MENGAPA KITA HARUS BERMAZHAB

MENGAPA KITA HARUS BERMAZHAB

ada dua alasan mengapa dalam menjalankan agama, kita harus bermazhab. dan kita harus memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan mazhab, pengertian mazhab dan bermazhab.
lihat penjelasannya sebagai berikut:

A. Mazhab Adalah Penjelasan Paling Sah Atas Isi Al-Quran dan As-Sunnah

Yang kita sepakati dari istilah mazhab adalah penjelasan yang asli, otentik, baku dan ilmiyah tentang kandungan hukum Allah yang tertuang di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ternyata Al-Quran dan As-Sunnah yang kita warisi dari Rasulullah SAW itu masih harus dijelaskan dulu sebelum kita laksanakan.

Kenapa harus ada penjelasan? Bukankah Al-Quran dan hadits itu sendiri sudah merupakan penjelasan buat orang yang bertaqwa?

Pertanyaan agak-agak lugu tapi polos ini mungkin sering kita dengar dari mulut saudara-saudara kita yang sedang belajar ilmu agama. Tidak apa-apa, namanya saja masih belajar. Wajarlah kalau pertanyaannya agak polos.

Jawabannya adalah bahwa orang-orang terbaik dari generasi terbaik saja masih bermazhab dan tidak sok tahu menafsir-nafsirkan ayat-ayat Allah SWT dengan akal pikiran dan nalar mereka sendiri. Mereka masih tetap bertanya tentang Al-Quran, As-Sunnah dan hukum-hukum syariah kepada Rasulullah SAW.

1. Shahabat Masih Harus Minta Penjelasan Al-Quran dari Rasulullah SAW

Pertanyaannya, mereke orang sekelas shahabat itu masih harus bertanya tentang Al-Quran, padahal mereka mengalami turunnya Al-Quran. Dan bahkan Al-Quran turun dalam bahasa mereka, yaitu bahasa Arab?

a. Kendala Bahasa dan Istilah

Memang benar ayat-ayat Al-Quran turun dalam bahasa Arab yang khas di masa Nabi SAW. Namun yang harus diketahui dengan kualitas level bahasa yang teramat tinggi sastranya. Sehingga terkadang tidak semua shahabat mampu memahami kata per kata, kalimat per kalimat serta redaksi-redaksi di ayat Al-Quran itu sendiri.

Seringkali mereka harus bertanya lagi kepada Rasulullah SAW tentang apa maksud suatu ayat. Jadi Al-Quran itu tidak otomatis jelas dan mudah dipahami, bahkan oleh merekea yang selevel para shahabat sekalipun. Tetap saja mereka masih harus mendapatkan penjelasan dulu dari Rasulullah SAW.

Bayangkan kalau sekelas shahabat saja masih harus bertanya tentang isi Al-Quran dan kandungan hukumnya, bagaimana mungkin orang di masa kini 15 abad setelah turunnya Al-Quran, tidak paham bahasa Arab, tidak tahu asal muasal turunnya ayat, tidak tahu jeluntrungannya, tiba-tiba mereka berhak untuk menafsirkan sendiri? Lalu bikin fatwa aneh-aneh sambil melarang orang bertanya kepada sumber rujukan aslinya, yaitu para shahabat?
Sungguh aneh dan tidak masuk akal, bukan?

b. Nasikh Wal Mansukh

Syariat Islam di dalam Al-Quran tidak turun sekaligus, tetapi berproses. Berproses disini bukan sekedar ayat turun satu persatu, tetapi lebih dari itu, kadang ada proses perubahan hukum seiring dengan semakin banyaknya turun ayat.

Hukum yang sudah ditetapkan pada satu ayat bisa saja diangulir dan diubah menjadi hukum yang lain oleh ayat yang turun kemudian. Keharaman yang dibawa oleh suatu ayat bisa diubah menjadi kehalalan oleh turunnya ayat berikutnya. Sebaliknya, kehalalan yang didasarkan pada satu ayat, kemudian diharamkan oleh ayat yang turun kemudian.

