ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN
Bag. 3
makalah ini membahas tentang islam dalam konsep fazlur rahman, pada bagian 3 ini yang akan diuraikan adalah tentang hari akhir, ide pokok alquran, politik dan kepemimpinan, konsep etika.
1. Hari Akhir
Ide pokok yang
mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat
ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya di masa
sebelumnya mengenai amal perbuatannya.[1] Alam
semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur bersama seluruh
kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran menerangkan tentang hari
kiamat dengan penggambaran kehancuran kosmos secara menyeluruh dengan maksud
menggambarkan kekuasaan Tuhan.
Dalam kaitan ini,
Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan kosmos ini terjadi dengan
sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan bahwa tidak ada yang lebih tinggi
dari kosmos ini. Mereka harus memahami Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang
menyusun kembali alam semesta (setelah kehancurannya) guna menciptakan
bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level kehidupan yang baru pula. Rahman
berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran dunia secara
total, tetapi hanya transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan
yang lain.[2]
Hari kiamat merupakan
hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk
melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan adalah di atas dunia
ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup
ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya
tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang
hanya terjadi sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang
dan mendapatkan hasil yang baik. Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan dan
penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya bersifat spiritual karena raga
dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan identitas atau
kepribadian manusia yang sesungguhnya.[3] Dengan
demikian, yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi
pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan atau penderitaan yang dirasakan manusia
di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan spiritual).
Konsep teologi yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri
yang ditulis dalam satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi
pemikiran sebagai hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku
dan artikel tulisannya, ditemukan beberapa doktrin teologi yang pernah
dikembangkan oleh aliran-aliran terdahulu, yang kemudian dikritisinya. Dari
berbagai tulisannya inilah apabila dicermati akan tampak bahwa konsep
teologinya berpegang pada konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema
pokoknya tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep
teologi yang dikemukakan Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut
paham teologi rasional.
2. Politik dan Kepemimpinan
Fazlur Rahman menyebut bahwa
dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah
sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur Rahman menekankan
masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada
ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang
tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat
yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan
tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Secara umum,
klasifikasikan pandangan menegenai persoalan kepemimpinan tidak
terlepas dari pandangan mereka tentang hubungan negara dan agama, yang secara
ringkas ada 3 (tiga) arus besar pendapat para pemikir Islam tentang
hubungan Islam dan negara ini, yakni:
a. Kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat
lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail.
Dengan demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara
harus negara Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi. Mereka
menolak gagasan negara kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan
dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak
musyawarah sistem demokrasi. Jadi menurut pendapat pertama ini adalah,
wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat, serta wajib
hukumnya menggunakan dasar negara dengan Alquran..
b. Kelompok yang menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian mendirikan negara bukan
sebuah kewajiban. ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq misalnya, tidak setuju
dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan antara
agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul sekaligus
sebagai raja kepada nabi Muhammad saw. Buktinya hanya beberapa rasul saja yang
menjadi raja seperti nabi Dawud, justru kebanyakannya rasul itu bukan raja,
melainkan hanyalah rasul semata.
c. Di luar kelompok yang pro dan kontra di atas yang pendapatnya dapat
dianggap sebagai sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam
Islam memang terdapat ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut
prinsip-prinsipnya saja, tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk
negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara
fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.[4]
Menurut Fazlur Rahman,
adalah keliru apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial
politik yang menyeluruh dan terperinci. Tuntutan Alquran tentang kehidupan
bernegara tidak menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang
terpenting prinsip-prinsip yang terdapat dalam Alquran itu harus
di-transformasikan ke dalam bentuk rumusan-rumusan kenegaraan yang dipandang
perlu akan memenuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada
zamannya.[5]
Menurut Fazlur Rahman,
yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus dijelmakan dalam
sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu
yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya
terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan. Para
pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan
berupaya menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif,
integratif dan toleran.[6]
Oleh sebab
itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tujuan utama Alquran adalah menegakkan
sebuah tatanan masyarakat ethis dan egalitarian. Jadi masyarakat Islam
terbentuk karena ideologi Islam. Kondisi ideal dari tatanan masyarakat
Islam itu adalah "yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kejahatan."[7]
Untuk tercapainya
tujuan di atas, masya-rakat memerlukan pengaturan tersendiri, seperti pemenuhan
kebutuhan bersama. Untuk melaksana-kan urusan bersama ini, Fazlur Rahman me-nyebutnya
sebagai urusan pemerintahan, secara jelas Alquran memerintahkan kaum Muslimin
untuk menegakkan syura [dewan atau majelis konsultatif] di mana keinginan
rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Dalam hal ini Rahman
mengemukakan:
Syura was a
pre-Islamic democratic Arab institution which the Qur'an (42:38) confirmed. The
Qur'an commanded the Prophet himself (3: 159) to decide matters only after
consulting the leaders of the people. But in the absence of the Prophet, the
Qur'an (42: 38) seems to require some kind of collective leadership and
responsibility.
