LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Bag. 2
pada bagian ini akan dibahas tentang landasan pengembangan kurikulum pendidikan agama islam (PAI), antara lain landasan filosofis, pengertian filsafat, tujuan pendidikan, aliran filsafat, manfaat filsafat pendidikan, landasan psikologis, psikologi perkembangan, psikologi belajar.
E. Landasan Filosofis
1. Pengertian filsafat
Seorang pengembang kurikulum dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum
harus memperhatikan falsafah, baik falsafah pengembangan, falsafah lembaga
pendidikan dan falsafah pendidik.[8] secara
etimologis filsafat berasal dari dua kata yaitu philare yang berarti cinta dan shophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat
adalah cinta pada kebijaksanaan.
Pengertian umum filsafat adalah cara berfikir radikal, menyeluruh dan
mendalam atau berfikir yang mengupas sesuatu dengan sedalam-dalamnya.[9] Adapun yang dimaksud dengan filsafat sebagai landasan kurikulum adalah
supaya dalam pengembangan kurikulum didapatan dari hasil secara mendalam,
analitis, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk
kurikulum sebagai rencana(tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk
pelaksanaan di sekolah/madrasah.
2. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Pandangan filsafat sangat erat dibutuhkan dalam pendidikan, tetutama dalam
menentukan arah dan tujuan pendidikan.[10] Pandangan yang dianut oleh suatau bangsa/
kelompok masyarakat tertentu atau perseorangan akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai, sedangkan pendidkan sendiri pada dasarnya
merupakan rumusan yang komprehensif mengenai apa yang seharusnya dicapai.
Tujuan pendidikan memuat pertanyaan-petanyaan mengenai berbagai kemanpuan yang
diharapkan dapat dimiliki peserta didik selaras dengan sistem nilai dan
falsafah yang dianutnya. Dengan demimkian suatu komunitas akan memiliki keterkaitan
sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya.
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai dan cita-cita masyarakat,
sehingga ketika filsafat itu menjadi landasan pendidikan maka akan tergambarkan
manusia ideal yang diharapkan, karena filsafat pendidikan itu merupakan
pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal,
yakni: cita-cita masyarakat dan kebutuhan peserta didik.[11]
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, terdapat beberapa pendapat yang bisa
dijadikan sebagai sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan. Herbert Spencer
menggungkapkan lima kajian dalam merumuskan tujuan pendidikan, yakni:[12]
1) Self Preservation, yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan kelangsungan hidup, individu harus dapat menjaga kelangsungan
hidupnya dengan sehat, mencegah penyakit, dan hidup secara teratur.
2) Securing the necessities of life, yaitu
individu harus sanggup mencari nafkah dan memenuhi kebutuhaan hidup dengan
melakuakan suatu pekerjaan.
3) Rearing of family, yiatu individu harus
mampu bertanggung jawab atas pendidikan anak dan kesejahtreraan keluarganya.
4) Maintaining proper sosial end political
relatioships, yaitu setiap individu adalah makhluk sosial yang hidup dalam
lingkungan masyarakat dan negara, dalam artian harus bisa memelihara hubungan
baik dan memenuhi kewajiban.
5) Enjoiying leisure time, yaitu individu
harus sanggup memanfaatkan waktu senggangnya dengan memilih kegiatan-kegiatan
yang menyenangkan dan menambah kenikmatan dan gairah hidup.
Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu pancasila. Hal ini memiliki arti
bahwa pendidikan di Indonesia harus dapat membawa peserta didik agar menjadi
manusia yang ber-Pancasila. Maksudnya bahwa landasan dan arah yang ingin
diwujudkan adalah yang sesuai dengan Pancasila itu sendiri.[13] Rumusan tujuan nasional ini tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan Pancasila yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
kehidupan berbangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Rumusan tujuan tersebut
merupakan keinginan luhur yang harus menjadi inspirasi dan sumber bagi para
guru, kepala sekolah, para pengawas pendidikan, dan para pembuat kebijaksanaan
dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum
senantiasa konsekuen dan konsisten merefleksikan nilai-nilai tersebut. Adanya
itu akan diharapkan manusia menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu,dan
beramal dalam kondisi yang serasi, selaras, dan seimbang.
