METODE KRITIK SANAD HADITS
Bag. 2
A.
Pendekatan
dalam Penilaian Sanad
Ada beberapa pendekatan dalam menilai sanad
hadits, diantaranya yaitu:
1.
Pendekatan
Psikohistoris.
Pendekatan psikohistoris ini dimanfaatkan,
mengingat hadis yang tak lain dari suatu yang berasal dari bahasa ujaran, dalam
memahaminya memerlukan kelengkapan. Komarudin Hidayat mengatakan, munculnya
tradisi penulisan dan percetakan tidak berarti menghapus tradisi lisan,
melainkan memperkaya. Bahkan penilaian sementara ahli bahwa ketika bahasa lisan
ditransfer kedalam bahasa tulis, maka banyak aspek fundamental dalam “peristiwa
bahasa” menghilang. Padahal, seperti dilanjutkan oleh Komar, komunikasi adalah suatu
peristiwa yang melibatkan aspek psikologis, tempat, suasana, gaya dan ketika
peristiwa komunikasi dituangkan dalam tulisan, maka menjadi terkunci dan
membeku.
2.
Pendekatan
Historis Fenomenologis.
Yaitu suatu teks hadis tidak akan lepas dari
segi peristiwa kesejarahan ketika ia direkam disamping juga kondisi dimana
sahabat mengartikulasikan teks itu dalam bentuk tuturan yang akhirnya menjadi
bahan tertulis seperti yang ada sekarang. Karena itu, pendekatan dimaksud
sangat diperlukan guna dapatnya memahami hadis secara utuh dekat dengan konteks
ketika hadis itu diperoleh dari penyampainya, yakni sahabat yang meriwayatkan
hadis dalam kondisi seperti yang dikehendaki oleh penyampainya pada masa hadis
tersebut disampaikan.
3.
Pendekatan
Sosiohistoris.
Yaitu keadaan sosial kemasyarakatan dan tempat serta waktu
terjadinya, memungkinkan utuhnya gambaran pemaknaan hadis yang disampaikan,
sekiranya dipadukan secara harmoni dalam suatu pembahasan. Oleh karena itu,
pendekatan ini dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh hal-hal yang bermanfaat
secara optimal dari hadis yang disampaikan.
B.
Ilmu yang
Terkait dengan Sanad
Dalam studi sanad hadits, muncul beberapa ilmu
yang terkait dengannya. Ilmu-ilmu tersebut adalah: Ilmu Rijalil Hadits, Ilmul
Jarhi wa Ta’dil, Ilmu Ilalil Hadits.
1.
Ilmu Rijalil
Hadis
Yaitu Ilmu yang membahas tentang para perawi
hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui
keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang
menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan
tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para
perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari
dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui
keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya
menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang
menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan
perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat- riwayat para
perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan
ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil
dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa
tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu’talif dan
Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama- nama perawi yang sama namanya, lain
orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai
Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan
dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan
serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai
Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan
nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja.
Dalam semua itu para ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab yang
dihajati.
Kitab yang diriwayatkan keadaan para perawi
dari golongan sahabat Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para
sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh
Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang
penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin
ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya
dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah
saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab
Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah,
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama
AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al- Istiab dengan Usdul Gabah dan
ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab- kitab tersebut. Kitab ini
telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhori dan muslim telah menulis juga kitab
yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang
dinamai Wuzdan.
Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab
ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama
sahabat yang hidup 120 tahun.
2.
Ilmul Jarhi
Wat Ta’dil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya
merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini
dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang
berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah: “Ilmu
yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan
tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”
Mencacat para perawi (yakni menerangkan
keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan
riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam
Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para
perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan
perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan
Anas ibnu Malik (93 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada
kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi,
menakdil dan menajrihkan mereka. Di antara ulama besar yang memberikan
perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al- Qattan (189H), Abdur
Rachman ibnu Mahdi (198 H)”, sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud
At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para
ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan
para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka jarah dan takdil ialah
Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230
H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu
Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H),
Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H),
Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat
ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar
Asqalani (852 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan
taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai
saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang
menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada
yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada
yang melengkapi segala kitab.
