SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM TASAWUF
Bag. 1
makalah ini membahas tentang sejarah perkembangan pemikiran dalam tasawuf, pada bagian 1 ini mencakup pendahuluan, pengertian tasawuf, asal usul dan sumber pijakan tasawuf, embriologi tasawuf, zuhud.
pendahuluan
Tasawuf adalah nama
lain dari mistisisme dalam Islam.[1] Di
kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan
istilah khusus mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme
agama-agama lain.[2] Tasawuf
atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari
bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf
falsafi.
Barangkali sepanjang
sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen ‘Tasawuf’ adalah yang paling banyak
disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. Secara garis besar ada dua
pendapat tentang Tasawuf: (1) para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat,
bid’ah, khurafat, berbau klenik (takhayul), dan sinkretis serta tidak berasal
dari tradisi Islam; (2) pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari
Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah ‘tasawuf’ atau ‘sufi’ muncul
pertama kali dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung
lebih ‘keras’ benturannya.
Tasawuf merupakan salah
satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti
kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya.
Diceritakan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW didatangi oleh malaikat Jibril dalam wujud
menyerupai manusia berpakaian serba putih, kemudian Jibril bertanya kepada nabi
Muhammad tentang makna Islam, Iman dan Ihsan, kemudian Nabi Muhammad
menjelaskan tentang makna ketiga kata tersebut. Tentang makna Ihsan nabi
Muhammad menjelaskan bahwa hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat Dia, jika engkau tidak mampu melihat Dia, maka yakinlah bahwa Allah selalu
melihat engkau. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan
rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan
islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid.
Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu
hanyalah sebutan sahabat nabi. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada
pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan
meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya
aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul
pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Secara umum, istilah
tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs(akhlak)
dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka
membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan
mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf dalam ribuan buku
sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan
perkembangannya dalam tradisi Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Membahas tasawuf,
menurut Annemarie Schimmel merupakan tugas yang sangat sulit terlaksana secara
komprehensif. Hal ini dikarenakan bahwa tasawuf itu sangat luas. Menjelaskan
beberapa aspek tasawuf baik secara historis maupun fenomenologis, tetap
tidak akan menghasilkan sesuatu yang utuh dan memuaskan semua pihak[3]. Mungkin
itulah alasannya mengapa ada pembedaan antara tasawuf dan ilmu tasawuf. Tasawuf
berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan
Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus itu, maka seseorang akan
berlaku baik (berakhlak) terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan
terhadap alam semesta[4].
Era Nabi maupun Khulafaurrasyidin istilah
tasawuf atau sufi belum dikenal. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada
pertengahan abad II hijriah, oleh Abu Hasyim al Kufy (W. 150 H) dengan
meletakkan al-sufi di belakang namanya. Menurut Nicholson,
sebelum Abu Hasyim memang telah ada kaum muslim yang mendahuluinya dalam zuhud,
wara, tawakkal dan mahabbah, tetapi dialah
orang yang pertama kali diberi nama al-Sufi.[5]
Secara etimologis, ada
beragam pendapat mengenai asal kata tasawuf. Masignon & M. Abd. El Razik
menjelaskan bahwa tasawwuf merupakan bentuk masdar fiil
khumasi yang terbentuk dari akar kata “shawwafa” yang
menunjukan pada pakaian dari bahan shuuf (bulu domba)[6]. Sebagian
ahli menyatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada Shuffah, karena
amaliah ahli tasawuf sama dengan amaliah Ahlus Shuffah,sebagian
sahabat Nabi yang miskin dan senantiasa beribadah mendekatkan diri kepada
Allah. Dikaitkan dengan Shafa dan Shaf adalah
karena kebersihan hati mereka, sehingga diharapkan mereka berada pada
barisan (shaf) pertama di sisi Allah.[7]
Dikatakan berasal
dari Shufanah (nama sebuah pohon di padang pasir), sebab
kebanyakan mereka berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa dan banyak
bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon tersebut. Sedangkan
penyandaran pada kata shuf, karena mereka sering memakai
pakaian bulu yang kasar dan sederhana[8]. Atau
juga sebagaimana diungkapkan oleh beberapa penulis modern bahwa kata “sufi”
berasal dari perkataan Yunani, shopos tetapi ini tidak
memiliki dasar yang kuat yang bisa dipercaya[9], namun
kebanyakan ahli menisbahkan pada kata Shuf, sebagai kata yang
lebih tepat bagi asal-usul kata tasawuf[10].
