FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI
makalah ini membahas tentang kajian filsafat, antara pemikiran filsafat yunani dan pemikiran filsafat islam, persamaan dan perbedaan antara yunani dan islam dalam masalah filsafat, serta pandangan islam tentang filsafat. berikut ini uraiannya, lengkap dengan footnote dan daftar pustaka.
Sebagian para ahli filsafat, antara lain Ernest Renan, seorang filsuf Perancis, yang meninggal pada tahun 1892 M, seperti dikutif oleh Mushtafa Abdul Al-Raziq mengatakan bahwa bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang secara determinan mempunyai karakteristik suka memperdalam pemikiran dan menciptakan penemuan-penemuan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupannya, melainkan bangsa yang menyukai seni dan agama. Oleh sebab itu, adanya filsafat dalam Islam pada dasarnya bukanlah hasil cipta karya bangsa Arab sendiri. Yang sebenarnya terjadi, bangsa Arab mencoba mentransfer, mengomentari atau meringkas, bahkan ada yang mengkompromikan antara filsafat dan agama Islam, lalu dikatakannya, sebagai filsafat Islam.
Sebagian para ahli filsafat, antara lain Ernest Renan, seorang filsuf Perancis, yang meninggal pada tahun 1892 M, seperti dikutif oleh Mushtafa Abdul Al-Raziq mengatakan bahwa bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang secara determinan mempunyai karakteristik suka memperdalam pemikiran dan menciptakan penemuan-penemuan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupannya, melainkan bangsa yang menyukai seni dan agama. Oleh sebab itu, adanya filsafat dalam Islam pada dasarnya bukanlah hasil cipta karya bangsa Arab sendiri. Yang sebenarnya terjadi, bangsa Arab mencoba mentransfer, mengomentari atau meringkas, bahkan ada yang mengkompromikan antara filsafat dan agama Islam, lalu dikatakannya, sebagai filsafat Islam.
Muhammad al-Bahiy mengomentari pernyataan Ernest Renan dengan mengatakan
bahwa:
“Filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Yunani (Greek) yang
dimasukkan ke dalam bangsa Arab Muslim melalui transliterasi dan trasformasi.
Para sarjana Muslim begitu sibuknya memahami filsafat Islam. Sebagian ada yang
mengeksplanasikan, sebagian yang lain mencoba memadukan antara filsafat Yunani
dan prinsip-prinsip agama Islam apabila ternyata terjadi kontradiksi antara
keduanya. Diantara beberapa filsuf yang berbuat seperti itu yaitu: Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusydi. Mereka ini dianggap sebagai bagian dari
orang-orang yang banyakmengetahui sejarah perkembangan rasional dalam Islam,
para filosof, dan para ahli hikmahnya. Mereka yang berpandangan seperti ini adalah
kelompok orientalis.[1]
Selanjutnya, Al-Bahiy mengatakan bahwa terdapat kelompok lain yang
mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Arab merupakan suatu bangsa yang secara
determinan mempunyai keistimewaan rasional seperti jenis bangsa manusia yang
lain. Nilai rasionalitas itu dari keistimewaan inivatif yang secara konstan
yang dinamakan adat.
Diantara mereka yang mengatakan seperti ini, yaitu Wilhelm Dilthey, seorang
filsof Jerman yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah pemikiran bangsa Arab
Muslim yang berkaitan dengan masalah alam fisik, metafisik, dan mengenai
masalah manusia secara individual maupun social. Akan tetapi, pemikiran
filsafat ini dibatasi oleh prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin agama Islam.[2]
Bahkan Al-Ahwani menyatakan bahwa filsafat Islam adalah pembahasan secara
filosofis berkaitan dengan permasalahan-permasalahan makrokosmos dan manusia
atas dasar ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[3]
Tampaknya, apa yang
dikatakan oleh Wilhelm dilthey di atas, cakupan filsafat Islam lebih luas
daripada dikatakan oleh Al-Ahwani sebab Dilthey justru menganggap bahwa kajian
yang tercakup dalam filsafat Islam bukan hanya menyangkut pembahasan tentang
makrokosmos dan manusia saja seperti yang dikatakan oleh Al-Ahwani, melainkan
menyangkut masalah makrokosmos manusia dan alam metafisika. Pada kenyataanya,
memang para filosof Muslim bukan hanya membahas secara filosofis permasalahan
makrokosmos saja, melainkan membahas secara mendalam permasalahan manusia dan
metafisikanya.