Di antara kitab yang melengkapi semua itu
ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini
sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi’in dan
orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di
antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan
ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah
At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan
orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly
(261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam
bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal
hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu
Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan
orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari
dan kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H)
3.
IImu Illail
Hadis
Ilmu Illalil Hadis ialah ilmu yang menerangkan
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang
mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu. Semuanya
ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang
berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat
terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23
H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial
Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H),
Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
C.
Penelitian
Sanad
1.
I’tibar dan Pembuatan Skema
Al-I’tibar menurut bahasa yaitu memperhatikan
perkara-perkara tertentu untuk mengetahui jenis lain yang ada di dalamnya.
Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam
meriwayatkan hadits itu atau tidak.
Kegiatan i’tibar al-sanad dalam istilah ilmu hadits adalah menyertakan
sanad-sanad lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja.
Pembuatan skema sanad. Membuat urutan sanad mulai dari mukharrijnya sampai
dengan Rasulullah saw. dalam satu bagan. Misalnya Hadis yang diingin diteliti
terdapat pada 3 kitab Hadis, misalnya dalam Sunan Abu Dawud, Sahih Muslim dan
Musnad Ahmad, maka yang harus dilakukan oleh peneliti adalah membuat skema
sanad dalam satu bagan yang menunjukkan urutan sanad, mulai dari Abu Daud,
Muslim dan Ahmad ibn Hanbal sampai ke Rasulullah saw.
2.
Meneliti Kualitas Periwayat
Ulama hadis telah sepakat bahwa dua hal yang harus diteliti pada diri
periwayat hadis adalah ke‘adilan dan kedabithannya. Ke‘adilan adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan kedabithannya adalah
hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal itu
(‘adil dan dabit) dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat hadis tersebut
dinyatakan periwayat yang tsiqah.
3.
Menyimpulkan Hasil
Langkah terakhir adalah kegiatan penyimpulan,
yaitu apakah Hadis yang diteliti melalui kaidah sanad termasuk Sahih, Hasan
atau Daif dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas.[1]
Contoh:
Abū Dāud, kitab al-kutub al-sittah, Maktabah al-Rusyd,
Beirut, kitab al-Sunnah bab syarhu al-sunnah, hlm. 1701, no. hadis. 4596
حَدَّثَنَا
وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ ، عَنْ خَالِدٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah, dari Khālid, dari
Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah
saw telah bersabda: Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71)
golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah
menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku
akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.
Kutipan Riwayat hadis di atas di awali dengan حَدَّثَنَا. Yang menyatakan kata itu adalah
Abu Daud, yakni Sulaiman bin al-Asy’aṡ bin al-Syaddād bin ‘Amr (wafat 275 H).
Karena Abū Dāud sebagai Mukharrijul-Hadits, maka dia dalam hal ini berkedudukan
sebagai periwayat terakhir untuk hadis yang dikutip di atas.
Dalam mengemukakan riwayat, Abu Daud menyandarkan riwayatnya kepada
periwayat sebelumnya, yakni Wahab bin Baqiyah. Nama periwayat yang disandari
oleh Abū Dāud tersebut dalam ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama. Dengan
demikian, maka sanad terakhir untuk riwayat hadis di atas adalah Abū Hurairah,
yakni periwayat pertama karena dia sebagai sahabat Nabi saw yang berstatus
sebagai pihak pertama yang menyampaikan hadis tersebut.
Berikut akan dikemukakan urutan periwayat dan urutan sanad untuk hadis di
atas:
NAMA PERIWAYAT
|
URUTAN
SEBAGAI PERIWAYAT
|
URUTAN
SEBAGAI SANAD
|
Abū Hurairah
|
Periwayat I
|
Sanad V
|
Abū Salamah
|
Periwayat II
|
Sanad IV
|
Muhammad bin ‘Amr
|
Periwayat III
|
Sanad III
|
Khālid bin ‘Abdullah
|
Periwayat IV
|
Sanad II
|
Wahab bin Baqiyah
|
Periwayat V
|
Sanad I
|
Abū Dāud
|
Periwayat VI
|
(mukharijul-hadis)
|
Dari daftar nama tersebut tampak jelas bahwa periwayat pertama sampai
dengan periwayat keenam atau sanad pertama sampai sanad kelima, masing-masing
satu orang. Adapun lambing-lambang metode periwayatan yang dapat dicata dari
hadis tersebut adalah حَدَّثَنَا (haddaṡanā), عَنْ (‘an), dan قَالَ (qāla). Itu berarti terdapat
perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh para periwayat dalam sanad
hadis tersebut.