Sementara secara
terminologis pun, istilah tasawuf memiliki beragam definisi. Dr. Abu Al-Ula
Afifi[11] telah
menguraikan kurang lebih enampuluh lima definisi tentang tasawuf. Menurut
Afifi, dari definisi yang berjumlah enampuluh lima tersebut ia berharap bisa
mencapai kesimpulan yang komprehensif tentang definisi tasawuf, ternyata ia
hanya mendapatkan makna yang terdekat dari tasawauf. Kesulitan-kesulitan
tersebut disebabkan definisi-definisi yang diutarakan masing-masing sufi sangat
bersifat pribadi dan spesifik, sehingga ada banyak definisi sebanyak kaum sufi
mendefinisikannya.
Ma’ruf Karkhi
mengungkapkan tasawuf dengan berpihak pada hakikat-hakikat dan berputus asa
dari segala hal yang ada pada makhluk (Al-Akhdzu bil haqoiq wa alya’su mimma
fi aidil Kholaiq)[12]. Demikian
pula tokoh-tokoh sufi yang lain memaknai tasawuf dengan berbeda-beda. Sehingga,
hakikat pengalaman tasawuf tidak dapat didefinisikan (Sufism is undefinable),
karena merupakan perasaan keagamaan yang amat personal dan intim (personal
intimate religious feeling). Sedangkan menurut Qusyairi pengertian tasawuf
berbeda-beda karena setiap ungkapan selalu berhubungan dengan pengalamannya
pribadi (fa kullu ibarin bima waqoa lahu)[13].
Ulasan Abdul Qadir
Al-Jilani mengenai makna tasawuf diulas secara unik. Al-Jilani memaknai tasawuf
dari kata tasawuf (تصوف) langsung yang berasal dari empat huruf yaitu Ta,
Shad, Waw, dan Fa’, yang masing-masing huruf tersebut
memiliki makna tersendiri. Huruf Ta’ berasal dari kata tawbah (taubat)
yang terbagi dalam taubat zahir dan taubat batin[14]. Huruf Shad berasal
dari kata shafa’ (kejernihan) yang juga terdiri dari dua
bagian yakni kejernihan hati dan kejernihan nurani. Jika kejernihan hati adalah
membersihkan hati dari segala penyakit hati, maka kejernihan nurani adalah
mengarahkan perhatian hanya kepada Allah semata. Huruf Waw berasal
dariwilayah (kewalian) yang akan muncul dalam diri seorang sufi
setelah kejernihan hati dan nurani[15]. Dan
terakhir huruf Fa’ yang bermakna fana’ fillah (peniadaan
diri dalam Allah) dari segala selain Allah. Jika sifat-sifat manusiawi telah
tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat Keesaan Transenden yang tidak meniada,
tidak melenyap, dan tidak menghilang. Hamba yang mengalami fana’ ini
akan tetap bersama Tuhan Yang Maha Abadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang
telah mengalaminya akan abadi bersama Rahasia Yang Maha Abadi dan Perhatian-Nya[16].
Kendati demikian, bukan
berarti tasawuf tidak bisa didefinisikan sama sekali. Secara sederhana tasawuf
merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara hamba dengan
Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi hanya tertuju
kepada-Nya[17]. Ia
lebih cenderung sebagai pengalaman hidup dal proses pencarian menuju kepada
kesempurnaan hidup. Cara hidup ini telah diikuti individu-individu dengan
berbagai watak dan karakter dengan berbagai pebdekatan yang berbeda[18].
