ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN
Bag. 2
makalah ini membahas tentang islam dalam konsep fazlur rahman, pada bagian kedua ini membahas tentang pokok pemikiran fazlur rahman, tentang wujud tuhan, kedudukan akal dan fungsi wahyu, takdir dan hukum alam.
A. Pokok-pokok pemikiran Fazlur Rahman
A. Pokok-pokok pemikiran Fazlur Rahman
1. Wujud Tuhan
Fazlur Rahman dalam menerangkan
gagasan tentang Tuhan dan alam semesta senantiasa mengacu
pada Alquran sebagai sumber otoritas primer dan senantiasa aktual dan
kontekstual dalam setiap masa dan keadaan dimana manusia berada.[1]
Menurut Fazlur Rahman, semua
pernyataan Alquran tentang alam ataupun Tuhan sekalipun pada dasarnya menyatakan
tentang keberadaan manusia. Hal ini
ditunjukkan Alquran yang dengan tegas menolak untuk menyinggung
masalah kekuasaan Ilahi dengan mengutip beberapa ayat Alquran yang menyatakan
bahwa, Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam
semesta, dan manusia diberi pilihan dan diserahi tanggung jawab. Salah
satu fungsi gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta
sekaligus bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari logika yang inheren yang
harus ada, dengan memberi pernyataan bahwa Tuhan bukan saja transenden tetapi
juga imanen. Hal ini dibuktikan oleh
ayat-ayat Alquran tentang hubungan seluruh proses dan peristiwa alam
kepada Tuhan.[2]
Dalam pandangan Fazlur Rahman, Tuhan itu
memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut katanya bahwa
yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan
mengemukakan bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang eksistensi Tuhan,
tetapai bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada
berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang
mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang
memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan
kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak
terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga.[3]
Mengutip pendapat Ibn
Sina, perbedaan antara Allah sebagai Penvipta dengan makhluk sebagai ciptaanNya
menurut Rahman adalah jika Allah ‘tak terhingga dan mutlak’ maka
segala ciptaanNya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memang memiliki
potensi-potensi tertentu, tetapi potensi-potensi tersebut tidak
dapat melampau keterhinggaannya dan menjadi ‘tak terhingga’.[4]
2. Kenabian dan Wahyu
Fazlur
Rahman mengemukakan tentang perbandingan antara pandangan kaum filosof dan
ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu.
Pembahasannya dimulai tentang konsep akal manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[5] Dalam
pandangan Ibn Sina, akal aktual manusia lebih merupakan cermin yang di dalamnya
tiap-tiap bentuk sesuatu dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active
Intelligence) ditanamkan atau direfleksikan, dan kemudian diambil ketika
manusia mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain. Pada manusia
biasa, cermin itu tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau
penglihatannya berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses
yang bersifat perenungan dan sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih,
atau diperlukan pengobatan terhadap penglihatan tersebut.
Dalam
perspektif Ibn Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal Aktif ketika
manusia telah mencapai akal aktual (actual intellect), dan selanjutnya melalui
latihan-latihan akan dapat mencapai akal mustafad (acquirred intellect). Dalam
taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur lagi oleh orang lain dalam hal
apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh semua pengetahu an dan
makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dirinya dalam segala
hal.
Ibnu Sina, memasukkan
kemampuan akal sebagai salah satu daya dalam jiwa teoritis manusia yang memilki
empat tingkat: 1) material intellect, yaitu potensi akal untuk berpikir dan
belum dilatih, 2) intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk
berpkir abstrak, 3) actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4)
acquired intelect, yaitu kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir
abstrakdan sarana yang mamapu menerima limpahan dari akal aktif.[6]
Wahyu datang pada orang
yang telah mencapai tingkat ini. Namun dalam masalah kenabian, proses-proses
itu tidak diperlukan lagi karena seorang Nabi dari sifatnya adalah murni; dan
karena itu ia secara langsung dapat berhubungan dengan Akal Aktif.[7] Pembahasan
doktrin intelek dalam kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan
mengangkat al-Farabi (w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian
pertama dan kedua buku Propechy in Islam Philosophy and Ortodoxy.[8]
Pada bagian ketiga,
Fazlur Rahman mengangkat masalah kenabian dari perspektif ortodoksi yang
dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada tiga aliran utama dalam teologi skolastik
mengenai kenabian.
a. Mutakallimun dogmatik yang memperbolehkan penggunaan akal secara terbatas
untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran ini diwakili oleh al-Syahrastani
dan merupakan aliran ortodoksi terbesar.
b. Aliran yang berbentuk dogmatisme akat yang mengabaikan akal dan hanya
menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum rasionalis, yang diwakili
oleh Ibn Hazm.[9]
c. Pandangan yang berdiri di antara dua aliran yang menerima penggunaan
akal, namun menolak kaum filosof dan pemikirannya secara total, Serta menolak
sufisme tetapi menekankan nilai-nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran
terakhir ini direpresentasikan oleh lbn Taimiyah.[10]
Tipologi ketiga aliran
pemikiran itu sepakat menolak pendekatan intelektualitas murni para filosof
terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk menerima kesempurnaan
intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih menekankan
nilai-nilai syari'ah daripada nilai-nilai intelektual.