Banyak sekali orang awam di masa kini yang sama sekali tidak tahu adanya ayat yang dinasakh atau dibatalkan hukumnya. Dengan segala keluguannya mereka mengirasa semua ayat itu berlaku hukumnya sama rata. Mereka tentu harus bertanya dulu kepada sumber rujukan utama yaitu para shahabat. Tidak boleh asal main keluarkan fatwa dan hukum seenaknya.

c. Tidak Semua Shahabat Merupakan Ahli Hukum

Satu hal lagi yang harus dicatat juga bahwa tidak semua shahabat itu ahli dalam hukum agama, meskipun mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitab I'lamul Muwaqqi'in (إعلام الموقعين) memperkirakan hanya sekitar 130-an orang saja dari para shahabat yang punya kapasitas dalam mengistimbath hukum.

Padahal kita tahu bahwa jumlah shahabat itu mencapai angka 124 ribu orang. Dibandingkan yang ahli dalam istimbath hukum, ternyata jauh lebih banyak mereka yang bukan ahlinya.

Oleh karena itu tidak bisa kita pungkiri bahwa sesungguhnya para shahabat itu meski bisa bahasa Arab, mengalami proses turunnya Al-Quran, bahkan menjadi tokoh langsung di dalam ayat yang diturunkan, namun tetap tetap saja mereka harus bertanya kepada Rasulullah SAW atau kepada shahabat senior yang sudah berlevel ahli istimbath hukum. Maksudnya tetap harus bertanya kepada ahlinya tentang isi kandungan hukum di dalam Al-Quran. Dan proses bertanya itu yang kita sebut bermazhab.

Mereka yang hidup bersama Rasulullah SAW saja masih harus bermazhab, bagaimana mungkin orang di zaman sekarang merasa sudah pintar dan mereka berhak menafsir-nafsirkan ayat Al-Quran seenaknya? Apakah mereka merasa  lebih pintar dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat?

2. Para Shahabat Mendapat Legalisasi Dari Rasulullah SAW Untuk Berfatwa

Menarik untuk dicermati, para sebagian shahabat yang memang telah mendapatkan pendididukan khusus untuk menjadi ahli istimbath hukum ini kemudian mendapatkan legalitas dari Rasulullah SAW. Tentu tidak semua mereka mendapatkannya, melainkan hanya yang sudah mencapai derajat ilmunya. Rasulullah SAW bersabda :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّينَ الرَاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)

Dengan hadits ini maka para shahabat ahli istimbath hukum itu telah menjadi juru fatwa resmi yang telah menandatangani 'kontrak' sebagai wakil Allah di muka bumi. Jabatannya tentu bukan sebagai pembawa wahyu tetapi sebagai juru tafsir resmi dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Siapa saja yang mencoba menafsir-nafsirkan ayat Al-Quran ataupun sunnah Rasulullah SAW semata-mata hanya lewat akalnya sendiri, maka sudah dipastikan sesat, keliru dan tidak bisa diterima.

Anehnya di zaman sekarang bisa-bisanya ada orang yang tidak mengerti Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi malah  mengaku-ngaku sebagai ahli fatwa, lalu bikin fatwa seenaknya. Lucunya sampai bilang begini :

"Tinggalkan semua perkataan manusia dan cukup Al-Quran dan As-Sunnah saja yang kita pegang. Tidak usah merujuk kepada shahabat, tabi'in atau fuqaha, karena mereka manusia dan sangat mungkin mengalami kesalahan".

