Gender dalam Pandangan Islam, studi hadits gender Bag. 1 (makalah lengkap)

GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM, STUDI HADITS GENDER
Bag. 1

PENDAHULUAN

   bagian 1 dari makalah gender dalam pandangan islam, studi hadits gender ini, membahas tentang macam hadits gender, yakni tentang penciptaan manusia, kepemimpinan wanita, hadits tentang laknat malaikat, hadits tentang puasa sunnah, Hadits tentang Perempuan Kurang Akal dan Agamanya, hadits tentang perempuan lebih utama shalat di rumah, hadits tentang perempuan sumber fitnah, hadits tentang perempuan perangkap setan, hadits tentang wanita adalah aurat.
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai wanita –utamanya dalam Islam- berarti berbicara mengenai sesuatu yang selalu menarik. Wanita dalam Islam selalu dianggap bagian dari “kejelekan” ajaran Islam. Mereka yang mengaku dirinya manusia modern –setidak-tidaknya- menganggap ada empat hal sisi negatif ajaran Islam tentang wanita. Keempat sisi yang dimaksud ialah; pertama, perkawinan yang harus diatur oleh orang tua. Kedua, poligami. Ketiga, hak perceraian yang ada di tangan laki-laki. Dan keempat, ketatnya aturan tentang pakaian wanita.
Sekalipun sebenarnya Islam datang membawa misi kemuliaan kepada seluruh manusia termasuk wanita. Bahkan dalam al Qur’an dan sunnah ada beberapa dalil yang meningkatkan harkat dan derajat wanita. Penyebutan kata wanita dengan julukan yang beraneka ragam sesuai dengan status mereka –misalnya bintun, ukhtun dan ummi- menunjukkan luasnya kesempatan kepada wanita untuk menikmati hak sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, agama dan pendidikan seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Hanya saja seiring dengan penghargaan tersebut, tampaknya ada beberapa ayat dan hadits yang dianggap memiliki kekurangan –bila kita berani mengatakan “memiliki kekurangan” sebab dalil-dalil yang ada justru menghargai dan menghormati wanita- sehingga wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki secara mutlak. Termasuk di antaranya hadits mengenai kecaman Nabi terhadap negeri yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Atau dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak boleh mengimami laki-laki.
Berdasarkan dengan kenyataan di atas sehingga penulis berusaha menyusun sebuah makalah yang terkait dengan pandangan al sunnah –bukan berarti al Qur’an terlupakan- mengenai wanita utamanya dalam hal persamaan gender tersebut. Apakah betul sunnah membedakan status mereka atau sebaliknya sunnah menghendaki kedua jenis manusia tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan kodrat yang telah diberikan kepada mereka.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Studi Hadis Gender” maka permasalahan pokok yang dijadikan sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Macam-macam Hadits Gender
2.      Bagaimana kedudukan wanita menurut hadits Rasulullah SAW?
3.      Bagaimana status wanita bila dikaitkan dengan persamaan gender menurut hadits Rasulullah SAW?
4.      Apa hikmah tentang gender


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam-Macam Hadis Gender
1.      Penciptaan Manusia
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
Artinya :
Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: “berwasiatlah tentang perempuan, karena sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan tulang yang paling bengkok adalah yang tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika dibiarkan maka akan tetap bengkok, maka berwasiatlah tentang perempuan”. (Sahih bukhari, Kitab Ahadis al-Anbiya, bab Khalq Adam wa dzurriyatuh, no. 3084)
Penjelasan :
Hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama menyangkut matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada dua pendapat : yang pertama mengartikannya secara tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS.an-Nisa’ (4) ayat 1 tentang penciptaan manusia, sehingga menurut mereka Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadis tersebut secara metaforis, bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam menghadapi perempuan.
Sementara kelompok yang menolak hadis itu berargumen bahwa hadis tersebut harus ditolak karena isinya tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Quran. Hadis-hadis tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan. Hadis-hadis itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk berlaku baik kepada isteri-isteri mereka atau kepada kaum perempuan secara umum. Pesan Nabi tersebut salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sejajar[1].
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits yang intinya berbunyi:  
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ " اِنﱠﱠ اْلمَرْءَةُ كَالضلع إِذَا ذَهَبْتُ تقيمهَا كسرتهَا وَان تركتها استمتعت بِهَا وَفِيْهَا عوج" رواه البخارى ومسلم.
Artinya: Dari Abi Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW.. bersabda: “Sesungguhnya perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa Al-Qur’an sebenarnya hanya mengungkapkan persamaan-persamaan antara laki-laki dan perempuan. Padahal sesungguhnya semangat ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.. tidak sejalan dengan cerita-cerita yang memojokkan perempuan. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu[2].
2.     Kepemimpinan Wanita
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Artinya :
Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan” (Sahih Bukhari Kitab al-Maghazim, bab kitab al-Nabi ila kisra wa Qaishar no 4073)