Fazlur
Rahman kemudian menjelaskan beberapa tokoh Muslim terkenal dan
dianggap kelompok ortodoks yang menerima esensi doktrin filosofis tentang
kenabian dan memasukkannnya ke dalam Islam secara integral. Di antaranya adalah
al-Ghazali yang dikenal sebagai tokoh sufi, dan Ibn Khaldun, yang dikenal
sebagai seorang ahli sosiologi Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur
Rahman, Wahyu adalah kalam Allah, dengan demikian Alquran merupakan kalam
Allah. Kalam Allah peng-ertiannya sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan
terlebih dahulu pemikiran Fazlur Rahman tentang hubungan kalam Allah dengan
Alquran atau wahyu itu sendiri.[11]
Rahman membedakan
pengertian antara bacaan (qira’ah), yang dibaca (maqru’), dan Alquran. Bacaan
adalah perbuatan yang bersifat inderawi yang dilakukan pembaca dalam
waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, bacaan adalah baru. Sedang “yang dibaca”
adalah kalam Allah yang qadim yang terdapat pada zat-Nya. Apa yang dibaca
adalah searti dengan Alquran. “Apa yang dibaca” dalam pandangan
al-Ghazali adalah sesuatu yang terdapat di balik bacaan, bukan mushaf itu
sendiri.
Untuk menghindari
kontroversi adanya kalam Allah yang qadim dengan Alquran yang terdapat dalam
mushhaf, al-Ghazali menyatakan bahwa sesuatu yang ditunjukkan (madlul) bukan
bukti (dalil) itu sendiri. Kalam Allah adalah madlul, sedangkan
huruf-huruf yang ada dalam mushhaf adalah dalilnya. Berdasarkan penjelasan
itu, ia menyimpulkan bahwa “apa” yang ditulis di mushhaf, dipelihara di hati
dan dibaca melalui bacaan adalah Kalam Allah. Artinya, Kalam Allah adalah
“sesuatu” yang ditulis, dibaca, dan dihafal; dan bukan tulisan, bacaan dan
hafalan itu sendiri. Meskipun sesuatu yang dibaca, yang ditulis, dan yang
dihafal berbeda dengan bacaan, tulisan dan hafalan itu sendiri, tiga unsur yang
pertama tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan tiga yang terakhir.
Fazlur Rahman
meletakkan pandangan al-Ghazali itu dalam rumusan bahwa “Alquran
keseluruhannya adalah Kalam Allah sejauh ia sempurna dan bebas dari kesalahan,
namun sepanjang ia turun ke dalam hati Nabi dan kemudian berada pada ucapan,
maka ia keseluruhannya adalah kata-katanya.”
Namun tesis al-Ghazali
itu belum menjelaskan secara tuntas bagaimana wahyu sebagai kalam al-nafs dan
berbentuk lafaz-lafaz sebagaimana terdapat dalam mushhaf .Pada sisi ini Fazlur
Rahman memberikan jalan keluar mengenai hubungan itu. Ia membeda-kan meskipun
tidak dapat dipisahkan antara apa yang dibacakan Nabi Saw dan wahyu yang
bersifat transendental. Lafaz-lafaz Alquran yang dibaca Nabi merupakan
representasi yang akurat dari fi’il kreatif yang berasal dari wahyu ilahi. Kata
itu harus direpresentasikan karena penurunannya semata-mata untuk membimbing
manusia, makhluk yang dalam kehidupannya tidak melepaskan diri dari bahasa dan
ungkapan.
Melalui pemahaman
semacam itu Fazlur Rahman menerima, bahkan menyakini Alquran sebagai Kalam
Allah yang diwahyukan secara verbal kepada Nabi dan bukan hanya pewahyuan dalam
makna atau ide-idenya saja. Namun ia menolak pandangan mengenai pewahyuan
yang mekanis dan eksternal sebagaimana pandangan kalangan ortodoks, sehingga
penyampaiannya terkesan seakan-akan Jibril datang dan menyerahkan risalah Tuhan
kepada Nabi Muhammad, seperti seorang tukang pos yang menyerahkan
surat.Penyampaian semacam ini tidak dapat diterima Fazlur Rahman karena
dalam proses semacam itu sulit untuk menghubungkan antara yang transendental
dan Ilahi pada satu pihak, dan Nabi sebagai mausia pada pihak lain.