Ṣigat al-Isnad itu ada delapan tingkatan (martabah). Tingkatan pertama
lebih tinggi daripada tingkatan kedua dan tingkatan kedua lebih tinggi dari
tingkatan ketiga dan seterusnya. Jika melihat metode periwayatan yang digunakan
pada hadis di atas, maka lafal حَدَّثَنَا termasuk dalam martabat pertama, sedangkan lafal عَن dan قَالَ termasuk martabat kedelapan.
Pada pembahasan ini akan dijelaskan mengenai biografi para perawi hadis Abu
Hurairah yang diriwayatkatkan oleh Abā Dāud di antaranya adalah:
a.
Abū Dāud
Nama lengkapnya adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin al-Syaddād bin ‘Amr,
demikianlah yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Abī Hātim. Beliau lahir pada
tahun 202 H dan meninggal pada tahun 275 H. Gurunya dalam periwayatan hadis
diantaranya adalah Ibrāhīm bin
al-Ramādīy, Ibrāhīm bin Hamzah al-Ramaliy, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Wahab
bin Baqiyah al-Wāsiṭy dan lain-lain. Muridnya dalam periwayata hadis
diantaranya adalah al-Tirmīży, Ibrāhīm bin Hamdan bin Ibrāhīm bin Yūnus
al-‘Aqūliy, al-Nasā’i, Abdullah bin Sulaiman bin al-Asy’aṡ (anaknya), Abū ‘Ali
bin Muhammad bin Abdullah bin Umar, dan AbūAmr.
Pernyataan Kritikus hadis mengenai Abū Dāud adalah:
1) Al-Hākim Abū ‘Abdillah: Abū Dāud adalah Ahli hadis pada masanya.
2) Abu Hātim Bin Hibbān: Abū Dāud adalah salah seorang pemimpin dunia yang
faqih, ‘alim, huffaẓ, dan wara.
3) Musa bin Hārum al-Hāfiẓ: Abū Dāud diciptakan di dunia ini memiliki hadis
dan di akhirat memiliki syurga.
4) Ahmad bin Muhammad bin Yāsin al-Hawārīy: Abū Dāud adalah seorang huffaẓ
dalam bidang hadis. Dia seorang yang taat beribadah, pemaaf, dan wara’.
Penilaian
kritikus di atas menunjukkan bahwa Abū Dāud adalah seorang periwayat hadis yang
memiliki kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang tinggi dan tidak ada
satupun yang mencela ataupun melemahkannya. Pernyataannya menerima hadis dari
Wahab bin Baqiyah dapat dipercaya.
b.
Wahab bin Baqiyah
Nama lengkapnya adalah Wahab bin
Baqiyah bin Uṡman bin Sābur bin ‘Ubaid bin Ᾱdam bin Ziyād al-Wāsiṭīy, Abū
Muhammad al-Ma’fuf Bawahbanīy. Beliau lahir pada tahun 155 H dan meninggal pada
tahun 236 H, demikianlah menurut Muhammad bin Abdullah al-Haḍramī, Abū al-Qāsim
al-Bagāwi, Abū Hātim bin Hibbān, dan Ahmad bin Kamāl al-Qādī. Gurunya dalam
periwayatan hadis diantaranya adalah Aqlab bin Tamīm, Biysr bin al-Mufaḍḍal,
Ja’far bin Sulaiman al-Ḍubaī, Hātim bin Ahnaf al-Wāsiṭī, Khālid bin Abdullah
al-Wāsiṭī, dan Sulaiman bin Akhdar. Muridnya dalam periwayatan hadis
diantaranya adalah Muslim, Abū Dāud, Ibrāhīm bin Ayub al-Wāsiṭī al-‘Adl, Abū
al-Wālid Ahmad bin Bisyr al-Ṭayalīsī, Ahmad bin al-Hasan al-Wāsiṭī, dan
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Kakeknya adalah Ziyād Raḍī’ Qais bin Sa’īd bin
‘Ubādah.