Penjelasan :
Dilihat dari sisi sanad, hadis tentang larangan kepemimpinan politik perempuan dapat dinilai shahih. Tapi meskipun hadis larangan kepemimpinan politik perempuan dapat dinilai shahih, ternyata masih berpeluang untuk didiskusikan. Di kalangan ulama, terdapat para ulama yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Jika ditelaah lebih lanjut, maka hadis tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’ atau pengungkapan fakta realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki[3].
Sebagian ulama menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal, hal tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis secara utuh.
Dari segi seting sosial dapat dikuak bahwa menurut tradisi yang
berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara (raja) dipegang
oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut
menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki
lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di
mata masyarakat berada di bawah lelaki. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Nabi SAW yang memiliki kearifan tinggi,
melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah
(knegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan
sejahtera/sukses.
Jadi, memaksakan hadis yang berbentuk ikhbar (informatif/berita) ke
dalam masalah syari
ah terutama masalah kepemimpinan politik perempuan
adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak
proporsional. Selain itu, dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Sabaâ[4].



3.      Hadits Tentang Laknat Malaikat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَىفِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح[5]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi, SAW. berkata jika seorang pria memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan dia menolak untuk datang maka malaikat mengutuk dia sampai pagi. (HR. Bukhari)
Jika hadits ini dipahami secara harfiah, maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an “wa ‘asyiruhunna bi al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya suami dalam keadaan marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi kalau istri sedang lelah, sakit dsb. yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan tugas’ maka suami pun tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka telah menyalahi ketentuan “mu’asyarah bi-al ma’ruf”[6].

4.      Hadits Tentang Puasa Sunnah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه[7]
Telah berkata Muhammad bin Muqotil mengabarkan kepada kita Abdullah mengatakan kepada kami Muammar dari Hammam bin Manab dari Abu Hurairah dari Nabi SAW..; Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya.”(HR. Bukhori)
Jika dipahami secara harfiah artinya hadits ini akan menimbulkan kesalahpahaman dan kesan diskriminatif. Padahal inti dari hadits tersebut adalah dalam berumah tangga hendaknya masing-masing pasangan mengetahui apa yang sedang dilakukan pasangannya.
5.      Hadits tentang Perempuan Kurang Akal dan Agamanya
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي لب منكن قالت امرأة منهن وما نقصان العقل ؟ قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا من نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان فهذا من نقصان الدين (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Tidak ku temukan orang-orang yang kurang akal dan agamanya melebihi orang yang punya akal dari pada kalian. Seorang perempuan dari mereka berkata: “Apa yang dimaksud kurang akal itu? Nabi SAW. menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang maksudnya kurang akal. Wanita melalui malam tanpa salat dan tidak puasa di bulan Ramadhan, inilah yang dimaksud kurang agama.” (H.R. Ibn Majah)
Hadits diatas secara kontekstual mengisyaratkan bahwa perempuan ditakdirkan untuk haidh, sehingga tidak bisa setiap hari seumur hidupnya menunaikan shalat dan puasa.

6.      Hadits tentang Perempuan Lebih Utama Shalat di Rumah
وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجدي (رواه أبوداود و أحمد)
Artinya: “Salatmu di ruang tidurmu lebih baik dari pada salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang rumah yang lain lebih baik dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi rumahmu lebih baik dari salatmu di masjidku.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
Hal ini untuk menjaga kaum perempuan, karena pada saat itu lebih aman melaksanakan shalat di rumah.

7.      Hadits tentang Perempuan Sumber Fitnah
ما تركت بعدي في الناس فتنة أضر على الرجال من النساء  (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: ”Aku tidak meninggalkan fitnah (cobaan) yang lebih membahayakan bagi laki-laki (yaitu) dari perempuan.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Bila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah SWT., keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Sudah pasti mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki -laki tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.
Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya.[8] Hal ini bukan berarti membatasi gerak perempuan di ranah publik.

8.      Hadits tentang Perempuan Perangkap Setan
النساء حبائل الشيطان لولا هذه الشهوة لما كان للنساء سلطانة على الرجال (رواه أبونعيم)
Artinya: ”Wanita adalah perangkap setan, andaikata tidak ada syahwat (bagi laki-laki) maka perempuan tidak dapat menguasai laki-laki.” (H.R. Abu Nu’aim)
Wanita yang dimaksud dalam hadits ini adalah wanita yang suka keluar rumah sendirian dengan mengumbar auratnya dan menggunakan wangi-wangian, sehingga mengundang syahwat bagi laki-laki.

9.      Hadits tentang Wanita adalah Aurat
المرأة عورة فإذا خرجت من بيتها استشرفها الشيطان (رواه الترمذي وابن حبان)
Artinya: “Perempuan itu adalah aurat, jika ia keluar dari rumah mka ia diawasi  oleh Setan”. (H.R. Al-Tirmidzi dan Ibn Hibban)
Perempuan pada zaman jahiliyah masih menjadi incaran para lelaki, sehingga setiap perempuan keluar hendaklah menutup rapat-rapat atau ditemani muhrimnya, karena yang demikian itu lebih baik.


baca kelanjutan makalah dan lampiran footnote di: STUDI HADITS GENDER Bag. 2

Related Posts:

0 Response to "Gender dalam Pandangan Islam, studi hadits gender Bag. 1 (makalah lengkap)"