Bagi Fazlur Rahman,
Jibril sebagai penyampai wahyu adalah Spirit (Ruh). Pandangannya itu didasarkan
bahwa Ruh al-Qudus menurunkan Alquran kepada Nabi; dan juga kepada ayat-ayat
lain yang senada dengan itu.[12] Menurutnya,
Ruh Suci itu adalah bagian dari para malaikat, bukan
berarti Ruh Suci itu berbeda secara keseluruhan dari malaikat. Kemungkinan
besar Ruh itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat kepada Allah.
Untuk sampai kepada kesimpulan itu, Rahman merujuk firman Allah yang
menyatakan:“Ia menurunkan para malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada
siapa saja Ia kehendaki dari hamba-hambanya.”[13]
Secara prinsip, Ruh
tersebut adalah kekuatan, kemampuan, atau agen yang berkembang di hati Nabi
Muhammad saw, yang awalnya turun dari ‘atas’, dan ketika diperlukan berubah
menjadi operasi wahyu yang aktual. Dalam pandangannya, konsep tersebut adalah
sangat sesuai dengan anggapan atau tradisi Islam yang sudah umum yang
menyatakan bahwa keseluruhan Alquran pada mulanya diturunkan ke langit yang
paling bawah, dan setelah itu ayat-ayat verbal yang relevan muncul ketika
dibutuhkan. Berdasarkan paparan di atas, Fazlur Rahman berargumentasi
bahwa Alquran benar-benar bersifat ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw,
sebagaimana hal telah menjadi kenyakinan kalangan ortodoks.
Sejalan dengan hal di
atas, maka pengutusan para rasul atau nabi dalam perpektif pemikiran Fazlur
Rahman merupakan puncak dari kekasih sayang Allah pada satu sisi, dan
ketidak-kedewasaan manusia dalam persepsi dan motoivasi etisnya pada sisi
lain. Ada kaitan yang erat antara pengutus rasul atau nabi dan kasih
sayang Allah disatu pihak, dan kelemahahan manusia di lain pihak. Dengan bahasa
lain, manusia memiliki kemampuan terbatas. Karena itu, manusia membutuhkan
bimbingan dan peringatan agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Sebagai
implikasi logisnya, Allah Yang Maha Pengasih akan mengutus para rasul atau nabi
untuk mengingatkan, membimbing dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar.
Berdasarkan kajiannya, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filosof dan
teolog sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai konsep kenabian
dan wahyu. Bagi filosof, Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan
dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan menurut para teolog, para nabi mempunyai
dua sisi; kemanusiaan dan kenabian. Dalam sisi kemanusiaan, para nabi
adalah sama dengan jenis manusia-manusia lain. Sedangkan dalam sisi
kenabian, para nabi mempunyai sifat-sifat sejenismalaikat, selalu mengagungkan
Tuhan dan menyucikan transendensi-Nya.
3. Kedudukan Akal dan dan Fungsi Wahyu
Manusia merupakan
makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan dan
kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan yang tinggi,
mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam
sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di
masa depan. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga
perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam.
Menurut Fazlur Rahman, Alquran menggambarkan ketaatan dan
penyerahan mutlak seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum alam sebagai
ibadah mereka kepada Tuhan. Alam semesta diciptakan menurut hukum-hukum dan
terus menjalankan pola-pola teratur. Sedangkan manusia ditantang untuk
menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola tersebut sehingga ia bisa
menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya, inilah yang dinamakan
amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia. Amanah ini
dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta menguasainya
dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah inisiatif
moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik.[14] Dari
ungkapannya ini dapat dikatakan bahwa Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada
akal, yaitu untuk memperkuat kebenaran wahyu dan hukum alam, karena
bila akal lemah maka ia tidak akan mampu menemukan hukum-hukum alam.
4. Takdir atau Hukum Alam
Salah satu fungsi utama
dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan alam
semesta. Menurut FazlurRahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam
semesta adalah:
a. bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan,
b. bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;
c. bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi
secara serius; manusia harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian
dari perilaku Tuhan, dan men-jadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia
yang punya tujuan.[15]
Sebagai sebuah kosmos,
alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut Alquran, ketika Tuhan
menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriah, pada
saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan
menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Pertama,
(yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi bentuk) diistilahkan dengan Khalq.