Ungkapan ini kelihatannya benar, tetapi sekaligus juga banyak pesan menyesatkan tersirat di dalamnya. Di antarnya kesesatannya adalah sebagai berikut :

a. Sama Saja Mendustai Kenabian Muhammad SAW

Dengan mencoret peran para shahabat, tabi'in dan para fuqaha, otomatis kita menutup penjelasan, ilmu dan pesan-pesan penting dari Rasulullah SAW yang dititipkan kepada mereka. Dan itu berarti sama saja kita mendustakan kenabian Muhammad SAW.

b. Bikin Agama Baru Mendompleng Agama Islam

Bila kita perpegang pada Al-Quran dan Sunnah, lalu kita tafsiri sendiri semua isi kandungannya, seenak kita dan sesuai dengan selera kita sendiri, maka sesungguhnya kita telah menciptakan agama baru.

Agama itu sama sekali bukan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tetapi kita cuma mendompleng saja, sementara isi dan ajarannya 100% buatan akal kita sendiri.

3. Para Shahabat Boleh Berbeda Pendapat

Dan yang sangat menarik adalah meski sudah sah menjadi juru tafsir resmi Al-Quran dan As-Sunnah oleh Rasulullah SAW, namun para shahabat ahli istimbath hukum tetap diberi 'kebebasan' untuk saling berbeda pendapat.

Dan sudah pasti bahwa perbedaan pendapat di tengah para shahabat tentu tidak datang dari hawa nafsu pribadi, atau kepentingan kelompok tertentu, atau motivasi uang, jabatan, kekayaan, popularitas dan hal-hal rendah lainnya. Tentu saja mereka suci dari semua tuduhan itu.

Sebab Allah SWT menjamin bahwa mereka itu mendapat ridha dari Allah SWT dan dalam hadits yang shahih mereka 100% dipastikan masuk surga.

عَشْرَةٌ فيِ الجَنَّة : أَبُو بَكْر فيِ الجَنَّةِ وَعُمَر فيِ الجَنَّةِ وَعُثْمَان فيِ الجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فيِ الجَنَّةِ وَطَلْحَة فيِ الجَنَّةِ َوالزُّبَيْر فيِ الجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَن بنِ عَوْفٍ فيِ الجَنَّةِ وَسَعِيدُ بْنُ مَالِكٍ فيِ الجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَة بْنُ الجَرَّاحِ فيِ الجَنَّةِ - وَسَكَتَ عَنِ العَاشِـرِ ، قَالُوا : وَمَنْ هُوَ العَاشِر ؟ فَقَالَ : " سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ " – يعني نفسه

Dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ada sepuluh orang di dalam surga : Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga, Ali di dalam surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga, Abdurrahman bin Auf di dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah di dalam surga, kemudian Said terdiam. Orang-orang bertanya,”Siapa yang kesepuluh?”. Said menjawab,”Said bin Zaid”- yaitu dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

4. Boleh Memilih Mazhab Shahabat Yang Mana Saja

Ketika para shahabat yang sudah menjadi derajat ahli istimbath hukum ini punya pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka para shahabat yang lain boleh memilih pendapat yang mana saja dari mereka. Rasulullah SAW telah bersabda :

إِنَّ أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُومِ فِي السَّمَاءِ فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ

Para shahabatku bagaikan gemintang di langit. Pendapat siapapun yang kamu ambil tetap dapat petunjuk. Perbedaan pendapat mereka jadi rahmat bagi kamu. (HR. Al-Baihaqi)

Dalam kenyataannya ada mazhab Abu Bakar, mazhab Umar, mazhab Ustman, mazhab Ali, mazhab Ibnu Abbas, mazhab Ibnu Umar, mazhab Ibnu Mas'ud, mazhab Aisyah, mazhab Ummu Salamah dan lainnya. Mereka bisa saja berbeda pendapatnya, namun semuanya berada di dalam wilayah kebenaran dan petunjuk dari Rasulullah SAW.

Maka kepada pendapat, fatwa serta mazhab para shahabat itulah kita wajib berpegang-teguh. Sebab pada hakikatnya kita sedang kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan cara yang benar. Bukan dengan penafsiran hawa nafsu atau selera masing-masing.