Syura ini
adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam
dan yang kemudian didukung oleh Alquran (QS. as-Syuara: 38). Nabi Muhammad
sendiri diperintahkan Alquran (QS. Ali Imran: 159) untuk memutuskan
persoalan-persoalan yang ada setelah berkonsultasi dengan para pemuka
masyarakat. Setelah Muhammad tidak ada, tampaknya Alquran (QS. as-Syura: 38)
menghendaki semacam kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.
Itulah sebabnya Alquran walaupun menghendaki pluralisme institusi-institusi
secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, tetapi di dalam kondisi
tertentu Alquran juga mengakui bahwa negara sebagai wakil masyarakat yang
tertinggi.Pemberontakan terhadap negara dapat diganjar dengan hukuman yang
berat, berdasarkan firman Allah:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي
الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ
فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن
تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.....
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang
yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]”.[8]
Ayat tersebut
menjelaskan ganjaran terhadap orang-orang yang memberontak terhadap Allah dan
Rasul-Nya dan berbuat aniaya di muka bumi adalah hukuman mati, digantung di
atas salib, kaki dan tangan dipotong secara bersilang, atau dibuang - demikian
hukuman buat mereka dalam kehidupan dunia ini sedang di akhirat dan bagi mereka
hukuman yang lebih berat, kecuali bagi mereka yang bertobat.
Akan tetapi Fazlur
Rahman juga menegaskan bahwa pemberontakan bukan berarti tak diizinkan dalam
Islam. Menurut Alquran, semua nabi sesudah Nabi Nuh as. adalah pemberontak
terhadap tatanan masyarakatnya. Yang menjadi kriteria bagi Alquran atas upaya
pemberontakan tersebut adalah apa yang selalu disebutnya sebagai
"penyelewengan di atas dunia" yang diartikan sebagai keadaan yang menjurus
kepada pengabaian hukum secara politik, etis, atau sosial ketika urusan-urusan
nasional dan internasional tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga
menimbulkan kekacauan bagi masyarakat.[9]
Pada umumnya kaum Muslimin
disuruh untuk mentaati Allah, Rasul dan para peinimpin-peinimpin mereka yang
dipilih maupun yang diangkat. Hal ini sejalan dengan ayat Alquran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ....
“Hai orang-orang yang
beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu.”[10]
Selanjutnya Fazlur
Rahman menyebutkan, bahwa tidak dapat disangkal bahwa di dalam sejarah Islam,
telah terjadi faksi-faksi politik yang didasarkan pada doktrin agama,
menyebabkan munculnya sikap dan perilaku politik tertentu golongan-golongan
Islam. Muslim Sunni misalnya, yang menandaskan konsep laissez faire,[11] sangat
menekankandoktrin mengenai kepatuhan kepada otoritas de facto, yang
menghasilkan lemahnya sikap kriteria masyarakat terhadap perkembangan
sekitarnya.
Perpaduan antara
kepatuhan politik yang sengaja dibentuk dengan kepasifan moral masyarakat,
tidak hanya memungkinkan oportunisme politik, tetapi tampaknya juga
memberikan dukungan doktrinal kepada oportunisme tersebut. Walaupun
demikian, jika tidak didukung oleh faktor-faktor dominan lainnya, doktrin
pasifisme moral dan kepatuhan politik yang murni, tentu tidak akan menyebabkan
sikap yang begitu saja menerima oportunisme politik. Jadi sangat disayangkan
bahwa dalam sejarah umat Islam, kepasifan politik dan moral tersebut ternyata
terus berkembang di kalangan umat Islam.[12]
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra
bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang
terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal
balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur
Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai
spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena
pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang
menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan
di muka.
3. Konsep Etika
Salah satu karakter
pemikir Islam adalah komitmennya terhadap proyek reconstruction (membangun
kembali) atau rethinking (memikirkan kembali) segala sesuatu yang berkaitan
dengan masya rakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang
menguntungkan bagi kemanusiaan dan peradabannya Untuk itu para akademisi Islam
senantiasa akrab dengan perubahan (change) dan memang mereka sendiri menjadi
penggeraknya.[13]
Berkaitan dengan ini,
Fazlur Rahman mengemukakan bahwa etika bukan saja sebagai the basic elan of the
Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang
ada dalam setiap diri manusia. Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat
diubah. Ia merupakan “perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat
hukum moral. Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut
dengan “ibadah”.[14] Penyusunan
etika Alquran menurut Fazlur Rahman didasarkan pada dua alasan, yaitu Alquran
dalam keyakinan umat Islam adalah kalam Allah, dan Alquran diyakini umat Islam
mengandung secara aktual dan potensial jawaban-jawaban atas semua masalah
kehidupan sehari-hari.[15]
Oleh karena itu, suatu
sistem etika yang tumbuh dari Alquran menjadi kebutuhan yang perlu dikembangkan
sehingga misi Alquran sebagai petunjuk bagi manusia benar-benar aktual dan
aplikatif. Sebagaimana disebutkan Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi
Fazlur Rahman adalah merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi
nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya.[16] Etika
Alquran dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman dapat ditelusuri dari
gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi konsep-konsep kunci etika
Alquran, yaitu istilah “iman, islam, dan taqwa”. Ketiga istilah tersebut
membentuk pondasi etika Alquran sebagai hakikat dari Islam secara menyeluruh
dalam berbagai aspek ajarannya.