Pernyatan Kritikus hadis mengenai Wahab bin Baqiyah:
1) Hasyim bin Marṡad al-Ṭabarānī, dari Yahya bin Mā’in berkata: Beliau
orangnya ṡiqah (terpercaya), akan tetapi ia masih kecil ketika mendengarnya.
2) Ibnu Hibbān di dalam kitabnya ia mengatakan: Wahab bin Baqiyah orangnya ṡiqah.
3) Hāfiẓ Abū Bakar al-Khatib: Dia orangnya ṡiqah.
Penilaian
kritikus di atas menunjukkan bahwa Wahab bin Baqīyah adalah seorang periwayat
hadis yang memiliki kualitas pribadi baik dan terpercaya dan tidak ada satupun
yang mencelahnya. Pernyataannya menerima hadis dari Khālid bin Abdullah dapat
dipercaya.
c.
Khālid bin Abdullah
Nama lengkapnya adalah Khālid bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Yazīd al-Ṭahhān.
Nama panggilannya Abūal-Haiṡam dan Abū Muhammad. Dia dilahirkan pada tahun 110
H dan wafat pada tahun 176 H, demikianlah menurut ‘Ᾱli bin ‘Abdullah bin
Mubasysyir al-Wāsiṭī. Gurunya dalam periwayatan hadis diantaranya adalah Ismail
bin Ahmad bin Abī Sulaiman, Sulaiman bin Abī Khālid, Aflah bin Humaid al-
Madanī, dan Abī Bisyr. Muridnya dalam bidang periwayatan hadis diantaranya
adalah Ibrahim bin Mūsā al-Razī, Ishaq bin Syāhīn al-Wāsiṭī, Abū Umar Hafd bin
‘Umar al-Hauḍī, dan Khalf bin Hisyām al-Bazzār.
Pernyataan Kritikus hadis mengenai Khāid bin Abdullah:
1) Abdurrahman bin Hātim berkata: ‘Abdurrrahman bin Ahmad Ibnu Hanbal mengabarkan
di dalam kitabnya kepadaku, dia berkata: Bapakku telah berkata: Khālid al-Ṭahhān
itu ṡiqah dan shaleh dalam agamanya.
2) Abū al-Qāsim al-Ṭabarānī berkata: Aku telah mendengar ‘Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal, dia berkata: Khālid bin ‘Abdullah al-Wāsiṭī termasuk orang-orang
yang mulia.
3) Muhammad bin Sa’ad, Abu Zur’ah Abu Hātim, al-Tirmiżī, dan al-Nasā’ī
mengatakan bahwa dia adalah seorang yang ṡiqah, Abu Hātim menambahkan bahwa
hadisnya itu sahih (baik, sah). Al-Tirmiżī mengatakan dia adalah seorang Hāfiẓ.
4) Abū Dāud berkata: Ishaq al-azrak berkata: Aku tidak menemukan yang lebih
utama dari pada Khālid bin al-Ṭahhān.
Dari penilaian
kritikus di atas menunjukkan bahwa Khālid bin ‘Abdullah adalah seorang
periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi baik dan terpercaya.
d.
Muhammad bin ‘Amr
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Amr bin al-Qāmah bin Waqqaṣ al-Laiṡī,
terkadang dia dipanggil Abū ‘Abdillah dan Abū al-Hasan, al-Madanī. Dia wafat
pada tahun 144 H demikian menurut Wāqidī dan 145 menurut ‘Amr bin ‘Ali. Gurunya
dalam periwayatan hadis diantaraya adalah Ibrāhīm bin ‘Abdullah bin Hunain,
Ibrāhīm bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Khālid bin ‘Abdullah bin Harmalah, Dīnār bin
Abī ‘Abdillah al-Qarrażī, al-‘Arabi bin Lūṭ, Sālim bin ‘Abdullah bin ‘Umar,
Sa’ad bin Said al-Anṣarī, dan Sa’ad bin
al-Munżir bin Abī Humaid al-Saidī. Muridnya dalam periwayatan hadis diantaranya
adalah Asbaṭ bin Muhammad al-Qursy, Ismail bin Ja’far, al-Hasan bin Ṣalih bin
Haīy, Abū Usamah Hammad bin Usāmah, dan Khālid bin ‘Abdullah al-Wāsiṭ
Komentar Kritikus hadis mengenai Muhammad bin ‘Amr:
1) Ishaq bin Hākim berkata: Yahya al-Qaṭṭan pernah berkata: Muhammad bin ‘Amr
merupakan laki-laki yang Ṣaleh namun bukan orang yang paling hafal hadis.
