Dasar dan Operasional Metode bintu syathi'
Bintu Syathi’ berkeyakinan bahwa: pertama, al-Qur’an
menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu
ba’dh)[1]; kedua,
al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan
dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas,
dan ketiga, penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat
memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan
keabadian nilainya.[2]
Berdasarkan tiga diktum atau basis pemikiran di atas, Bintu Syathi’
mengajukan metode tafsirnya, sebuah metode untuk memahami al-Qur’an secara
obyektif. Menurutnya, metode ini diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip
metode penafsiran Amin al-Khulli (1895-1966) Adapun metode yang ditawarkan oleh
Amin al-Khuli secara umum adalah: Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul al-Qur’an) dan Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an), dan bisa dijabarkan
langkah-langkahnya sebagai berikut:[3]
1. Mengumpulkan unsur- unsur tematik. Memperlakukan apa yang ingin dipahami
dari Al-Qur’an secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan semua surah dan
ayat mengenai topik yang ingin dipelajari. Pengumpulan satu tema dari
keseluruhan ayat ini tidak berarti mengingkari kenyataan bahwa al-Qur’an turun
dalam tenggang waktu yang lama, yang gaya ungkapannya bisa berbeda antara
waktu-waktu pertama dengan berikutnya. Sebab, kenyataan inilah satu-satunya
cara yang paling memadai untuk menangkap makna al-Qur’an.
2. Memperhatikan beberapa hal yang ada di sekitar nash. Surat dan ayat disusun
sesuai dengan kronologi pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan
tempatnya (asbab al-nuzul) dapat diketahui. Namun asbab nuzul di
sini tidak dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai
keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus
diperhatikan di sini adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan
peristiwa pewahyuannya (al-’ibrah bi ‘umum al-lafz la bikhusus al-sabab).
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan
dikacaukan oleh perdebatan ulama tentang asbab an-nuzul. Pentingnya
pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada
kekhususan peristiwa pewahyuannya.
3. Memahami dalalah lafadz. Untuk memahami petunjuk lafaz, karena al-Qur’an
menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang
memberikan rasa kebahasaan bagi lafaz-lafaz yang digunakan secara berbeda,
kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafaz yang ada
di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat
al-Qur’an secara keseluruhan. Di sini digunakan “analisa bahasa” (semantik).
4. Memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Untuk memahami
pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufasir harus berpegang pada makna
nash dan semangatnya (maqasid asy-syari’), kemudian dikonfrontasikan
dengan pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan
penafsiran yang berbau sektarian dan israiliyyat harus dijauhkan.
Bintu Syathi’ menggunakan beberapa formulasi dalam analisisnya yaitu: Pertama, bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan
sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode
yang dipegangi ulama klasik, yakni menafsirkan dengan metode bir riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu Syathi’
memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai topik yang ingin
dikaji.[4]
Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah, yaitu
mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan
bahkan bisa tidak ada didekatnya. Ketiga, prinsip
bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar
atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus. Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab
Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga
apabila ada yang mencoba untuk menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an
bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.[5]
Sementara Pada dataran aplikasi penafsiran, jika dicermati Bintu Syathi’
menggunakan metode-metode yang ditawarkanya diatas biasanya saling
berdialektika dan melengkapi. Terkadang Bintu Syathi’ menggunakan
keempat-empatnya atau hanya sebagian.
Menurut Bintu Syathi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik
yang menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara
berurutan, karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama,
memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks umumnya
sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di mana
ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan, kedua,
kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat
yang sebenarnya.[6]
Kritik Bintu Syathi’ terhadap metode tafsir klasik ini bukan tidak
beralasan. Kenyataannya, setelah tafsir al-Tabari, kitab-kitab tafsir
senantiasa memiliki corak tertentu yang bisa dirasakan secara jelas bahwa
penulisannya “memaksakan sesuatu pada al-Qur’an”, bisa berupa paham
akidah, fiqh, tasawuf, atau setidaknya aliran kaidah bahasa
tertentu. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada tafsir al-Kasysyaf,
karya Az-Zamakhsyari (1074-1143), Anwar al-Tanzil karya
al-Baidhawi (w. 1388), atau Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan
(1344) dll.[7]
Dengan metode ini, Bintu Syathi’ sengaja mematok aturan-aturan yang ketat,
agar al-Qur’an benar-benar berbicara tentang dirinya sendiri tanpa campur
tangan mufasir, dan dipahami secara langsung sebagaimana oleh para sahabat.
Karena itu rujukan-rujukan seperti yang terkait dengan asbab nuzul hanya
dipahami sebagai data sejarah, sehingga apa yang dimaksud Tuhan dalam suatu
pewahyuan benar-benar pesan yang melampaui peristiwa tertentu. Karena itu pula,
pandangan-pandangan para mufasir sebelumnya, terutama al-Tabari (w. 923),
al-Zamakhsyari (w. 1144), Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210), Isfahani, Nizam
al-Din al-Nisaburi, Abu Hayyan al-Andalusi (w. 1344), Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
al-Suyuthi dan Abduh (w. 1905) yang sering dikutip Bintu Syathi’ dalam
tafsirnya, bukan dijadikan rujukan melainkan justru sering menunjukkan
kekeliruannya dan alasannya yang terlalu di buat-buat, karena tidak sesuai
dengan maksud al-Qur’an sebagaimana yang dipahami lewat metode yang
dikembangkan.
[1]
Al-Suyuthi, Dur
al-Mansur, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1313 H), h. 7
[2]
A’isyah Bint
al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir (Bandung: Mizan,
1996), h. 35-36
[3]
Muhammad Amin, A
Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), h. 32.
[4]
Dr. Aisyah Abdurrahman,
Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan, 1996) h. 12
[5]
M. Yusron, dkk studi
kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta: teras, 2006) h. 25
[6]
A’isyah Bint
al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir (Bandung: Mizan,
1996), h. 30
[7] Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 111
0 Response to "dasar dan operasional metode bintu syathi'"
Post a Comment