BAB III
PENUTUP
Dalam
konteks pembaharuan Islam, Fazlur Rahman adalah penerus
kaum modernis. Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu
pada sumber-sumber modern, ia menyarankan pijakan
yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah Islam klasik yang sangat kaya.
Berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak dalam romantisme
berlebihan, Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan kekayaan yang
terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki
relevansi untuk mengatasi masalah-masalah modern.
Dapat
disimpulkan bahwa ada dua kunci dalam memahami kompleksitas pemikiran
Fazlur Rahman, (1) relevansi dan (2) integritas. Relevansi berkaitan dengan
pemikiran Rahman dan integritas berkaitan dengan sosok Fazlur Rahman sebagai pribadi. Kontruksi metodologi yang
dirumuskanFazlu Rahman dalam memahami
Islam pada dasarnya adalah suatu upaya untuk menemukan relevansi berbagai
kekayaan yang terkandung dalam khazanah Islam dengan konteks komodernan yang
dihadapi umat Islam saat ini.
Tentang
filsafat kenabian, Fazlur
Rahman
mengkritik kecenderungan elitis di kalangan intelektual muslim yang menggunakan
“metode kebenaran ganda”, yaitu kebenaran untuk kaum elit dan kaum
awam. Kecenderungan elitis seperti ini mendasarkan argumennya pada
anggapan bahwa masalah-masalah intelektual yang sensitif semestinya tidak
dibicarakan secara terbuka, sebab orang awam tidak memiliki kemampuan
intelektual yang memadai untuk memahami persoalan-persoalan intelektual
tersebut, yang pada gilirannya justru membuat mereka bingung.
Anggapan
semacam ini jika dibiarkan, menurut Fazlur
Rahman,
sangat berbahaya karena bisa mendorong tumbuhnya kemunafikan di dalam
masyarakat. Seperti, eksistensi kenabian ditinjau dari sudut filsafat dan
tasawuf maupun fiqih. Banyak sekali kasus yang terjadi dalam Islam, misalnya
al-Ghazali yang menulis buku yang tidak dimaksudkan untuk masyarakat luas,
tetapi ditujukan untuk kalangan terbatas. Wallahu a’lamu bial-shawab.
DAFTAR
RUJUKAN
A’la, Abd. Dari
Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam
wacana islam indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003
Adnan, Amal Taufik (peny.), Metode dan Alternatif
Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1987
Al-Bahy, Muhammad, Al-Fikr
al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran
Islam dan Perkembangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Al-Quran dan
Terjemahannya
Amal, Taufik Adnan
(Peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman
(Bandung: Mizan, 1993)
Amal, Taufik Adnan dan
Fauzi, Ihsan Ali, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang Pemikir, Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998
Amal, Taufik Adnan, Islam
dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman, Bandung:
Mizan, 1993
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi,
Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Effendi, Djohan,
Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Bandung: Mizan, 1985
Fahal, Muktafi dan Aziz, Achmad Amir, Teologi Islam Modern,
Surabaya: Gitamedia Press, 1999
Issawi, Charles, An
Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat Islam tentang
Sejarah, Bandung: Tintamas, 1967
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Fazlur
Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Bandung: Pustaka,
1984.
Ma’rif, Ahmad Syafi’i, Peta
Bumi Intelektual Islam, Bandung: Mizan, 1994
Maarif, Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985
Madjid, Nurcholish, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993
Madjid, Nurcholish, “Fazlur
Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember,
1993
Nasution, Harun, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
Nasution, Harun, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nasution, Harun, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Poerwantara Dkk, Seluk
Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991
Rahman, Fazlur, “Mengapa
saya hengkang dari Pakistan” dalam Islamika, No.2 Oktober-Desember 1993
Rahman, Fazlur, Islam
dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University
of Chicago press, 1982
Rahman, Fazlur, Islam,
Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979
Rahman, Fazlur, Islam,
terj. Senoaji Saleh, Jakarta: Bumi Aksara. 1987
Rahman, Fazlur, Kontroversi
Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad,
Bandung: Mizan, 2003
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas
Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Pustaka,
Bandung, 1984
Shill, Edward, Representation
of the Intelectual, edisi Indonesia Peran Intelektual, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1993
Sholihin, M dan Anwar, Rosihon, Kamus Tasawuf , Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002
Wan Daud, Wan
Mohd. Nor, “Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul
Quran, Vol. II, (No. 8,1991)
[11] Konsep laissez faire,
konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat mengajarkan apa yang mereka sukai,
dan tidak mencampuri urusan politik. Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu,
h. 136.
[13] Edward Shill,
Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran Intelektual
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). 30
[14] Ibid.,32
[16] Nurcholish Madjid, “Fazlur
Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal Islamika, No. 2
(Oktober-Desember, 1993), h. 23.
0 Response to "ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3 (makalah lengkap)"
Post a Comment