Di dalam membahas makrokosmos, para filosof Muslim selalu berpedoman pada
ajaran Al-Qur-an dan Sunah-Hadts Nabi Muhammad Saw. H.G. Sarwan antara lain
menyatakan bahwa tuhan tidak statis, tetapi dinamis berdasarkan ayat Al-Qur-an
yang artinya:
“Semua yang ada di
langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”[4]
Padahal diantara filosof justru menganggap bahwa Prima Klausa (Tuhan)
statis. Ibnu `Arabi dalam fushush al-Hikam, dengan teori wihdah al-wujudnya,
menyatakan bahwa Alloh itu transenden dan imanen berangkat dari firman Alloh
Swt:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir (imanen) dan Yang Bathin
(transenden); dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”[5]
Berkenaan dengan itu, pantaslah kalau T.J. De Boer (Tt.
29) seorang pemikir kebangsaan Belanda yang karyanya diterjemahkan oleh Edward
R. Jones, BD, The history of philosophy
in Islam menyatakan bahwa now the
history of Phyloshophy in Islam is valuable, just because it sets forth the
first attempt to appropriate the results of greek thinking, with greater
comprehensiveness and freedom than in the early Christian dogmatic (kini
dapat dinyatakan bahwa sejarah filsafat dalam Islam benar-benar ada sebab di
situ terdapat seperangkat karya utama kaum Muslimin yang dapat dikatakan
merupakan hasil karya kontinu sendiri sebagai hasil dari upaya secara bebas
memahami pemikiran Yunani sehingga mampu manampakkan kebesaran yang
komprehensif, yang berbeda dengan dogma-dogma Kristiani masa lalu).
Pada bagian lain, De
Boer menyatakan bahwa By Muslim sciences and old or Non-Arab Sciences (pada
abad ke-10 M oleh para sarjana Muslim, ilmu pengetahuan dibagi dalam ilmu-ilmu
pengetahuan Arab dan ilmu-ilmu pengetahuan lam atau non-Arab). Secara umum,
para filosof Yunani membahas permasalahan filsafat hanya bergantung pada
kekuatan rasionalnya saja. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat disimak
beberapa perbedaan dan persamaan para filosof Yunani dan para filosof Muslim.
Persamaan dan perbedaan
Filsafat Islam dan Filsafat Yunani
Persamaan antara
filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama
nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ni, nilai-nilai etika filsafat
merupakan priduk akal, sedangkan nilai-nilai agama dipercayai sebagai
ditentukan oleh Tuhan. Pada agama budaya sesungguhnya ia masih produk akal
juga. Pada agama langitlah baru dapat dikatakan sebagai ketentuan Tuhan,
sepanjang dipercayai bahwa agama langit dibentuk oleh wahyu, sedangkan agama
budaya dilahirkan oleh filsafat.
Apabila dibahas ajaran
tiap agama, selalu kita temukan penentuan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam
Islam ini amat tegas digariskan. Terkenal sarinya “amar ma`ruf dan nahi munkar”, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran.[6]
Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan secara terperinci antara perbedaan
dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam.
Adapun perbedaan antara
filsafat islam dan filsafat yunani adalah:
1. Filsafat yang
merupakan sumber pemikiran ilmiah Yunani hanya di dasarkan pada
hipotesis-hipotesis dan pendapat-pendapat, sedangkan ilmu-ilmu Islam
mendasarkan penyelidikan mereka atas dasar pengamatan dan percobaan.
2.
Orang-orang Yunani menganggap bahwa pengetahuan indrawi
berkedudukan lebih rendah daripada pengetahuan rasio. Jadi, pengetahuan indrawi
kurang dapat diandalkan sehingga mereka tidak mendirikan
laboratorium-laboratorium. Ilmuwan-ilmuwan Muslim tetap mengandalkan pemikiran
rasional, namun mereka melakukan pembuktian melalui pengamatan dan percobaan.
Oleh sebab itu, mereka mendirikan laboratorium-laboratorium.
3.
Orang-orang Yunani hanya berfikir secara deduktif. Kaum muslimin
diajari oleh Al-Qur’an supaya berfikir induktif dengan perintah dengan
memperhatikan alam sekitarnya.
4.
Ilmu-ilmu Yunani hanya sekadar sekumpulan informasi. Ilmu-ilmu kaum
Muslimin merupakan keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hokum dan teori.
5.
Yunani dalam jangka waktu 12 abad hanya melahirkan beberapa
gelintir ilmuwan saja, sedangkan Islam hanya dengan 6 atau 7 abad saja telah
melahirkan ribuan ilmuwan besar dan menjadi peletak dasar ilmu-ilmu modern.
6.