3. Aliran-aliran Fisafat Pendidikan
Pengembangan kurikulum membutuhkan fisafat sebagai acuan atau landasan
berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab
permasalah-permasalahan berkisar: (1) Bagiamana seharusnya tujuan pendidikan itu
dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana seharusnya diajarkan
kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya dilakukan pendidik dan
peserta didik. Menurut Redja Mudyaharjo, terdapat tiga sitem pemikiran filsafat
yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya dan
pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu Idealisme, Realisme dan
Pragmatisme.[14]
Apabila aliran idealis yang dianut, maka perancang kurikulum harus meyakini
sepenuhnya bahwa manusia memiliki pemikiran benar yakni adalah akal (a reality
of the mind), kebenaran merupakan ide ( truth as ideas), dan nilai
bersumber pada dunia( values from the ideas world). Atas dasar ini,
aliran ini memandang bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Kebaikan itu
bersumber dari Tuhan dan alam semesta.[15] Filsafat ini umumnya
diterapkan disekolah yang berorientasi religius, hampir semua agama menganut
filsafat ini. Disamping mempercayai wahyu dari tuhan sebagai kebenaran mutlak,
filsafat ini juga sangat mengutamakan pendidikan intelektual dengan menentukan
standar mutu yang tinggi.[16]
Apabila Aliran realisme yang dianut, maka perancang kurikulum harus
meyakini sepenuhnya bahwa realitas yang sesungguhnya benda (a reality of
things), kebenaran ini diperoleh melalui observasi (truth throught observation)
dan nilai bersumber dari alam semesta(values of natural). Atas
dasar ini, aliran ini memandang bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk
yang tidak mengerti apa-apa, manusia akan mengetahui kebenaran dan nilai
setelah mempelajari realitas dunia melalui berbagai percobaan.[17] Sekolah yang menganut aliran ini mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap
hasil dari penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai
disiplin ilmu, dimulai dengan teori, prinsip yang fundamental kemudian praktik
dan aplikasinya. Pelajaran-pelajaran yang bukan merupakan pengetahuan esensial
seperti keterampilan dan seni dianggap tidak perlu. Minat anak didik tidak
diperhatikan, justru peserta didik diharapkan bisa menaruh perhatiannya
terhadap pelajaran akademis dari semua disiplin ilmu, karena penguasaan tentang
semua itu adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi kelanjutan studi dan
kehidupan di masyarakat.[18]
Apabila Aliran pragmatisme yang dianut, maka perancang kurikulum harus
meyakini sepenuhnya bahwa pada dasarnya realitas yang sesungguhnya adalah dunia
pengalaman (anexperiental reality), kebenaran merupakan
sesuatu yang dialami ( truth as what works), dan nilai bersumber dari
masyarakat ( values from sosiety). Atas adasar ini
manusia adalah netral, dalam arti tidak baik dan tidak bodoh. Adapun kebaikan
dan keahliannya merupakan hasil dari pengalaman hidupnya. Kebaikan adalah
sesuatu yang baik bagi masyarakat, tujuan hidup adalah mengabdi kepada
masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.[19] Aliran ini disebut juga sebagai aliran
instrumentalisme, yang berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia
berdasarkan pengalaman. Kebenaran adalah tentatif dan dapat berubah. Tugas guru
bukan menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan pada peserta didik
melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah, dengan dasar bahwa belajar
itu hanya bisa dilakukan oleh anak sendiri, bukan diajarkan. Dalam perencanaan
kurikulum, orang tua dan masyarakat akan dilibatkan dengan tujuan agar dapat
memadukan sumber pendidikan formal dengan suber sosial, politik dan ekonomi
guna memperbaiki hidup manusia, dan sekolah dianggap sebagai komunitas
masyarakat kecil.[20]
Selain aliran tersebut yang diperhatikan, khususnya di Indonesia harus
sesuai dengan filsafat Pancasila sebagai falsafah pengembangan kurikulum. Hal
ini yang sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Bab II Pasal 3. Untuk mengembangkan peserta didik di atas,
maka para perancang kurikulum harus memperhatikan 5 kelompok pelajaran yakni
adalah: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;(b) kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;(c) kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi;(d) kelompok mata pelajaran etestika, serta (e)
kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
4. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dalam pemikiran untuk
memecahkan permasalahan pendidikan. adapun manfaatnya :[21]
1. Dapat menentukan arah akan dibawa kemana siswa melalui
pendidikan. di madrasah/sekolah, yakni kearah yang di cita-citakan oleh siswa
yang berdampak pada agama, nusa dan bangsa.
2. Dengan adanya tujuan dari pendidikan yang diwarnai
filsafat yang dianut, kita akan mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang
harus dicapai.
3. dapat ditentukan secara jelas cara dan proses yang harus
dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. memberikan kebulatan usaha dalam
pendidikan, sehingga terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5. memberi petunjuk apa yang harus dinilai
dan sampai mana tujuan itu telah tercapai.
6. memberi motivasi dalam proses belajar
mengajar, karena sudah diketahui dengan jelas apa yang ingin dan harus dicapai.
