METODE KRITIK SANAD HADITS
Bag. 1
makalah ini membahas tentang metode kritik sanad hadits, pada bagian 1 ini yang akan dibahas adalah tentang pengertian kritik sanad, urgensi kritik sanad, dan kriteria kesahihan sanad hadits.
A.
Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam,
disamping al-Qur’an. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda dengan
al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir,
sedang untuk hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawattir dan
sebagian lagi berlangsung ahad.
Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan
ada mardud dan dhoif dan lainya yang hal itu berarti kita harus
menolak/memperlakukan berbeda hadis itu, sedangkan dalam al-Qur’an tidak
mengenal hal itu kerena al-Qur’an dari segi periwayatannya adalah mutawatir
yang tidak lagi diragukan isinya, tetapi dalam kaitan hadits kita harus cermat,
siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya,
kualitasnya dari hadis ini juga akan berpengaruh pada pengambilan hadits dalam
pijakan hukum Islam.
Mengingat begitu pentingnya kedudukan Hadits,
maka kajian hadits semakin meningkat dari waktu ke waktu dimulai dari masa
sahabat. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga keotentikan hadits itu sendiri.
Karena ternyata pasca khilafah khulafaur rasyidin tepatnya pada masa khilafah
dinasti Umayyah (setelah terbunuhnya khalifah Usman bin Affan), umat Islam
terpecah menjadi beberapa golongan yaitu Syi’ah, Khawarij dan Jumhur. Dimana
masing-masing golongan ingin menduduki jabatan khalifah karena menganggap
kelompok mereka adalah yang paling benar dan kelompok lain sesat. Untuk
memperkuat pendapat masing-masing, maka mereka membuat hadits-hadits palsu.
Orang yang mula-mula membuat hadits palsu adalah dari golongan syi’ah kemudian
khawarij dan jumhur.
Pemalsuan
hadits ini semakin meluas pada abad kedua yaitu dengan munculnya
propaganda-proaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai
imbangan muncul pula dari pihak muawiyyah ahli-ahli hadits palsu untuk membendung
arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi.[1]
Berangkat dari
carut marutnya pemalsuan hadits pada saat itu, akhirnya muncullah ulama-ulama
ahli hadits yang rela menghabiskan waktu untuk mencari hadits dan mengoreksi
kesahihannya. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan studi yang panjang
walaupun hanya untuk mendapatkan satu hadits.
Dalam proses
studi hadits, sanad termasuk komponen penting yang tidak bisa dinafikan selain
dua komponen lain yaitu matan dan rowi. Hal ini dikarenakan sanad merupakan
rantai yang menghubungkan antara pesan hadits sampai kepada Rasusullah. Dapat
dibayangkan apabila salah satu mata rantai itu ada yang bermasalah maka
keabsahan hadits pun tentunya dipertanyakan.
Dalam makalah yang singkat ini, kami
bermaksud memaparkan sedikit tentang kritik sanad. Di dalamnya nanti kami akan
mencoba memaparkan beberapa poin tentang pengertian kritik sanad itu sendiri,
urgensi kritik sanad, kriteria kesahihan sanad, berbagai pendekatan menilai
sanad, ilmu yang terkait dengan sanad dan penelitian sanad.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengertian
kritik sanad?
2.
Bagaimana urgensi
kritik sanad?
3.
Bagaimana kriteria
kesahihan sanad?
4.
Bagaimana
pendekatan menilai sanad?
5.
Bagaimana ilmu
yang terkait dengan sanad?
6.
Bagaimana
penelitian sanad?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian kritik sanad
2.
Untuk
mengetahui urgensi kritik sanad
3.
Untuk
mengetahui kriteria kesahihan sanad
4.
Untuk
mengetahui pendekatan menilai sanad
5.
Untuk
mengetahui ilmu yang terkait dengan sanad
6.
Untuk
mengetahui penelitian sanad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kritik
Sanad
Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya
“seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion
berarti “dasar penghakiman”. Selain itu kritik juga merupakan terjemahan dari bahasa arab naqd
yang berarti
membedakan. Dalam literatur lain ditemukan kata naqd yang diartikan dengan kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad
kedua, dilain tempat dikatakan bahwa maksud dari
kritik adalah memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Sementara secara
terminologi kritik merupakan usaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam
rangka mencari kebenaran.[2]
Kata sanad
dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti
menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.[3]
Sementara Drs.
Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad
ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-hadist kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw misalnya seperti kata Bukhary:
حدثنا
محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس
عن النبى صلعم: ثلاث من كن …..(رواه البخار(
Maka
matnul-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad pertama
Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad ketiga
Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a.,
seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w.
Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi
kita.[4]
Sedangkan kata
hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama; perbedaan-perbedaan
pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek tinjauan
masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang
dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala
sesuatu yang diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah Saw.[5]
Jadi, metode kritik sanad hadis
ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan
penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis
dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan
kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis
(Shahih, hasan, atau dla’if).
B.
Urgensi Kritik
Sanad
Tujuan pokok penelitian sanad hadits adalah
untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Kualitas hadits sangat perlu
diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadits yang bersangkutan. Hadits
yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pemenuhan syarat itu karena hadits merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan
hadits yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak
sesuai dengan apa yang seharusnya.
Oleh karena itu penelitian terhadap hadis Nabi
saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai
bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
1.
Hadis Nabi saw sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam
sesudah al-Quran
2.
Hadis Nabi saw tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih
hidup
3.
Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis Nabi saw
4.
Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan
waktu yang sangat panjang
5.
Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan
metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi
6.
Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada
secara lafal.
C.
