ASURANSI SYARIAH
Prinsip
dan Dasar Hukum Asuransi Syariah
A. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Prinsip Dasar yang ada dalam
asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku padaa
konsep ekonomika Islam secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini
disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan tururnan (minor) dari
konsep ekonomika Islam . Biasanya literatur ekonomika Islam selalu melakukan penurunan nila pada tataran
konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya, seperti lembaga
perbankan dan asuransi.
Begitu
juga dengan suransi, harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat
dan kokoh. Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syariah ada sembilan macam
yakni:
1. Tauhid
Dalam
berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan
suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun pada nilai-nilai ketuhanan.
Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan
dalam hati bahawa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan
selalu bersama kita.
2. Keadilan
Prisnip
kedua adalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara
pihak-pihak yang terikat dalam akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami
sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan
asuransi.
3. Tolong – Menolong (Ta’awun)
Prinsip
dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan asuransi adalah harus didasari
dengan semangat tolong-menolong antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk
asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan
meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau
kerugian.
4. Kerjasama (Cooperation)
Prinsip
kerjasama merupaka prinsip universal
yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam . Manusia sebagai mahluk yang
mendapat mandat dari sang Khalik-nya untuk mewujudkan perdamainan dan
kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan antara
satu sama lainnya yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
5. Amanah (Trustworthy)
Prinsip
amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai
akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan
keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi
kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan.
Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamlah dan melalui auditor public.
6. Kerelaan (Al-Ridha)
Dalam
berbisnis asurasnsi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi
agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang
disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial
(tabarru). Dana sosial (tabarru) memang betuk-betul digunakan untuk tujuan
membantu nasabah asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.
7. Larangan Riba
Bahwa
dalam berbisnis asuransi kita dilarang melakukan praktek riba. Yakni bahwa kita
dilarang melakukan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
batil.
8. Larangan Maisir
Syafi’i
Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak
yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas
apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya
sebelum masa reversig period, biasanya tahun yang ketiga yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang
dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai
hasil ketetapan.
9. Larangan Gharar (Ketidakpastian)
Secara
konevensioanal kata Syafi’i Antonio kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa
dapat dikategorikan dalam aqd tadabuli atau akad pertukaran yaitu pertukaran
pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam akad
pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus
diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang
akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan
dibayarkan (jumlah uang premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang
akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.
B. Dasar Hukum Asuransi Syariah
Dari
segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan
legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian.
Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :
”Asuransi adalah suatu perjanjian
dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Pengertian
diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah
karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta
tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan
administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat
dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut
dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah
memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi
kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri
Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No.
424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No.
4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem
asuransi berbasis Syariah.