2) Ishaq bin Manṣur berkata: Dari Yahya bin Mu’in, sesungguhnya dia pernah
ditanya tentang Muhammad bin ‘Amr dan Muhammad bin Ishaq, manakah dari keduanya
yang didahulukan? Dia berkata: Muhammad bin ‘Umar.
3) AbūBakar bin Abi Khaiṡamah berkata, Yahya bin Mu’in pernah ditanya mengenai
Muhammad bin ‘Amr, lalu ia berkata: Orang-orang selalu berhati-hati terhadap
hadisnya kemudian ditanyakan kepadanya: Apakah alasannya? Dia menjawab: Dahulu
dia pernah sekali menceritakan (hadis) dari Abū Salamah dengan dengan ucapan
dari pikirannya, kemudian pada kesempatan lain dia menceritakannya dari Abû
Salamah, dari Abū Hurairah.
4) Ibrāhīm bin Ya’qub al-Saidī al-Juwazjanī berkata: Dia tidak kuat hadisnya
dan hadisnya dilemahkan.
5) Abū Hātim: Hadisnya baik, ditulis, dan dia juga seorang guru.
6) Al-Nasā’i: Tidak apa-apa (hadisnya) dan di tempat lain ia berkata: Dia itu ṡiqah.
7) Abū Ahmad bin ‘Adī: Hadis miliknya itu bagus, sekumpulan orang terpercaya ṡiqah
telah meriwayatkan hadis darinya.
8) Ibnu Hibbān menyebutkankan namanya dalam kitab al-Ṡiqāh, dan dia berkata:
Dia itu sering melakukan keliruan (yukhti’u)
Penilaian kritikus di atas mengenai Muhammad bin ‘Amr berbeda-beda, ada
yang menganggapnya ṡiqah dan ada juga melemahkannya. Dari pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Amr adalah perawi yang tidak terpercaya,
meragukan, dan tidak bisa diterima hadisnya begitu saja. Di dalam biografinya
tidak ditemukan ketersambungan sanad dari Abū Salamah dan Khālid bin ‘Abdullah
tetapi antara Abū Salamah dengan Khālid ada ketersambungan karena ada hubungan
antara guru dan murid
e.
Abū Salamah
Nama lengkapnya adalah Abū Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf al-Qursy
al-zuhrīy al-Madanīy. Dia wafat pada tahun 94 H, demikianlah menurut al-Haiṡam
bin ‘Adīy, sedangkan menurut Muhammad bin Sa’ad dia meninggal pada tahun 92 H
pada masa khalifah al-Walīd dan umurnya pada saat itu adalah 72 tahun. Gurunya
dalam meriwayatkan hadis diantaranya adalah Usāmah bin Zaid, Anas bin Mālik,
Bisyr bin Zaid, Ṡaubān pembantu Rasulullah saw, Jabir bin ‘Abdullah al-Anṣarīy,
Ja’far bin ‘Amr bin Umayyah al-Dārimīy, dan Mu’awiyah bin al-Ahkam al-Sulamīy.
Muridnya dalam periwayatan hadis diantaranya adalah Ismail bin Umayyah, a-Aswad
bin al-‘Ala bin Jāriyah al-Ṡaqafi, Bukair bin ‘Abdullah bin al-Asyaj, Ṡumāmah
bin Kilab, Ja’far bin Rabī’ah, dan Muhammad bin ‘Amr bin al-Qāmah.
Pernyataan Kritkus hadis mengenai Abū Salamah:
1) Muhammad bin Sa’ud berkata: Dia itu ṡiqah dan banyak meriwatkan hadis.