Seratusan tahun sepeninggal para shahabat, Umar bin Abdul Aziz menyatakan sangat bahagia ketika mengetahui dahulu para shahabat ternyata berbeda pendapat.

Saya kurang suka kalau para shahabat tidak berbeda pendapat. Bila hanya satu pendapat, pastilah orang merasakan kesempitan. (Umar bin Abdul Aziz)

B. Mazhab Empat Adalah Titisan Mazhab Para Shahabat

Sampai disini mungkin ada yang menyatakan keheranan, yang ditanya apakah kita harus bermazhab, maksudnya adalah empat mazhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Kenapa penjelasannya malah menerangkan mazhab-mazhab para shahabat?

Lalu apa hubungannya antara mazhab-mazhab para shahabat itu dengan empat mazhab yang kita kenal saat ini?

Bukankah kalau begitu yang harus kita ikuti adalah mazhab-mazhab para shahabat dan bukan mazhab empat yang bukan dari kalangan shahabat?

Jawabannya sederhana saja, yaitu benar bahwa kita memang harus ikut kepada mazhab para shahabat. Asalkan kita hidup di masa para shahabat. Sayangnya kita hidup di 15 abad kemudian, dimana sudah tidak ada lagi para shahabat hidup di tengah-tengah kita.

Kita butuh sumber informasi yang valid dan benar-benar bisa dipercaya untuk bisa kontak dengan fatwa-fatwa para shahabat. Masalahnya, dimana kita bisa menemukan sumber-sumber fatwa para shahabat yang valid dan terjamin kemurniannya?

Jawabannya ada para murid-murid dari para shahabat itu. Ya, murid-murid para shahabat adalah generasi yang paling amanah dan berkualitas dalam menjaga amanah fatwa dan ilmu dari para shahabat.

1. Generasi Fuqaha di masa Tabi'in

Kalau mau tahu fatwa para shahabat, maka rujukannya ada di tangan murid-murid mereka, yaitu generasi tabi'in. Mereka tersebat di tujuh penjuru peradaban Islam, karena para shahabat yang menjadi guru mereka memang tinggal berpencar-pencar, baik di Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman.

 Madinah : Shahabat Abdullah bin Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit melahirkan tujuh ulama ahli fiqih dari kota Madinah, di antaranya Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdullah bin Utbah bin Masud, Sulaiman bin Yasar, Ubaid bin Abdillah, Nafi’ Maula Abdullah bin Umar.
Mekkah : Shabat Ibnu Al-Abbas dan Abdullah bin Az-Zubair di Mekkah melahirkan Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kisan dan lainnya.
Kufah : Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud di Kufah melahirkan ’Alqamah, Al-Aswan, Masruq, Syuraih, Asy-Sya’biy, An-Nakha’i dan Said bin Jubair.
Bashrah : Anas bin Malik dan Abu Musa Al-Asy’ari melahirkan Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad Ibnu Sirin.
Syam : Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu Ad-Darda’ di Syam melahirkan Abu Idris Al-Khaulani, Makhul Ad-Dimasyqi, Umar bin Abdul Aziz, Raja’ bin Haywah dan Abdurrahman Al-Auza’i.
Mesir : Shahabat Amr bin Al-Ash dan puteranya Abdullah bin Amr bin Al-Ash melahirkan Yazid bin Hubaib. Yazid adalah orang yang nantinya menjadi guru bagi Al-Laits bin Saad, ulama besar Mesir di masanya.
Yaman : Shabat Musa Al-Asy'ari dan Muadz bin Jabal di Yaman melahirkan Mathraf bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf.