Yunani hanya meninggalkan beberapa buah buku bernilai. Sedangkan
Islam telah meninggalkan beberapa ribuan karya tulis besar yang menjadi standar
kajian ilmuwan Eropa di Perguruan tinggi (universitas) mereka sampai kini.
Sedangkan persamaan filsafat islam dan filsafat yunani adalah:
1. Keduanya sama-sama menggunakan filsafat sebagai sarana untuk pengembangan
pemikiran rasional.
2. Keduanya mengembangkan progresif peradabannya melalui kegiatan
kajian-kajian ilmiah di perguruan-perguruan tinggi yang terkonsentrasi secara
sistematis dan terencana.
3. Keduanya mengembangkan sejumlah peradabannya melalui pengembangan sejumlah
perpustakaan-perpustakaan.
4. Keduanya menggunakan para ilmuwan spesialis sebagai pelaksana pengembangan
keilmuannya.
5. Keduanya mengalami kemajuan ketika keduanya sangat menghargai karya-karya
ilmuwan mereka sehingga para ilmuwan dengan tekunnya menggeluti keahliannya.
Akan tetapi, keduanya mengalami kebangkrutan setelah keduanya tidak
memperhatikan kesejahteraan para ilmuwannya sehingga para ilmuwan meninggalkan
negeri keduanya.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan
filsafat Islam di atas, Islam terus berkembang. Namun menurut hemat penulis,
kini setelah ilmu pengetahuan berkembang di Eropa, kaum Muslimin berbalik
menjadi murid orang-orang Eropa. Hanya saying, ketika zaman keemasan Islam,
kaum Muslimin menjadi murid-murid Yunani hanya mengambil nilai-nilai kebenaran
Yunaninya saja sehingga kaum Muslimin tidak menjadi orang-orang Yunani meski
telah mengadopsi ilmu-ilmu Yunani serta mengalami zaman kemajuan dan keemasan.
Akan tetapi, kini kondisinya sangat berbeda. Banyak kaum Muslimin yang telah
belajar ilmu-ilmu Barat kini telah menjadi orang-orang Barat. Tampaknya pada
masa kini, sebagian para sarjana Muslim yang belajar di dunia Barat, setelah
mereka kembali, bukan hanya ilmu-ilmu barat yang dibawanya, melainkan membawa
juga budaya-budaya Barat. Sehingga budaya Barat berkembang di dunia Islam, yang
secara kebetulan dianggap para tokoh Muslim ortodoks, terutama yang sangat
tidak setuju kalau kaum Muslimin belajar dari dunia Barat menolak secara tegas
semua produk barat.
Pandangan agama Islam
terhadap filsafat
1. Konfrontasi Filsafat dan Agama
Dialog yang abadi terkandung dalam konfrontasi
filsafat dan agama. Agama mengejek filsafat, bahwa setelah beribu-ribu tahun
filsafat itu mencari kebenaran, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu
mencari kebenaran, yang ditemukannya hanya kebenaran semu. Tiap saat ia mengira
mendapat kebenaran, untuk disangsikan, dikritik dan ditinggalkannya lagi,
mencari kebenaran yang sesungguhnya. Lihat kami, kata agama. Kami percaya
titik. Dengan demikian kami tidak membuang-buang waktuuntuk berfikir mencari
kebenaran, yang setelah diperdapat ditinggalkan lagi, karena ternyata tidak
benar. Ketahuilah, budi manusia itu nisbi. Ia tidak akan mungkin menangkap
kebenaran yang sejati.
Filsafat menjawab dengan ejekan pula. Kami ingin
kebenaran yang kami usahakan dengan tenaga kami sendiri. Kami tidak seperti
anak kecil, yang mudah percaya saja tentang agama yang dikatakan kepadanya. Dan
sesungguhnya kegembiraan itu bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, tetapi
dalam mencarinya.
Filsafat agama datang mengetengahi. Sebagai orang
agama, filosof itu percaya, hasil penghayatan hatinya. Sebagai filosof, ia
mempersoalkan kepercayaannya itu mengangkatnya ke alam budi, sehingga secara
rasional dapat didudukkan.
2. Pertentangan Ulama dan Filsafat
Dengan latar belakang keterangan pada Peranggan
50 mudah kita mengerti kenapa filsafat Islam mendapat kritik dan perlawanan
kalangan ulama-ulama (seperti Al-Ghazali) ada yang menolak filsafat Islam
seluruhnya. Terhadap kritik dari perlawanan itu, filosof-filosof Islam
menjawab, bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu, karena
kedua-duanya memperkatakan prinsip-prinsip yang gaib, jauh dari ujud yang
dihadapi. Tujuan filsafat senada dengan tujuan agama, kata mereka. Kedua-duanya
bertujuan membina kebahagiaan melalui iman dan amal yang baik. Setelah khajanah
ilmu dan filsafat Yunani diterjemahkan oleh kaum sarjana Islam, dinamakanlah ia
ulum-ul-awail (ilmu-ilmu kuno).
