Konsep Difusi
dan Keputusan Inovasi
tulisan ini membahas tentang konsep difusi dan keputusan inovasi.
Difusi adalah proses komunikasi atau saling
tukar informasi tentang suatu bentuk inovasi antara warga masarakat sasaran
sebagai penerima inovasi dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu
tertentu pula.
Ada dua bentuk system difusi, yaitu difusi
sentralisasi dan difusi desentralisasi.
Difusi sentralisasi adalah difusi
yang bersifat memusat. Artinya segala bentuk keputusan tentang komunikasi
inovasi ditentukan oleh orang- orang yang merumuskan bentuk inovasi. Misalnya,
kapan inovasi itu disebarluaskan, bagaimana caranya, siapa yang terlubat unutk
menyebarkan informasi inovasi, bagaimana mengontrol penyebaran itu, seluruhnya
ditentukan oleh pembawa dan perumus perubahan secara spontan.
Sedangkan yang dimaksud difusi
desentralisasi adalah proses penyebaran itu seluruhnya ditentukan oleh
pembawa dan perumus perubahan secara spontan, sedangkan yang dimaksud difusi
desentralisasi proses penyebaran informasi inovasi dilakukan oleh masyarakat
itu sendiri. Dalam proses difusi desentralisasi keberhasilan difusi tudak
ditentukan oleh orang-orang yang merumuskan inovasi akan tetapi sangat
ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sebagai penggagas dan pelaksana difusi.
Proses difusi diarahkan agar muncul pemahaman
yang sama tentang inovasi. Oleh karena itu, agar terjadi proses difusi yang
efektf perlu direncanakan. Proses perencanaan difusi dinamakan diseminasi. Dengan
kata lain deseminasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran inovasi yang
direncanakan, diarahkan dan dikelola secara baik, dengan demikian, keberhasilan
suatu penyebaraninovasi sangat terbantung kepada prosses diseminasi.
Bagaimana agar terjadi proses difusi sehingga
inovasi itu mudah diterima oleh anggota masyarakat atau sasaran inovasi? Hal ini
tergantung beberapa factor di antaranya:
1.
Faktor
pembiayaan (Cost). Biasanya semakin murah biaya yang dileluarkan untuk suatu inovasi,
maka akan semakin mudah diterima oleh kelompok masyarakat sasaran, walaupun
kualitas inovasi itu sendiri sangat ditentukan oleh mahalnya biaya yang
dikeluarkan. Misalnya, mengapa PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan)
sebagai suatau bentuk inovasi penyelenggaraan system pendidikan tidak
dilanjutkan? Hal ini mungkin bukan karena ketidakberhasilan sestem pendidikan
etu, akan tetepi terlalu mahalnya embiayaan yang harus dikeluarkan dibandingkan
dengan persekolahan biasa.
2.
Risiko yang
muncul sebagai akobat pelaksanaan inovasi. Inovasi akan mudah diterima manakala
memiliki efek samping yang sangat kecil, baik yang berkaitan dengan polotok
maupun keamanan dan keselamatan penerimanya. Suatu inovasi tidak akan mudah dan
dapat di ertima apabila memiliki risiko yang tinggi.
3.
Kompleksitas.
Inovasi akan mudah diterima oleh masyarakat sasaran maknakala bersifat
sederhana dan mudah dikomunikasikan. Semakin rumit bentuk inivasi itru, maka
akan semakin sulit juga untuk diterima.
4.
Kompabilitas.
Artinya, mudah atau sulutnya suatu invasi diterima oleh masyrakat sasaran
ditentukan juga oleh kesesuaianya dengan kebutuhan, tingkat pengetahuan, dan
keyakinan masyarakat pemakai. Suatu bentuk inivasi akan sulit diterima
manalkala tidak sesuai dengan kebutuhan pemakai atau sulit dipahami karena
tidak sesuai dengan tingkat pemgetahuan mereka.
5.
Tingkat
keandalan. Suatu bentuk inovasi akan mudah diterima manakala diketahui tingkat
keandalannya. Untuk mengetahui tingkat keandalannya itu bentuk inovasi terlebih
dahulu harus diujivobakan secara ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Tanpaa keandalan yang pasti, orang akan ragu untuk mengadopsinya.
6.
Keterlibatan.
Bentuk inovasi yag dalam proses penyusunannya melibatkan kelompok masyarakat
sasran, akan mudah diterima. Misalkan untuk pembaruan dalam system
pembelajaran, proses penyusunan inovasi melibatkan PGRI sebagai organisasi guru
atau melibatkan perwakolan guru-guru tertentu yang dianggap berpengalaman.
7.
Kualitas
penyuluh. Inovasi perlu disosialisasikan untuk diketahui dan dipahami oleh
masyarakat sasaran. Dalam proses sosilisai itu perlu dirancang sedeminian rupa
sehingga mudah dipahami. Salah satu
factor yang menentukan dalam proses sosialisasi adalah factor kualitas penyluh.
Kualitas penyuluh ditentukan bukan hanya oleh kemampuan penyuluhnya saja, akan
tetapi tingkat keahlian yang bersangkutan. Proses penyuluhan yang dilakukan
oleh seseorang yang dianggap kurang berpengalaman, akan sulit meyakinkan
madsyarakat sasaran.
Faktor-faktor diatas, sangat mempengaruhi keberhasilan
penyebaran dan penerimaan inovasi pendidikan. Oleh karena itu factor-faktor
tersebut dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan
berbagai bentuk inovasi pendidikan.
Selanjutnya, bagaimana keputusan masyarakat
sasaran dalam menerima suatu inovasi. Ada tiga tipe keputusan penerimaan
inovasi, yaitu keputusan inovasi opsional, kolektif, keputusan otoritas.[1]
Keputusan opsional, adalah
keputusan yang ditentukan oleh individu secara mandiri tanpa adanya pengaruh
dari orang lain. Jadi dengan demikian, dalam keputusan opsional yang berperan
untuk menolah atau menerima inovasi adalah individu itu sendiri.
Keputusan inovasi kolektif, adalah
keputusan yang didasarkan oleh kesepakatan bersama dari setiap kelompok
masyarakat. Setiap anggota kelompok harus menaati untuk menerima atau menolak
inovasi sesuai dengan keputusan kelimpok walaupun keputusan itu mungkin kurang
sesuai dengan pendapatnya.
Keputusan inovasi otoritas, adalah
keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi ditentukan oleh orang-orang
tertentu yang memiliki kewenangan dan pengaruh terhadap anggota kelompok
masyarakatnya. Anggota kelompok masyarakat sama sekali tidak memiliki
kewenangan untuk menerima atau menolak. Mereka hanya memiliki kewajiban untuk
melaksanakan segala keputusan secara otoritas. Misalkan, kalau kepala dinas
pendidikan mengharuskan semua guru untuk menerapkan metode SAS dalam
pembelajaran bahasa, maka setiap guru harus melaksanakannya, walaupun mungkin
ada guru yang menganggap metode tersebut kurang pas.
[1] Komariah, Visionary
Leadership…, hlm. 25-26, lihat juga Ibrahim, (1988), Inovasi
Pendidikan, Jakarta PPLPTK, Ditjen Depdikbud. Hal. 71-73, lihat juga
Subandijah. (1993). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 80
0 Response to "Konsep Difusi dan Keputusan Inovasi"
Post a Comment