2) Abū Zur’ah: Dia adalah imam yang ṡiqah.
3) Anas bin Mālik: Di kalangan kami terdapat lelaki dari ahli ilmu, nama salah
seorang diantara mereka adalah memakai kunyahnya, yaitu Abū Salamah bin
‘Abdurrahman.
Setelah
mengetahui penilain para kritikus di atas, dapatlah kita pahami bahwa Abū
Usāmah salah seorang sahabat Nabi yang terpercaya dan banyak meriwayatkan dan
keilmuannya dalam bidang hadis tidak perlu diragukan lagi. Pernyataannya
menerima hadis dari Abu Hurairah dapat dipercaya.
f.
Abū Hurairah
Nama lengkapnya adalah ‘Abdurrahman bin Ṣakhr bin ‘Abdurrahman bin Wābiṣah
bin Ma’bad al-Asadīy al-Raqīy, Gurunya dalam periwayatan hadis di antaranya
adalah: Bisyri bin Lāhiq al-Raqy, Ja’far bin Barqān, Syaibān bin ‘Abdurrahman
al-Nahawīy, Ṭalhah bin Zaid al-Raqīy,dan
Qays bin al-Rabīy’. Muridnya dalam periwayatan hadis di antaranya
adalah: anaknya sendiri yaitu ‘Abdussalam bin ‘Abdurrahman al-Wābiṣy, Abū Dāud
meriwayatkan satu hadis darinya. Kunyahnya adalah Abu Hurairah al-Dausy.
Setelah melihat biografi perawi di atas maka dapat kita ketahui bahwa ada
sanad yang bermasalah yakni Muhammad bin ‘Amr yang dilemahkan oleh banyak
ulama, tapi lemah yang dimaksud di sini adalah bukan karena maksiat atau hal
yang buruk lainnya akan tetapi karena kelemahan hafalannya dan seringnya
melakukan kekeliruan. Dari semua hadis riwayat Abū Hurairah pasti akan melalui
jalurnya Muhammad bin ‘Amr yang lemah, meskipun semua sanadnya yang lain
(selain Muhammad bin ‘Amr) ṡiqah.
BAB III
KESIMPULAN
Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam
melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu
perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk
menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dla’if).
Urgensi kritik sanad hadits adalah untuk mengetahui kualitas
hadits yang diteliti. Hal ini dikarenakan: a) Hadis Nabi saw. sebagai
sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran. b) Hadis Nabi
saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup. c) Telah
terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis
Nabi saw. d) Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah
memakan waktu yang sangat panjang. e) Kitab-kitab hadis yang telah banyak
beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.
f) Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada
secara lafal.
Kriteria kesahihan sanad, yaitu: a) Rangkaian periwayat dalam
sanad itu harus bersambung mulai dari periwayat pertama sampai periwayat
terakhir; b) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah
orang-orang yang dikenal tsiqah (adil dan dhobith), c) Hadis itu terhindar dari
cacat (‘illat) dan kejanggalan (Syadz); d) Para periwayat yang terdekat
dalam sanad harus sezaman.
Diantara pendekatan dalam menilai sanad yaitu: a) Pendekatan
Psikohistoris, b) Pendekatan Historisfenomenologis, c) Pendekatan
Sosiohistoris
Beberapa ilmu yang terkait dengan kajian kritik sanad yaitu: Ilmu
Rijaalil Hadits, Ilmul Jarhi Wat Ta’dil, dan Ilmu Illalil Hadits.
Dalam proses penelitian sanad, ada beberapa tahapan yaitu: a) I’tibar
dan Pembuatan Skema, b) Meneliti kualitas Perowi, c) Menyimpulkan
Hasil.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak,
tt
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi
I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Hadi, Saeful, Ulumul Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits secara
Komprehensif, Yogyakarta: Sabda Media, 2008
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
--------, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, Jakarta: Insan
Cemerlang, 2000
--------, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa Bandung,
1987
Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Cet. IV; Bandung:
PT. Al-Maarif, 1985
Soetari A., Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press,
1997
0 Response to "METODE KRITIK SANAD HADITS Bag. 2"
Post a Comment