Sedangkan yang kedua, (yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu sifat
atau dinamika perilakunya) didefinisikan oleh Alquran dengan istilah amr atau
taqdir. Dari sinilah muncul konsep Fazlu Rahman tentang takdir atau hukum alam.[16]
Pengertian taqdir secara
harfiah berarti ‘ukuran sesuatu’, dan qadar adalah jumlah atau volume yang
terukur. Fazlur Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami
sebagai peristiwa atau kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya
dalam pernyataan berikut: “Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini:
Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini tidak pernah dipredeterminasi atau
ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa kejadian “A” akan timbul pada
waktu ‘A’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara
alternatif-alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara
aktual.
Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah
kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi potensi-potensi,
kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa oksigen
memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam
proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang
dideterminasi di sini adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk
berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Sedangkan
kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu
tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya.
Berdasarkan pengertian
takdir yang dikemukakan Rahman, dapat dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah
kekuatan buta yang mengukur atau menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan
atau dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran,
rezeki, dan maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa
Allah memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk menjamin
keteraturan alam. Di samping itu, untuk menunjukkan perbedaan terpenting yang
tidak dapat dihilangkan di antara Allah dan manusia.
Menurut Fazlur Rahman,
perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya adalah: “Jika Allah
‘tak terhingga’ dan Mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah
‘terhingga’. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi
betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga
melampaui keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksudkan
Alquran ketika ia mengatakan bahwa setiap sesuatu selain dari Allah mempunyai
ukurannya (qadar, taqdir, dan sebagainya), dan karena itu tergantung
kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan dirinya dapat berdiri sendiri
atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat ketidakterhinggaan dan sifat
ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Dia memberikan
kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Alquran dikatakan petunjuk,
perintah atau ukuran. Dengan hokum tingkah laku inilh ciptaan-Nya itu dapat
selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta.[17]
Bila dihubungkan dengan
konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka dalam pandangan Rahman,
takdir atas manusia berarti Allah telah menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang
bersifat potensial bagi manusia yang dengan potensi itu manusia dapat
mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang
menimpa manusia atau sering disebut nasib, sebetulnya mempunyai sebab-sebab
tertentu yang alamiah dan bukan sebagai determinasi Allah atas manusia. Jadi,
keberuntungan ataupun kemalangan yang menimpa manusia di dunia ini tidak lain
adalah merupakan akumulasi dari berbagai sebab. Jika manusia melakukan
serangkaian usaha yang mengarah kepada tercapainya nasib baik, maka ia akan
memeroleh hasilnya, demikian pula sebaliknya.
Berkaitan dengan konsep
takdir deterministik seperti yang banyak berkembang di kalangan umat Islam,
Rahman menyatakan sebagai berikut: ”Tidak dapat diragukan lagi bahwa di akhir
zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim berkembang sebuah predeterminisme
yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak bersumber dari
ajaran-ajaran Alquran, tetapi bersumber dari faktor-faktor lain yang banyak
sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara faktor-faktor ini adalah
keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang merendahkan
manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep ke-Mahakuasaan Allah,
namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat formal daripada riil),
dan penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik serta fatalistik.”[18] Oleh
karena pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai
predeterminisasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.
Dengan mengembalikan
gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka aspek ikhtiar manusia
menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusia-lah yang aktif berusaha
dan keberhasilan-nyapun ditentukan sejauhmana ia telah memberikan
investasi. Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar manusia
demikian tegas, namun ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a adalah sikap
pikir yang aktif dan reseptif untuk meminta pertolongan dari sumber kehidupan,
dan lewat inilah mengalir energi-energi baru. Menurut Rahman, yang perlu
dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh secara
konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalam konteks kerja keras itulah do’a
memiliki arti dan makna.
Dengan demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia.
Walaupun manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung
pada Sang Pencipta. Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan
jahat. Oleh karena itu, di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di
antara kecenderungan-kecenderungan itu.
baca kelanjutan makalah dan lampiran pustaka di: ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3
baca kelanjutan makalah dan lampiran pustaka di: ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3
[6] Fazlur Rahman, Kontroversi
Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Mizan, 2003), h. 40
[9] M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 61.
[10] Muhammad Al-Bahy, Al-Fikr
al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran
Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 27
[11] M. Sholihin &
Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 53. Lihat juga Charles Issawi, An Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat
Islam tentang Sejarah (Bandung: Tintamas; 1967), h. 2.
[14] Amal, Taufik Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam
Fazlur Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.
[16] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern, Surabaya:
Gitamedia Press, 1999, h. 145-146.
[17] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996, h. 97-98
0 Response to "ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 2 (makalah lengkap)"
Post a Comment