Lawannya ialah al-ulum-us Syari`iyyah (ilmu-ilmu
Syara`). Segolongan ahlusunnah meragukan kebenaran ulum-ul-awail itu, bahkan mereka ini menolak tiap ilmu yang ada
pertaliannya dengan filsafat.
Yang menjadi sasaran utama kemarahan ahlisunnah adalah
metafisika atau Theodise Aristoteles. Pemikiran
Aristoteles dipandang mereka berlawanan sama sekali dengan kepercayaan Islam.
Ilmu mantik Aristoteles dipandang berbahaya bagi akidah, karena ilmu inilah
yang mengendalikan pemikiran dalam filsafat. Ilmu matematika juga dikritik,
karena dapat menyiapkan orang ke jalan filsafat.
Pertentangan antara filosof dan ulama (pertentangan
ini bertambah tajam dengan pengaruh serangan Al-Ghajali terhadap filsafat), terutama di dunia Islam yang
difitnah dan buku-bukunya dibakar. Nasib demikian dialami oleh Ibnu Rusyd.
Dari ucapan Ibnus-Shalah
tentang filsafat kita memperoleh gambaran, bgaimana pandangan kaum ulama
umumnya dahulu terhadap fiksafat:
Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan,
bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya
dari kebaikan-kebaikan Syari`ah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil
yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia
bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh Syetan. Apakah
ada ilmu lain yang lebih hina daripada ilmu yang membutakan orang yang
memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita.
Tentang mantiq, maka ia adalah jalan kepada filsafat,
sedangkan jalan kepada keburukan adalah buruk pula. Mempelajari filsafat atau
mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara`, tidak
dibolehkan oleh sahabat, tabi`in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan
anutan-anutan serta tokoh-tokoh umat mana Tuhan telah membersihkan mereka dari
kotoran-kotoran ilmu itu.
Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantic dalam
hokum-hukum Syara` maka termasuk kemungkaran, dan untungnya
hukum-hukumSyara`tidak memerlukan mantic sama sekali. Apa yang dikatakan oleh
orang yang ahli logika tentang definisi dan argument-argumenuntuk logika maka
adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu
Syari`at yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syari`at dan ilmu-ilmunya
telah lengkap, dan para ulamanya telah menyelami lautan kebenaran dan
ketelitian, tanpa mantic, filsafat, dan ataupun pilosof-pilosof.
Barangsiapa mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantic
dengan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk
Syetan dan ditipunya.[7]
Demikianlah serangan Ibnus-Shalah terhadap filsafat
yang besar pengaruhnya terhadap Ahlusunnah. Sebelum itu ulama-ulama terkenal,
seperti Ibnu Hazm, Al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnu il Qayyim telah pula melontarkan kritik-kritik yang
pedas.
Sekalipun filsafat ditolak oleh ulama-ulama, namun
dalam prakteknya tanpa disadari, ulama-ulama itu berfilsafat juga. Dalam
membahas ajaran-ajaran Islam, ilmu mantic mau tidak mau dipergunakan. Ilmu
kalam tidaklah lain filsafat ketuhanan. Dalam membina hokum dan
metode-metodenya dan ilmu-ilmu Keislaman, ulama-ulama telah memasuki lapangan
filsafat tanpa disengajanya.
Serangan-serangan gencar ulama itu dalam perjalanan
sejarah makin lemah. Dalam peredaran masa dan perkembangan Islamdari satu
negeri ke negeri lain, timbul masalah-masalah yang tidak langsung dijawab oleh
Al-Qur-an dan Hadits, akal harus dipergunakan, ijtihad harus digerakan,. Makin
dipelajari Al-Qur-an dan Hadits makin ternyata, bahwa Islam memberikan
kebebasan berfikir. Kebebasan yang sehat ialah yang diatur oleh hikum.
Kebebasan berfikir biasa, yang membentuk filsafat, diatur oleh logika.