B. Asal Usul dan Sumber Pijakan Tasawuf
Pembicaraan mengenai
asal-usul tasawuf merupakan persoalan yang sangat kompleks, sehingga tidak bisa
dikemukakan jawaban serta merta (sederhana) terhadap pertanyaan tentang
asal-usulnya. Ada beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf mengatakan bahwa
tasawuf bersumber dari luar Islam[19]. Thoulk
menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi; Dozy mengatakan tasawuf dikenal
kaum muslim lewat orang-orang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson
menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat
tasawuf diambil dari India (Hindu-Budha), sementara yang lain mengungkapkan
bahwa Yunani merupakan sumber tasawuf[20].
Walaupun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat tasawuf yang dengan tegas
mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara otentik berasal dari dalam
Islam sendiri. Menurut Spencer Trimingham secara afirmatif menyatakan Sufism
was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam, the
underlying mystery of the Qur’an.[21]
Pendapat sebagian
ilmuwan muslim kontemporer, seperti Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa
kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi, jiwa Nabi disinari
cahaya Allah, Al-Quran, sehingga tepat sekali bila dikatakan bahwa wahyu
Al-Quran sebagai sumber tasawuf[22]. Bahkan
Lynn Wilcox, seorang Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini pada
California state University Amerika, dengan mengutip pendapat Bayazid Bistami,
secara ekspresif ilustratif menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada
masa Nabi Adam. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh dan berbunga semasa
Nabi Ibrahim. Anggurpun berbentuk pada masa Nabi Musa dan buahnya matang pada
masa Nabi Isa. Di masa Muhammad, semua itu dibuat menjadi anggur murni.[23]
Kendati demikian,
sebagian ilmuwan muslim mengakui sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh
agama dan budaya lain. Dasar dan sumber fundamental tasawuf memang Al-Quran,
Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat dan tabi’in, namun tanpa mengingkari fakta
historis, wacana-wacana tasawuf dalam perkembangan selanjutnya telah diwarnai
unsur-unsur luar. Terutama tasawuf falsafi, yang merupakan pengaruh Persia
(Yunani) yang rasional dan filsafat India yang mistis.[24]
C. Embriologi Tasawuf
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon
sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid[25].
Secara
etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa
tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah[26]. Berbicara
tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin
Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai
moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[27]. Apabila
tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia
dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan
suatu statiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.
Dalam posisi ini, zuhud berarti menghindar dari
berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Zuhud adalah
“berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan
mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[28]. Zuhud
disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan
itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya
melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih
keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridha, bertemu
dan ma’rifat Allah swt.
Harun Nasution mencatat
ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi
oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras
yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh.
Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan
sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan
bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan
Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya
bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia
meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan
Atman dengan Brahman.[29]
Sementara itu Abu
al’ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal
–usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India
dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.
Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda
kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga :
Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya,
al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’,
taqwa dan zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system
sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah
tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi –
konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di
satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang
menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah, yang
bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga,
UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu
ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia
dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka
mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Dan ketiga,
reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam
pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini
perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi
terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam,
seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun
gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul
setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih
akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab,
sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas
didunia Islam.[30]
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam
tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa
mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,
meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam
sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah,
al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam
sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr,
al-ridla, al-tawakkul, dan al-ma’rifah[31]. Sedangkan
al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,
al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[32].
Benih – benih tasawuf
sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku
dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum
diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira
terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini
merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.
Menurut hemat
penulis, zuhud sebagai embrio dari tasawuf itu
meskipun ada kesamaan antara praktek tasawuf dengan berbagai
ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran
filsafat maupun agama itu, Tasawuf tetap ada dalam Islam. Banyak
dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia,
sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal demi
memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid
:19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat: 37 – 40).
baca kelanjutannya dan lampiran footnote di: PEMIKIRAN SUFISTIK DALAM TASAWUF Bag. 2
baca kelanjutannya dan lampiran footnote di: PEMIKIRAN SUFISTIK DALAM TASAWUF Bag. 2
0 Response to "SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM TASAWUF Bag. 1 (makalah lengkap)"
Post a Comment