taftazani, Sufi…, hlm.
95 & 140.
[49] Bagir, Tasawuf…, hlm.
101. Abu Yazid terkenal dengan ungkapan “Subhani-subhani”, Maha
suci aku-maha suci aku, dan al-Hallaj polpuler dengan statemen, “Anal
Haq”, Akulah Kebenaran. Mengenai Abu Yazid, lihat dalam
al-Thusi, Al-Luma’…, hlm. 770-778. Tentang al-Hallaj, lihat dalam
Louis Massignon, Al-Hallaj Sang Sufi Syahid,terj. Dewi
Candraningrum (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007).
[50] Ibid., hlm. 4-6;
96-139.
[51] Menurut analisis Al
Ghazali, ada perbedaan krusial antara pengetahuan dengan ma’rifat. Dalam hal
ini, Al Ghazali membuat ilustrasi bahwa jika ilmu itu bagaikan melihat api (karu’yatin
naar), sedangkan ma’rifat bagaikan tenggelam langsung ke dalam koberan api
tersebut (kal ishthilaai bihaa). Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Raudhat
Al-Thalibiin (Libanon: Beirut, tt), hlm. 54.
[52] Buku tersebut juga sudah diterjemahkan,
lihat Al-Harits Al-Muhasibi, Mencapai Makrifat, terj. Syarif
Hade Masyah & Usman Sya’roni (Jakarta: Serambi, 2006).
[53] Taftazani, Sufi…, hlm.
5.
[54] Taftazani, Sufi…, hlm.
140-141.
[55] Taftazani, Sufi…,, hlm.
82-83.
[56] Taftazani, Sufi…, Hlm.
56.
[57] Taftazani, Sufi….
Hlm. 67-69.
[58] Taftazani, Sufi…, Hlm.
144.
[59] Taftazani, Sufi…, Hlm.
145.
[60] Taftazani, Sufi…,Hlm. 146-147.
[61] Syukur, Menggugat…, hlm.
37-38.
[62] Taftazani, Sufi…, hlm.
148.
[63] Lihat Al-Ghazali, Kerancuan
Filsafat, Penerjemah Achmad Maimun, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm.
x/iii ;Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali,
Penerjemah Ibn Ali MA, (Surabaya: Hikmah Perdana, 2002), hlm. 109-110; Imam
Al-Ghazali, Penyelamat Dari Kesesatan, Penerjemah Abu Ahmad Najieh,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 66
[64] Taftazani, Sufi …,
hlm. 30-47; Jamil, Cakrawala Tasawuf …, hlm. 18-26.
[65] Taftazani, Sufi…, hlm.
187.
[66] Taftazani, Sufi…, hlm.
189,
[67] Untuk lebih luasnya, lihat
Syihabuddin Al-Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq, ter. M. Al-Fayadl
(Yogyakarta: Islamika, 2003).
[68] Syihabuddin
Al-Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq.., hlm. xxxiv.
[69] Scimmel, Dimensi
Mistik…, hlm. 331.
[70] Scimmel, Dimensi
Mistik…, hlm. 340.
[71] Mengenai Henry Corbin, ia menelaah
konsep-konsep Ibn Arabi dengan penafsiran yang sangat mencerahkan. Lihat
bukunya, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, terj. Mohlm.
Khozim dan Suhadi (Yogyakarta: Lkis, 2002).
[72] William Chittick
mengelaborasi pemikiran-pemikiran Ibn Arabi dengan bahasa sederhana yang
popular, namun cukup unik dan mengagumkan. Untuk lebih detailnya, lihat
dalam Dunia Imajinal Ibnu Arabi, terj. Achmad Syahid
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001).
[73] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf
Perennial (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 152-155.
[74] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf
Perennial..., hlm. 235.
[75] HLM.A.R. Gibb, Shorter
Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974), hlm. 573.
[76] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami
Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 15.
[77] Para pengikutnya bermula dari
pengikut biasa (mansub), menjadi murid, kemudian menjadi
pembantu syaikh (khalifahnya) dan akhirnya jika memungkinkan bisa menjadi
seorang guru yang mandiri (mursyid). Lihat Martin Van Bruinessen,Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 15.
[78] Syukur, Tasawuf…, hlm
44-45.
[79] Kartanegara, Menyelami…, hlm.
177.
[80] Bagir, Buku
Saku…, hlm. 103.
[81] Al-Jilani, Titian…, hlm.
22.
[82] Sri Mulyati (et. al), Mengenal dan
Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media, 2006), hlm. 73.
0 Response to "SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM TASAWUF Bag. 2 (makalah lengkap)"
Post a Comment