Kriteria
Kesahihan Sanad
Karena begitu
pentingnya kajian kritik sanad hadits, selanjutnya adalah perlu menetapkan
kriteria berupa persyaratan yang sangat ketat yang harus ada pada orang yang
meriwayatkan hadits, demi terjaminnya kesahihan sanad. Saeful Hadi menyebutkan
ada dua syarat yang harus melekat pada seorang perowi, yaitu: (1) Adil, (2)
Dhobith.
1.
Adil
Kata ‘adl
adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan
– wa ‘udulan – wa ‘adalatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً – وَعَداَلَةً). Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf
‘ain (عَيْن),
dal (دَال)
dan lam (لاَم),
yang makna pokoknya adalah al-istiwa’ (اَلْاِسْتِوَاء =
keadaan lurus) dan al-i‘wijaj (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang).
Jadi rangkaian
huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni lurus atau
sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti
“menetapkan hukum dengan benar”. Jadi, seorang yang adil adalah berjalan lurus
dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya
“tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula
seorang yang adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun
yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan
sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang
Kata bahwa seorang perawi
hadits adalah orang-orang yang adil artinya para perawi tersebut merupakan figur
yang konsisten dan istiqamah dalam agama, mempunyai akhlak mulia, tidak fasik
serta terhindar dari hal-hal yang akan merusak kredibilitasnya.
Pemahaman adil dalam ilmu hadits akan sangat berbeda dengan
pemahaman adil dalam kajian ilmu lainnya.’Adil tidak dapat di artikan seimbang,
atau berbuat adil, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dapat dilihat
pendapat muhadditsin dalam memberikan definisi adil.
Arti adil disini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.
Istiqamah dalam agama
b.
Akhlaqnya baik
c.
Tidak fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil
apalagi dosa besar) dan
2.
Dhobith
Dhobith adalah
kekuatan ingatan rowi atas sesuatu yang sudah diterimanya dan kepahamannya
terhadap apa yang dia dengar.
Kedhobithan
seseorang dapat diketahui dengan:
a.
Membandingkan riwayatnya dengan riwayat orang lain yang terkenal
kepercayaan, keadilan, ingatan dan hafalannya.
b.
Jika kenyataan menunjukkan bahwa penyesuaian riwayatnya dengan
riwayat orang-orang tersebut cukup kuat sedang perbedaannya sedikit, maka yakinlah
bahwa rowi itu seorang yang dhobith.
Dalam kriteria
kesahihan sanad, selain syarat sifat adil dan dhobith yang harus melekat pada
seorang rowi, ulama hadis sampai abad ke-3 H memberikan penjelasan tentang
penerimaan berita yang dapat diperpegangi. Di antara pernyataan-pernyataan
mereka yaitu:
a.
Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal
dari orang-orang yang tsiqah.
b.
Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan
ibadah salatnya, perilakunya dan keadaan dirinya.
c.
Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal
memiliki perngetahuan hadis.
d.
Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka
berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang
diriwayatkannya.
Imam
al-Syafi’iah yang pertama mengemukakan penjelasan yang lebih konkret dan
terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hadis ahad tidak
dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi dua syarat, pertama hadis tersebut
diriwayatkan oleh orang tsiqah (‘adil dan dhabith), kedua rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Kriteria yang dikemukakan
oleh al-Syafi’iy tersebut sangat menekankan pada sanad dan cara periwayatan
hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan hujjah tidak hanya berkaitan
dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan
dengan persambungan sanad. Dan hal ini dipegang oleh muhadditsin berikutnya,
sehingga dia dikenal sebagai bapak ilmu hadis. Namun, dibeberapa tempat
termasuk di Indonesia, al-Bukhary dan Muslim yang dikenal sebagai bapak ilmu
hadis, padahal mereka tidak mengemukakan kriteria definisi kesahihan hadis
secara jelas. Al-Bukhari dan Muslim hanya memberikan petunjuk atau penjelasan
umum tentang kriteria hadis yang kualitas sahih. Dan dari hasil penelitian oleh
ulama, ditemukan perbedaan yang prinsip antara keduanya tentang kriteria
kesahihan hadis disamping persamaannya.[8]
Perbedaan antara al-Bukhary dan Muslim tentang kriteria hadis sahih
terletak pada masalah pertemuan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat
dalam sanad, walaupun pertemuan itu terjadi hanya satu kali saja terjadi.
Sedangkan Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan; yang penting antara
mereka telah terbukti kesezamannya. Adapun persyaratan-persyaratan lainnya
dapat dinyatakan sama antara yang dikemukakan oleh al-Bukhary dan Muslim.
Persyaratan-persyaratan itu menurut hasil penelitian ulama sebagaimana
dikutip Syuhudi Ismail dalam kitab Had-y al-Sariy Muqaddimah Fath al-Bary yang
dikarang oleh Ahmad ‘Aly bin Hajar al-‘Asqalany, ialah:
1. Rangkaian periwayat dalam sanad itu harus bersambung mulai dari periwayat
pertama sampai periwayat terakhir;
2. Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang dikenal
tsiqah;
3. Hadis itu terhindar dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (Syadz);
4. Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Dengan
demikian, suatu sanad hadis yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut adalah
hadis yang kualitas sanad-nya tidak sahih.
baca kelanjutan makalah di: METODE KRITIK SANAD HADITS Bag 2
[1]
Saeful Hadi, Ulumul Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits secara Komprehensif,
(Yogyakarta: Sabda Media, 2008), hlm. 7
[3]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt), hlm. 1092.
[4] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Cet. IV;
Bandung: PT. Al-Maarif, 1985), hal. 95
[5] Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Bandung: Amal Bakti Press,
1997), hlm. 2
[7] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 120
[8]
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 23
0 Response to "METODE KRITIK SANAD HADITS Bag. 1"
Post a Comment