F. Landasan Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia, dalam proses
pendidikan itu terjadi interaksi antara peserta didik dengan guru, dan
lingkungannya. Diharapkan pendidikan mampu membawa perubahan perilaku siswa
menuju kedewasaan. Yang dimaksud dengan landasan psikologi supaya memperhatikan
dari sisi perkembangan jiwa manusia. Sementara itu psikologi adalah
ilmu yang memepelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah suatu
upaya menentukan program pendidikan untuk merubah perilaku manusia.
Dasar psikologi ini dipahami bahwa dalam mengembangkan kurikulum diperlukan
pertimbangan yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik (basic
human needs). Pada landasan psikologi dibagi menjadi 2 cabang
psikologi: (a) Psikologi perkembangan , (b) psikologi pembelajaran.
a. Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji
tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek
perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi ini diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang
diberikan kepada siswa, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi,
kesulitan dan kelayakan serta kebermafaatan materi
senantiasa disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta
didik.
Dalam kurikulum implikasi psikologi mempunyai arti terhadap proses
pembelajaran itu sendiri:
· Tujuan pembelajaran yang dirumuskan
secara operasional akan selalu berpusat pada perubahan tingkah laku siswa.
· Bahan atau materi yang digunakan harus
sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian siswa, bahan tersebut mudah
dterima siswa.
· Srategi pembelajaran yang digunakan
harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
· Media yang dipakai senantiasa dapat
menarik perhatian dan minat siswa.
Tokoh pertama yang sangat menekankan perhatian terhadap pendidikan anak
adalah J.J. Rousseu (1712-1778), ia menegaskan bahwa seorang anak tidak bisa
diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Dalam bukunya yang terkenal Emile ia menguraikan fase-fase perkembangan anak
dari kecil sampai dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang
menuntut perlakuan sesuai dengan sifat perkembangannya.[22]
Perkembangan anak baik fisik, emosional, sosial, dan mental intelektual
adalah faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum.
Berdasarkan berbagai penelitian, diperoleh sejumlah kesimpulan antara lain:[23]
- anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, masa bayi, masa
kanak-kanak, dan seterusnya, yang pada setiap taraf menunjukkan sifat dan
kebutuhan tertentu, dan antara tiap taraf itu tidak ada batas yang tegas karena
berkembang secara berangsur.
- kecepatan perkembangan tidak merata, ada saat cepat, tenang, dan kadang
seolah tidak ada perubahan, serta kadang juga lambat. Terdapat hubungan antara
perkembangan satu aspek dengan yang lain, contohnya perkembangan fisik yang
cepat berpengaruh terhadap asspek sosial dan emosional, karena ketika seorang
anak lebih cepat besar dan tinggi dari teman sekelasnya yang hal itu dapat
mengganggu hubungannya dengan murid yang lain, menimbulkan ketegangan dan
kegelisahan
- ada perbedaan pola perkembangan anak, ada yang pada mulanya lamban
belajar, tetapi pada usia lebih lanjut seolah mekar dan menunjukkan prestasi.
Karena adanya perbedaan ini maka kurikulum harus memperhatikan perbedaan individual,
bukan didasarkan asumsi bahwa perkembangan anak semua sama. Namun ada pola umum
dalam perkembangan anak yang memungkinkan pengembangan kurikulum untuk
memperkirakan bahan yang sesuai dengan kelompok usia tertentu.
Dari sisi psikologi perkembangan, seorang anak dipandang dari berbagai
aspek, seorang nak dianggap sebagai keseluruhan artinya bukan hanya aspek
intelektual saja yang diperhitungkan, tetapi segi pendidikan yang lain juga
diperhatikan, misalnya kepandaian bergaul, minat terhadap kesenian dan olah
raga.[24]
Anak juga dipandang sebagai pribadi tersendiri, tidak ada dua orang yang
sama dalam segala hal di dunia ini karena pengaruh pembawaan dan lingkungan,
baik jasmani, rohani, emosional dan sosial, begitu juga taraf intelijensinya.
Tetapi perbedaan individual itu tidak berarti bahwa semua pelajaran harus
berbeda, ada hal-hal yang termasuk pengetahuan umum yang harus dimiliki oleh
setiap anak.[25]
Kebutuhan anak juga harus dipertimbangkan dalam kurikulum, baik itu
kebutuhan jasmani, setiap anak ingin bergerak, berlari, melompat dan
sebagainya. Pendidikan jasmani bertujuan membentuk manusia yang sehat dan kuat.
Kebutuhan pribadi, setiap anak mempunyai dorongan untuk mengetahui sesuatu,
menyatakan pikiran dan perasaannya melalui bahasa, lukisan, suaraatau gerak,
ingin merasakan kepuasan atas hasil yang dicapai. Kebutuhan sosial, seorang
manusia harus hidup dalam hubungan yang erat dengan manusia lain, membimbing
anak agar menjadi mahluk sosial adalah salah satu fungsi sekolah yang amat
penting.[26]
b. Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan
teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam
belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus
mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan suatu cabang bagaimana individu belajar.