Kebebasan berfikir Islam, yang membentuk filsafat Islam, diatur oleh ilmu
mantik dan diasaskan pada Al-Qur-an dan Sunah-Hadits. Berfikir yang diatur oleh
ilmu mantic, berasaskan naqal adalah system berfikir Islam, yang diistilahkan
ijtihad. Ijtihad dengan sistematis, radikal dan universal membentuk filsafat
Islam. Tanpa pengasasan pada naqal filsafat itu bukan filsafat Isla. Pengasasan
ini dapat membuktikan pada ulama bahwa filsafat itu bukanlah bujukan dan rayuan
Syetan.[8]
3. Pembelaan filsafat oleh tokoh muslim
Ibnu Rusyd membela filsafat dengan menunjukan fungsi filsafat sebagai
penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan
yang Menciptakan-Nya.[9]
Al-Qur-an berkali-kali menyuruh demikian, Misalnya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan
segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan
mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran
itu?”[10]
“…………..Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”[11]
Ibnu Rsyd menunjuk kepada nadhar (yandhuru fi, memikirkan tentang) dan i`tibar dalam kedua ayat itu.
Kedua ayat dengan istilah-istilah itu menyuruh kepada qiyas, yakni pengambilan
hukum yang belum diketahui dari sesuatu yang sudah diketahui. Dalam logika ini
disebut silogisme. Kita harus
mengarahkan pandangan kita kepada alam wujud dengan qiyas aqli. Karena itu penyelidikan filsafat adalah wajib. Kalau
dari ayat Al-Hasyr itu seorang fakih menetapkan adanya qiyas syar`I (kias dalam fiqih), kenapa seorang filosof tidak
berhak pula menetapkan qiyas aqli? Kalau
dikatakan qiyas aqli bid`ah, bukanlah
qiyas syar`I juga bid`ah?
Kedua-duanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. [12]
Manakala pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara`, adalah ahli piker harus
mempelajari ilmu mantic dan filsafat, sekalipun keduanya itu berasal dari luar
Islam. Andai kata ada orang karena mempelajari filsafat menjadi sesat, itu
bukanlah salahnya filsafat, tetapi karena orang itu tidak memiliki kemampuan
untuk berfilsafat, atau sebab mempelajarinya tanpa guru. Diambil dari ibnu rasyd
missal tentang minum air. Kalau ada orang tercekik lalu mati, adalah mati
karena tercekik minum air suatu peristiwa yang kebetulan atau kekecualian,
sedangkan mati karena haus adalah kelaziman.[13]
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa filsafat adalah karya seluruh umat manusia oleh semua
angkatannya, karya mana dimulai buku-buku Yunani. Manakala lapangan ilmu dan
teknik tidak mungkin diselesaikan oleh seorang diri semata-mata, apalagi
filsafat sebagai induk dari segala ilmu yang ada, sehingga sudah sepatutnyalah
kita mempelajari ilmu filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Prof, Dr, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT Remaja Rosda Karya,
Cet. XVI, Bandung, 2008
Al-Qur-an dan Terjemahannya
Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat, Buku Pertama, PT Bulan Bintang, Cet. 6, Jakarta, 1992
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1969
Irawan, Pengantar Singkat
Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama Press, Cet. IV, Bandung, 2008
Louis O. Kattsolf, Pengantar
Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996
Manaf, Mujahid Abdul, Sejarah
Agama-Agama, Cet. II, Jakarta, 1996
Rozak, Abdul, Filsafat Umum,
Cet. I, Bandung, 2002
[2] Louis O.
Kattsolf, Prof, Dr, Pengantar Filsafat,
Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996, hal. 66
[3] Ahmad Tafsir,
Prof, Dr, Filsafat Umum, Akal dan Hati
Sejak Thales sampai Capra, PT Remaja Rosda Karya, Cet. XVI, Bandung, 2008,
hal 5
[4] Al-Qur-an
Surat Ar-Rahman (55) : 29
[5] Al-Qur-an
Surat Al-Hadid (57) : 3
[6] Manaf, Mujahid
Abdul, Drs, Sejarah Agama-Agama, Cet.
II, Jakarta, 1996, hal. 26
[7] Ahmad Hanafi,
MA, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta
: Bulan bintang, 1969) p. 27.
[9] Irawan, S.Pd,
M. Hum, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia
Pratama Press, Cet. IV, Bandung, 2008, hal. 29
[11] Al-Qur-an
Surat Al-Hasyr (59) : 2
[12]Louis O.
Kattsolf, Prof, Dr, Pengantar Filsafat,
Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996
[13] Gazalba, Sidi,
Sistematika Filsafat, Buku Pertama,
PT Bulan Bintang, Cet. 6, Jakarta, 1992
0 Response to "FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI (makalah lengkap)"
Post a Comment