2. Generasi Berikutnya

Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase keemasan bagi itjihad fiqih, muncul 13 mujtahid yang mazhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah :

Sufyan bin Uyainah di MekahMalik bin Anas di MadinahHasan Al Basri di BasrahAbu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauriy (161 H) di KufahAl Auzai (157 H) di SyamAsy-Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’d di MesirIshaq bin Rahawaih di NaisaburAbu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz-Dzhahiri dan Ibnu Jarir At Thabary, keempatnya di Baghdad
Yang kita sepakati tentang istilah mazhab adalah kumpulan hasil ijtihad dari para shahabat, tabi'in, atba'uttabi'in, dan generasi salafus-shalih, dimana kapasitas mereka adalah ahli dalam menghistimbath ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.

Tidak usah ditanyakan lagi apakah mereka mengerti hadits atau tidak, justru mereka adalah peletak dasar ilmu naqdul hadits (kritik hadits), yang hasilnya adalah metodologi baku dalam menshahihkan atau mendhaifkan suatu hadits. Di dalam kepala para ahli istimbath hukum itu, minimal ada lebih dari setengah juga hadits yang dihafal matan dan sanadnya.

Para hali istimbath hukum ini punya ratusan murid, dimana muridnya itu sudah menjadi guru dari ribuan murid lagi, dan murid dan murid itu sudah menjadi guru dari ratusan ribu murid. Dan murid dari murid dari murid dari murid itu sudah jadi guru dari jutaan murid lagi, yang mana semuanya juga sudah jadi guru besar dalam ilmu istimbath hukum.

Kapasitas ke-guru-an mereka itu bukan hanya gelar yang diberikan seenaknya, tetapi dibuktikan dengan jutaan jilid karya ilmiyah fatwa ilmu fiqih dalam segala aspek kehidupan. Karya-karya itu adalah bukti otentik ketinggian ilmu mereka, yang masih bisa kita baca hari ini.

sumber: Ahmad Syarwat

Related Posts:

Tujuan Pendidikan Islam (makalah lengkap)



Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Porwadarminto (1982 : 1094). Tujuan adalah dunia cita yakni sasaran ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu terwujud pada tujuan akhir. Dan itu biasanya pada dan singkat, seperti terbentuknya kepribadian  muslim. Suharini (1992 : 159). kesempatan pribadi, kematangan pribadi dan integitas dan sebagainya. Nur syam (1973 : 76).
Tujuan pendidikan islam identik dengan tujuan hidup manusia itu sendiri, oleh karena pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Langgulung (1989 : 33). Tujuan pendidikan Islam itu berarti tujuan hidup manusia itu sendiri. Dan tujuan hidup manusia itu adalah menyembah, mengabdi dan berbakti kepada Allah swt. Berbakti kepada Allah swt. berarti mengabdikan diri kepada-Nya dan bertingkah laku sesuai dengan kehendak-Nya. Semua aktifitas kehidupan manusia seharusnya sesuai dengan petunjuk dan aturan-Nya, baik dalam kehidupan induvidu maupu dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagainya. Tujuan hidup manusia dapat dipahami dalam firman Allah swt. dalam alquran surah al-Zariyat (51) ayat 56 yang artinya ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia  melainkan supaya mereka menyebahku” (QS. Al-Zariyat (51) : 56). Sementara ayat lain berbunyi :
”qul inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamat li Allah rab al--alamin.la syarika lahu wa bizalika umirtu wa ana awwal al-muslimin”
 Artinya :
”Katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadahku, hiduku  dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama yang menyerahkan diri kepada Allah. (QS. Al-Ra’ad (13) : 36
Dua ayat di atas, menjelaskan kepada kita tentang tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah swt. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah pengabdian kepada Allah swt. Sementara itu, Abdul Fattah Jalal menyatakan bahwa tujuan ilmu pendidikan Islam sebagai abdi atau hamba Allah swt. Rahman Shaleh (1991 : 152). Allah swt. telah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya adalah tugas pokok diutusnya para rasul. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia untuk selalu beribadah kepada Allah swt.
Abdul Fatah Jalal kemudian menyatakan bahwa ibadah itu tidak hanya terbatas pada shalat, puasa, zakat dan haji serta pengucapan dua kalimat syahadat, akan tetapi ibadah itu mencakup segala amal, pikiran dan perasaan manusia selama itu dihadapkan kepada Allah swt.  Ibadah adalah jalan hidup  yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia mencakup perkataan, perbuatan, perasaan bahkan  bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Dalam kerangka pandangan yang menyeluruh  tentang ibadah ini, maka tujuan umum pendidikan dalam Islam adalah mempersiapkan manusia yang senantiasa beribadah kepada Allah swt. Qutub (1998 : 17).  Manusia yang bertakwa inilah menurutnya sebagai manusia  yang terbaik.
Muhammad Qutub berpendapat bahwa tujuan umum pendidikan Islam adalah manusia yang bertaqwa. Kata takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan  yang memiliki arti menjaga dan memelihara diri dari penyakit. Muhammad Idris al-Marbawi al-Asari,(t.th : 396), Muhammad Husain, (t.th ;788), Ibrahim Anis, h. 1052. al-Anshari,  (630 H/711M : 281). Ibn Zakariyah menyatakan bahwa kata waqa berarti menolak sesuatu yang negatif dan menerima sesuatu yang positif. Sementara al-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa kata waqa berarti memlihara sesuatu dari hal-hal yang dapat merugikan. Oleh karena itu, orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang mampu memelihara dirinya  dari hal-hal yang baik di dunia, dalam hal ini seluruh aktifitasnya bernilai ibadah atau pengabdian di sisi Allah swt.
Tujuan pendidikan Islam itu berdasar pada Alquran surah al-Zariyah ayat 13 yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah itu adalah orang yang paling bertaqwa. Manusia bertaqwa adalah manusia yang selalu beribadah kepada Allah swt. (QS. Al-Zariyat (51) : 56), manusia yang selalu menjalankan semua peritah Allah swt. (QS. Al-Baqarah (2) : 38).
Secara ringkas orang yang bertakwa adalah  manusia yang memenuhi persyaratan menjadi khalifatan fi al-ardh sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 30 dan surah al-isra (17) ayat 70. Di dalam dua ayat ini disebutkan bahwa Allah swt. menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan Allah melebihkan sebagian manusia atas sebagian manusia yang lainnya.  Tujuan umum pendidikan islam yang dirumuskan oleh Abdul Fatah Jalal dan Muhammad Qutub di atas, meskipun dari sisi redaksional berbeda tetapi esensinya adalah sama yaitu beribadah kepada Allah swt. Sementara Munir Mursi merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai derajat manusia sempurna. Munir Mursi (1977 : 18)
Tujuan umum dan tujuan akhir pendidikan Islam yang ideal itu harus dirinci, sehingga tujuan yang dinilai ideal itu dapat dipahami melalui indikasi-indikasi tertentu. Menurut Ahmad Tafsir, jika tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang sempurna, maka ciri-ciri manusia yang sempurna itu adalah jasmaninya sehat, akalnya cerdas, pandai dan hatinya takwa kepada Allah swt. Ciri-ciri ini masih bisa dijabarkan sehingga menjadi lebih rinci.
Al-Khalil Aynayni menyebutkan bahwa di samping pendidikan islam memiliki tujuan umum, ia juga memiliki tujuan yang khusus. Tujuan umum pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang selalu beribadah kepada Allah swt. Tujuan umum ini tetap berlaku di semua tempat, waktu, dan keadaan. Sementara tujuan khusus itu ditetapkan berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi dan lain-lain yang ada di tempat itu. Tujuan khusus ini dapat dirumuskan berdasarkan ijetihad para ahli di tempat itu. Khalil Aynayn (1980 : 153 – 156).
Sementara Zakiyah Derajat, membagi tujuan pendidikan Islam menjadi empat bagian yaitu tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara dan tujuan operasional. Hasan Langgulung hanya membagi tiga yaitu tujuan umum, tujuan akhir dan tujuan khusus. Pembagian tujuan pendidikan ini pada dasarnya sangat sulit untuk dibedakan terutama tujuan umum dan tujuan akhir. Oleh karena itu, pembagian tujuan pendidikan Islam yang lebih tepat adalah pembagian yang dikemukakan oleh al-Aynayn yaitu tujuan pendidikan yang berdimensi umum yaitu tujuan pendidikan Islam yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu sehingga berlaku  di mana dan kapan saja. Tujuan yang berdimensi khsusus yaitu tujuan pendidikan Islam yang meskipun tidak baik menyimpang dari tujuan umum, namun para ahli mempunyai kebebasan untuk merumuskannya sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Related Posts:

Lima (5) Wasiat Rasululloh SAW

Lima (5) Wasiat Rasululloh SAW.

Rasululloh saw adalah pembawa ajaran islam kepada seluruh alam semesta, beliau adalah Nabi terahir yg diutus oleh Alloh, semua ajarannya tertuang dalam kitab suci al-Quran. sebagai penerima wahyu, Nabi Muhammad saw berkewajiban menyampaikannya kepada ummatnya, oleh karena itu sering kali Nabi memberikan wasiat kepada para sahabatnya yang sebenarnya inti dari setiap wasiat itu sendiri adalah penjelasan dari wahyu yang diterimanya, karena Nabi tidak pernah berujar menuruti kehendak hawa nafsunya, semua itu telah diwahyukan kepadanya. salah satucontohnya adalah lima wasiat beliau di bawah ini.

Dikisahkan bahwa sahabat AL-AQAMAH bin Harits dan enam orang temannya, mewakili kaumnya yang telah memeluk Islam mendatangi Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, dan menyatakan diri mereka sebagai ‘orang-orang yang beriman’.
Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam menyambut gembira keislaman mereka dan kaumnya tersebut, tetapi mendengar ‘pengakuan’ keimanannya, Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Apakah hakikat keimanan kalian?”

Al Aqamah berkata, “Wahai Rasululloh, kami memiliki limabelas sifat/perkara, lima perkara yang engkau perintahkan kepada kami, lima perkara yang diperintahkan utusan engkau kepada kami, dan lima sifat yang kami miliki sejak jahiliah dan masih terus kami amalkan, kecuali jika nantinya engkau melarangnya.”

Ketika Rasululloh bertanya lebih lanjut tentang hal tersebut, Al Aqamah menjelaskan :

Lima perkara yang diperintahkan Rasullulloh adalah beriman kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, kepada malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, dan kepada takdir Alloh, baik ataupun buruk.

Lima perkara yang diperintahkan Rasullulloh kepada mereka ketika menyeru kepada Islam adalah mengucap dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di Bulan Ramadhan dan berhajji ke Baitullah jika mampu.

Lima sifat yang menjadi akhlak mereka sejak jahiliah tetapi tetap diamalkan adalah bersyukur ketika mendapat kesenangan, bersabar ketika ditimpa musibah, keras dan berani di medanperang, ridha atas takdir yang ditetapkan Alloh, dan tidak gembira atas musibah yang menimpa musuh.

Dengan gembira Rasullulloh membenarkan dan memuji mereka ini, beliau bersabda, “Kalian adalah orang-orang yang faqih dan beradab, hampir saja kalian seperti nabi-nabi karena sifat-sifat kalian yang begitu indahnya.
Dan aku tambahkan lima wasiat, agar Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menyempurnakan bagi kalian sifat-sifat kebaikan kalian, yaitu :

1. Janganlah kalian mengumpulkan makanan, yang tidak akan kalian makan.
2. Janganlah membangun rumah yang tidak kalian tinggali.
3. Janganlah kalian berlomba-lomba mengumpulkan sesuatu yang pasti akan kalian tinggalkan di kemudian hari.
4. Takutlah kepada Alloh, yang pada suatu hari nanti kalian akan dikumpulkan di hadapanNya.
5. Hendaklah kalian mencintai alam akhirat, yang pasti akan kalian tempati dan kalian kekal di dalamnya.”