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku baik yang berbentuk
kognitif, afektif maupun psikomotorik dan terjadi karena proses pengalaman yang
dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Mengetahui psikologi belajar
merupakan bekal yang sangat penting bagi guru dalam proses
pembelajaran. Psikologi ini dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yakni: Behaviorisme,
Pikologi daya, Perkembangan kognitif, Teori lapangan (Gestalt), dan Teori
kepribadian.[27]
Teori behavioris memandang pelajar sebagai organisme yang merespon terhadap
stimulus dari dunia sekitarnya. Peranan guru adalah menyajikan stimulus (S)
tertentu yang membangkitkan respon (R) tertentu yang merupakan hasil belajar
yang diinginkan. Guru menganalisa bahan pelajaran, membaginya dalam
bagian-bagian kecil, menyajikan satu persatu, sambil memberi umpan balik berupa
pujian bila benar dan ada kalanya hukuman bila salah. Tokoh utama dari teori
behaviorisme ini adalah B.F. Skinner.[28]
Teori psikologi daya mengungkapkan bahwa belajar adalah mendisiplinkan dan
menguatkan daya mental, terutama daya fikir. Teori ini beranggapan bahwa
otak atau mental manusia terdiri dari beberapa daya, seperti daya ingat,
daya pikir, daya tanggap, daya fantasi dan lain-lain. Tujuan pendidikan adalah
memperkuat daya-daya tersebut dengan latihan untuk mendisiplinkannya. Teori ini
didasarkan atas anggapan bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu rohaniah
atau mind dan jasmaniah atau body. Tetapi belakangan teori ini banyak
mendapat kritik dan dibantah kebenarannya secara ilmiah. Latihan daya mental
daalam suatu bidang tidak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan dalam bidan
lain.[29]
Teori pengembangan kognitif mengemukakan bahwa kematangan mental berkembang
secara berangsur pada individu berkat interaksi pelajar dengan lingkungan. Anak
harus dibimbing dengan bahan pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitifnya. Dengan bertambahnya usia, proses kognitif direstruktur secara
kontinu agar mencapai tingkat pemikiran yang lebih kompleks dan matang. Tokoh
utama teori ini adalah John Dewey dan Jean Piaget.
J. Piaget menemukan empat tahap utama dalam perkembangan
kognitif-intelektual yaitu: tahap senso-motoris (sejak lahir – 2 tahun), tahap
pra-operasional (2-7 tahun), tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun), dan
tahap operasional formal (± 11 tahun). Menurut John Dewey ada tiga tujuan
pendidikan yaitu: mengajarkan kerjasama, penyesuaian sosial, demokrasi dan
kewarganegaraan aktif.[30]
Teori lapangan (field theory) menggunakan konsep behaviorisme dan
perkembangan kognitif dengan memasukkan unsur “O” (=organisme, individu) dalam
rumus S-R (stimulus-respons). Dalam teori ini individu seorang pelajar sangat
diutamakan dan dianggap sentral dalam proses belajar. Proses belajar bukan
sekedar akumulasi pengetahuan tetapi anak dipandang sebagai suatu keseluruhan,
perubahan pada satu aspek akan berpengaruh pada keseluruhan pribadi anak. Teori
ini cenderung menganjurkan pendidikan humanistik dengan memupuk konsep diri
yang positif pada pelajar karen konsep diri yang positif akan berpengaruh baik
begitu pula sebaliknya.[31]
Teori kepribadian dikembangkan oleh Peck dan Havighurst pada tahun 1950. Teori ini sering dipandang sebagai teori motivasi ditinjau
dari segi psiko-sosial. Dalam teori ini dikemukakan 5 tipe watak yang
mempengaruhi pola motivasi individu,[32] yakni: a-moral (anak sepenuhnya egosentris, memuaskan
diri tanpa menghiraukan orang lain), expedient (anak agak egosentris, patuh tanpa memiliki sistem moral), konformis (berusaha memenuhi tuntutan external
karena takut tidak mendapat perhatian, irrational conscientious (anak memiliki sistem moral internal tentang baik buruk, tetapi
pelaksanaannya sangat ketat dan kaku), altruistik rasional (anak telah sangat berkembang, menyadari kebutuhan orang lain, sensitif dan
rela berkorban).
baca kelanjutan makalah dan lampiran footnote di: LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI Bag. 3
baca juga sebelumnya di: LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM Bag. 1
0 Response to "LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Bag. 2 (makalah lengkap)"
Post a Comment