Dalam Surah AL mu'minun: 1-7. Alloh menjelaskan ciri ciri Orang Mu'min yg Bahagia Dunia dan akhirat, Yaitu mereka yg menghiasi dirinya dengan 6 sifat. ke enam sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1. khusyu' ketika sholat. Hatinya fokus hanya kepada Allah, anggota badannya tenang.                                   2. menghindarkan diri dari hal hal yg tidak bermanfaat baik perkataan maupun perbuatan.                              3. membersihkan jiwanya dari kotoran hati, seperti syirik, riya', hasud dll, juga yg menunaikan zakat.
4. Menjaga alat kelaminnya (kemaluannya) dari perbuatan zina bagaimanapun bentuknya. contohnya dengan cara menghindarkan diri dari hal hal yang mendekati  perzinaan, seperti bercampur antara lawan jenis, berduaan dengan lawan jenis, bersentuhan, dan sebagainya.                                          
5. Menjaga amanah, kepercayaan yang diberikan kepadanya, dan janji yang telah diucapkannya, baik janti itu yang terkait dengan Allah atau manusia, yaitu semua kewajiban syar'i dan hak hak yg harus di tunaikan.                    
6. Selalu memelihara sholat, yaitu dengan cara melaksanakannya tepat waktu, memperhatikan rukun-rukun shalat dan sunah-sunnahnya.

Mereka itulah yg berhak atas Surga yang tertinggi yaitu Surga Firdaus. Mereka akan kekal selama lamanya.

dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa ternyata kunci untuk menggapai surga Firdaus adalah hati yg penuh dengan keimanan yg berimbas kepada perilaku yg mulia baik berupa ibadah ritual atau sosial dan integritas dan kehormatan pribadi secara Istiqamah sampai akhir hayat..رب اجعلنى مقيم الصلاة ومن ذريتى ربنا وتقبل دعاء.

Related Posts:

Metode Pendidikan Agama Islam (makalah lengkap)

Metode Pendidikan Agama Islam
Dalam Al-Quran dan Hadits

Metode berarti cara atau jalan, sementara metodologi berarti ilmu pengetahuan tentang cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan Islam diperlukan sejumlah metode yang digunakan untuk menyampaikan materi pendidikan Islam. Metode-metode pendidikan Islam yang digunakan itu diharapkan dapat membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode-metode ini  memungkinkan puluhan ribu kaum muslimin dapat membuka hati mereka untuk menerima petunjuk Allah swt. dan konsep-konsep perubahan Islam di masa yang akan datang.  Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode pendidikan Islam yang dianggap paling penting dan paling menonjol. 
Pembahasan beberapa metode pendidikan agama Islam pada makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan di antara setiap metode sehingga para pendidik dapat memilih  metode yang dianggapnya lebih tepat  dalam membina anak-anaknya baik di rumah, sekolah atau masyarakat maupun menggabungkan beberapa metode dalam waktu yang bersamaan dalam melakukan pendidikan. berikut ini beberapa metode pendidikan agama Islam tersebut:

Related Posts:

TATACARA SHOLAT GERHANA

TATACARA SHOLAT GERHANA

Pada tanggal 9 maret 2016, menurut perhitungan hisab ahli falak, akan terjadi gerhana matahari, dan bahkan akan ada gerhana matahari total di beberapa wilayah di Indonesia. sebagai ummat Islam disunnahkan melaksanakan sholat gerhana, yaitu sholat sunnah dua rakaat dan dilanjutkan dengan khutbah (seperti khutbah jum'ah).
berikut ini tatacara sholat gerhana:


Related Posts: