ASURANSI SYARIAH (Prinsip dan Dasar Hukumnya)

ASURANSI SYARIAH
Prinsip dan Dasar Hukum Asuransi Syariah
A. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Prinsip Dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku padaa konsep ekonomika Islam secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan tururnan (minor) dari konsep ekonomika Islam . Biasanya literatur ekonomika Islam  selalu melakukan penurunan nila pada tataran konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya, seperti lembaga perbankan dan asuransi.
Begitu juga dengan suransi, harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syariah ada sembilan macam yakni:

1. Tauhid
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun pada nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahawa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu bersama kita.

2. Keadilan
Prisnip kedua adalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dalam akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.
3. Tolong – Menolong (Ta’awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan asuransi adalah harus didasari dengan semangat tolong-menolong antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

4. Kerjasama (Cooperation)
Prinsip kerjasama  merupaka prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam . Manusia sebagai mahluk yang mendapat mandat dari sang Khalik-nya untuk mewujudkan perdamainan dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.

5. Amanah (Trustworthy)
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamlah dan melalui auditor public.

6. Kerelaan (Al-Ridha)
Dalam berbisnis asurasnsi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial (tabarru) memang betuk-betul digunakan untuk tujuan membantu nasabah asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.

7. Larangan Riba
Bahwa dalam berbisnis asuransi kita dilarang melakukan praktek riba. Yakni bahwa kita dilarang melakukan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

8. Larangan Maisir
Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversig period, biasanya tahun yang ketiga yang bersangkutan  tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai hasil ketetapan.

9. Larangan Gharar (Ketidakpastian)
Secara konevensioanal kata Syafi’i Antonio kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan dalam aqd tadabuli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah uang premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.

B. Dasar Hukum Asuransi Syariah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :
”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”

Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.

Related Posts:

RIBA (Sejarah Pelarangan Riba, Pengertian Riba, Macam-macam Riba, Prinsip Riba)

RIBA
(Sejarah Pelarangan Riba, Pengertian Riba, Macam-macam Riba, Prinsip Riba)

A. Sejarah Pelarangan Riba
Pertama kali pelarangan riba adalah di wilayah Arab dan setelah itu di wilayah dimana Islam berkuasa. Oleh karena itu, seluruh operasi pada sistem ekonomi yang mengandung unsur riba diharamkan.[1] Ciri khas ekonomi Islam atau bisnis syari’ah adalah konsep anti-riba. Konsep ini menghapuskan semua jenis riba dalam setiap transaksi, baik disektor riil terlebih disektor keuangan.[2]
Dengan demikian, dominasi transaksi ribawi dalam perekonomian telah berdampak pada berfluktuasinya tingkat inflasi dan berpotensi sebagai alat eksploitasi manusia, mengarah pada ketidakadilan distribusi, dan membawa pada marjinalisasi kebenaran. Riba adalah tambahan nilai yang diperoleh dengan tanpa resiko dan bukan merupakan hadiah atau konpensasi kerja. Oleh karena itu, riba dimungkinkan terjadi pada transaksi perdagangan ataupun keuangan. Riba perdagangan timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas, sama kuantitas, dan sama waktu penyerahan, seperti kasus jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Transaksi semacam ini dilarang di dalam Islam karena mengandung unsur gharar atau ketidakpastian bagi kedua belah pihak dan berdampak pada ketidakadilan.[3]
Perkembangan lembaga keuangan syariah dengan berbagai instrumen yang ada menimbulkan optimisme akan perubahan sikap terhadap keberadaan riba, walaupun masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba seperti masih banyaknya institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai bagian instrumen moneter dari sistem keuangan di dalam suatu negara dan masyarakat muslim lebih familiar dengan sistem konvensional.
A. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan (az-Ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘ulu). Dengan kata lain, bahwa riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah. Demikian juga, Imam Sarakhi dalam kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwad yang dibenarkan syariat atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan atau harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut Ibnu Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama. Ada beberapa perbedaan definisi riba dikalangan ulama, tetapi perbedaan ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba di dalam konteks hidupnya. Sehingga walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya, tetapi substansi dari definisi tersebut sama. Secara umum ekonomi muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.
B.     Macam-Macam Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.[4] Adapun penjelasan pembagian di atas adalah sebagai berikut:
  1. Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
  2. Riba Jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasiah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl. Tafsir Qurtuby menjelaskan: “Pada zaman jahiliah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur; “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kriditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru”.[5]
  3. Riba Fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mistlin), sama kualitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar  yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain. Misalnya, 1 kg beras dijual dengan 1 seper empat kg. Kelebihan seper empat kg tersebut disebut dengan riba fadhl. Jual beli seperti ini hanya berlaku dalam al-muqayadah (barter), yaitu barang ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang.
  4. Riba Nasiah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Riba nasiah yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Misalnya dalam barter barang sejenis, membeli satu kilogram gula yang akan dibayarkan satu bulan yang akan datang. Atau barter dalam barang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi’ah.
C.    Prinsip-Prinsip Riba
Prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba di dalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah saw, yaitu:[6]
  1. Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai, mengandung unsur riba. Contoh, adanya unsur riba di dalam pertukaran satu ons emas dengan setengah ons emas.
  2. Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tapi berbeda nilai atau harganya dan dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
  3. Pertukaran barang yang sama nilai atau harganya akan tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran dengan cara dari tangan ke tangan tunai, maka pertukaran tersebut terbebas dari unsur riba. Contoh, jika satu ons emas mempunyai nilai sama dengan satu ons perak. Kemudian dinyatakan sah apabila dilakukan pertukaran dari tangan ke tangan tunai. Sebaliknya, transaksi ini dinyatakan terlarang apabila dilakukan secara kredit karena adanya unsur riba.
  4. Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari riba sehingga diperbolehkan. Contoh, garam dengan gandum, dapat dipertukarkan, baik dari tangan ke tangan maupun secara kredit, dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
  5. Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari unsur riba sehingga sah. Contoh, perhiasan emas ditukar dengan emas atau gandum ditukar dengan tepung gandum.
  6. Di dalam perekonomian yang berasaskan uang, dimana harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, keduanya terbebas dari riba, dan oleh karenanya diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum yang lain 15 kg per dolar. Kadua grade gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya riba karena transaksi itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau beratnya.


[1] Nur Khamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 316.
[2] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir; Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 35.
[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonesia, 2003),   hlm. 1.
[4] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, hlm. 15-16.
[5] Mukhtar Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, hlm. 277.
[6] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, hlm. 16-17.

Related Posts:

Perbankan Dalam Islam

Perbankan Dalam Islam
Gagasan 'pembalikan paradigma' perbankan konvensional cukup menarik dicermati. Gagasan ini bukan hanya mengubah akar dan basis ontologis bank yang selama ini berakar pada bunga, tetapi suatu mekanisme dan hubungan mutual antara lembaga bank dengan nasabah dan masyarakat pada umumnya.
Prinsip kerja bank yang didasari nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana diyakini kaum santri tentang hak milik sebagai amanah dan fungsi publik dari setiap hak milik. Selain itu ia didasari nilai kerja sebagai ibadah di mana setiap tindakan ekonomi (bank) selalu dilihat dan diukur dari ada dan tidaknya kejujuran dan keadilan keuntungan di dalamnya.
Berbagai program telah berjalan dari 'dompet dhuafa' atau 'tabungan haji' yang habis pakai, perlu dikembangkan lebih produktif. Program 'tabungan korban' atau 'tabungan zakat' dikembangkan untuk fungsi-fungsi ekonomis yang lebih produktif.
Bagi umat yang berniat dan siap naik haji di suatu tahun bisa menabung yang baru akan dilaksanakan beberapa tahun kemudian yang bunganya dihibahkan atau dipergunakan penambal modal usaha umat. Demikian pula untuk ibadah korban, sodakoh atau zakat hingga tabungan sodakoh atau infak pembangunan masjid, pesantren atau sekolah.
Bank diharapkan bermanfaat bagi tujuan realisasi usaha pengembangan ekonomi produktif bagi umat melalui jaringan organisasi dan tradisi pengajian, selain lembaga pendidikan dan kesehatan. Hal ini diharapkan bisa mematahkan rantai kemiskinan umat yang bukan hanya terjadi di masa modern, tetapi sudah terjadi bersama sejarah umat.
Prinsip Amanah
Kemiskinan muncul akibat sistem ekonomi dan budaya yang dirancang tidak untuk maksud meniadakan kemiskinan, tetapi bagi keuntungan pemodal. Di saat ekonomi kapitalis gagal memecahkan problem kemiskinan yang diciptakannya, prinsip amanah, ta'awun dan perwalian dari ajaran Islam perlu dikembangkan menjadi sebuah teori dan sistem ekonomi santri berkeadilan dan produktif bagi kepentingan umat secara kolektif.
Fakta bahwa penduduk dunia modern yang hidup dalam kemiskinan adalah mereka yang disebut umat Muslim. Fakta serupa dengan mudah bisa dilihat di negeri ini yang penduduknya mayoritas memeluk Islam. Tentu, bukan karena Muslim mereka jadi miskin, tetapi perlu dijelaskan bagaimana hubunga antara kenyataan miskin dan fakta memeluk agama Islam.
Sebaliknya negeri-negeri berpenduduk non-Muslim adalah negeri kaya dan maju, walaupun kemakmuran negeri-negeri tersebut harus dibayar oleh kemiskinan negeri-negeri lain baik yang merupakan bekas jajahannya atau yang berada di luar kawasan Barat dan Eropa.
Sistem sosial dan ekonomi negeri-negeri maju tak menyediakan ruang bagi negeri miskin mengubah nasibnya menjadi kaya. Inilah cacat bawaan sistem sosial kapitalis dari ekonomi modern di mana hasil kerja merupakan hak milik mutlak pribadi yang tak mungkin dibagi-bagi kepentingan orang banyak yang miskin. Seorang ekonom Jerman EE Schumacher dalam buku terkenalnya Small Is Beautiful memberikan kritik keras pada etika ekonomi modern tersebut.
Soalnya ialah bagaimana mengembangkan ekonomi produktif, sekaligus memiliki nilai sosial bagi kepentingan orang banyak, rakyat kebanyakan dan umat yang awam? Sistem ekonomi modern yang produktif bisa dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi umat yang bersifat kolektif jika diarahkan memenuhi prinsi ta'awun, amanah dan perwalian (baca: mudharabah) sebagaimana gagasan Waqar S Husaini.
Kerja ekonomi seperti ini mirip mekanisme asuransi atau multilevel di mana mereka yang lebih memerlukan diberi prioritas (baca: amanah) untuk menikmati keuntungan di mana hasil kerja dan hak dari kelompok lain ditunda. Kewajiban zakat, infak, sodakoh, fitrah, korban, dan ibadah berdimensi sosial lain dijadikan sebagai model bagi pengembangan ekonomi berbasis umat tersebut di atas.
Potensi Dana
Jika berbagai bentuk kegiatan pengajian dikelola dengan fungsi tambahan koleksi dana produktif, setiap bulan bisa dikumpulkan miliaran rupiah. Dari dana ini banyak usaha bisa dilakukan yang bisa memberi keuntungan umat bagi kebutuhan ritual dan sosial, atau kapital. Hal ini bisa dilakukan bagi santri atau murid sekolah atau madrasah yang jika setiap hari menabung 100 rupiah tahun pertama bisa dikumpulkan dana 300-an ribu rupiah untuk setiap siswa atau santri.
Sepuluh ribu Sekolah Muhammadiyah dari 200 perguruan tinggi, di tahun pertama bisa mengumpulkan dana hampir setengah triliun rupiah. Jika dana ini dikelola oleh lembaga bank bisa dibiayai berbagai usaha produktif santri yang pada gilirannya menjadi dana abadi siswa. Hal ini bisa dikembangkan bagi pengajian yang dikelola oleh Muhammadiyah atau NU dan organisasi Islam lainnya.
Pertanyaannya ialah mampukah Bank Persyarikatan milik Muhammadiyah atau organisasi Islam lainnya memenuhi fungsi mediasi keuangan bagi kegiatan ekonomi dan ritual serta sosial kaum santri? Jawaban pertanyaan ini lebih banyak tergantung pada kesediaan kaum santri mengembangkan basis kapital bagi kepentingan umat itu sendiri yang sebenarnya sudah dimulai.
Yang diperlukan kemudian ialah bagaimana sistem keuangan modern bisa dimanfaatkan dengan beberapa modifikasi seperlunya sehingga terhindari dari riba sebelum teori moneter dan ekonomi santri bisa disusun.
Melalui jasa perbankan tersebut, agenda pengumpulan dana umat bisa dilakukan melalui sistem administrasi yang terbuka dan bertanggungjawab. Pengumpulan dana tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan jasa perbankan milik persyarikatan tersebut. Manfaat ekonomi santri berbasis umat di atas antara lain merupakan penarikan iuran anggota yang sekaligus berfungsi ekonomi produktif.
Selain itu, dana tersebut berfungsi sebagai pengumpulan modal bagi umat dan fungsi jaminan kesehatan, SPP dan naik haji atau pun tabungan berbagai jenis ibadah lain sperti korban dan zakat yang tentunya memerlukan hitungan ekonomi dalam sistem moneter.
Pada gilirannya dana abadi siswa dan umat bisa dimanfaatkan bagi usaha sekolah atau kesehatan gratis dan keperluan permodalan lainnya. Setiap siswa yang sejak tahun pertama menabung melalui sistem yang telah dikemukakan, tidak perlu lagi pembiayaan di tahun-tahun berikutnya. Demikian pula bagi keperluan pendidikan hingga di tingkat perguruan tinggi seperti pemeliharaan kesehatan anggota pengajian jika melakukan usaha dan serupa.
Jaminan Sosial
Kebutuhan ritual korban, zakat fitrah atau lainnya bisa dipenuhi melalui jasa perbankan santri atau ditambahkan bagi usaha pembesaran kapital santri. Pada putaran tahun-tahun berjalan bisa dikembangkan jaminan sosial bagi kaum buruh dan nelayan serta petani miskin atau pengembangan usaha agrobisnis dengan tenaga kerja dari umat setelah melalui serangkaian pendidikan profesi.
Penutup
Akhirnya yang penting ialah memulai. Sukses suatu daerah perlu dikembangkan sebagai pengalaman kolektif melalui jaringan organisasi. Sekecil apa pun sukses akan selalu berarti jika disadari bahwa nasib umat tergantung pemahaman diri dan tanggung jawab masa depan sejarah.
Itulah maksud ayat mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tak engkau kerjakan maksud hadits mulai dari diri sendiri dan ayat Allah tidak meminta tanggung jawab kecuali sesuai kemampuan seseorang dan hanya mereka yang bersedia menolong sesamanya akan memperoleh pertolongan Allah.
Melalui cara tersebut bisa direalisasi ajaran bahwa umat dan santri bagai satu tubuh saling memperkuat satu sama lain, sehingga fungsi Islam bagi rahmat seluruh umat bisa dipenuhi.


Related Posts:

Pengertian Bank Menurut Para Ahli

Pengertian Bank Menurut Para Ahli

1.      Pengertian Bank.
Istilah bank telah menjadi istilah umum yang banyak di pakai oleh masyarakat dewasa ini. Palang merah punya “bank darah, dilingkungan kesehatan ada“ bank sperma”. Lembaga penelitian punya “bank data” dan orang atau  lembaga yang mengalami keruntuhan keuangan disebut bangrut.[1]
Kata bank dapat ditelusuri dengan kata bangue dalam bahasa Prancis dan dari kata banco dari bahasa Italia, dan adapat berarti peti /lemari atau bangku. Konotasi pad akedua kata itu menjelaskan dua fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komerasial. Pada peti mengisyaratkan fungsi sebagai tempat penyimpanan tempat-tempat berharga seperti emas, berlian, uang dan sebagainya. Dewasa ini peti bank berarti portipel ktiva yang menghasilkan (portofolio of earning asset) yaitu portofolio yang memberi bank darah kehidupan bernama laba bersih setelah pengeluaran dan pajak-pajak pada abad ke 12 kata banco merujuk pada meja counter atau tempat usaha penukaran uang arti ini mengisyaratkan fungsi transaksi yaitu penukaran uang atau dalam arti transaksi bisnis yang lebih luas yaitu membayar barang dan jasa denfgan arti tersebut fungsi dasar bank adalah (1) menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping fuction), (2) menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaksion function)[2]
Secara umum yaitu sebagaimana yang tertuang pada UU No 10 tahun 1998 terutama perbankan dalam pasal 1 dijelaskan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau  bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.[3] Sebagai lembaga informasi intermediasi bank konvensional menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkan kepada nasabah lain yang membutuhkan dana atas simpanan para nasabah bank memberikan imbalan berupa bungan demikian pula atas pemberian pinjaman bank mengenakan bunga kepada para peminjam.[4]
Di sisi lain bank Islam atau selanjutnay disebut dengan bank syariah adalah bank beroprasi tidak mengandalkan pada bunga bank  Islam atau bisa juga di sebut bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan / perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadist atau dengan kata lain bank Islam adalah lembaga keungan yang usaha pokonya memelihara pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[5]
Kesimpulan, terdapat perbedaan yang mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah. Jika bank konvensional berorientasi pada bunga tidak halnya dengan bank yang mengharamkan sistem bunga.

2.      Produk Dan Jasa Bank Syari’ah
A.    Produk Himpunan Dana
a.        Wadi’ah
Yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau  barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat.[6] Prinsip wadiah terbagi menjadi  dua, yaitu:
1)      Wadi’ah yad amanah, yaitu barang yang dititipkan merupakan bentuk amanah belakang dan tidak ada kewajiban dari wadi’ untuk menanggung keruskan kecuali karena kelalaian:
2)      Wadi’ah yad dhamanah, yaitu pihak penyimpan dengan atau tanpa izin dari pemilik barang dapat memanfaatkan barang yang dititipkan dan memberikan bonus yang diperoleh dari keuntungan para pemilik
b.      Mudharabah
Yaitu perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha. Dalam perjanjian ini pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola peroyek tersebut dengan pembangian hasil sesuai perjanjian. Modharabah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Mudarabah muthlaqah, shohibul mal tidak memberi batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudarib diberi wewenag penuh untuk mengelolah dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan pelanyanannya.
2.      Mudarabah Muqayadah, sahibul maal memberi batasan atas dana yang di investasikannya mudharib hanya bisa mengelola sesuai dengan batasan yang diberikan oleh sahibulmaal

B.     Produk penyaluran dana
a.       Prinsip Jual Beli (tijaroh)
                     Prinsip jual beli ini dikembankan menjadi bentuk-bentuk pembiayaan sebagai berikut;
1)            Pembagian murobah, bank sebaga penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan segera dam perlayaran dilakukan secara tangguh
2)            Salam, pembayaran tunai barang diserahkan tangguh, bank sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjaul. Dalam transaksi ini ada kepastian tentang, kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan
3)            Istishan, jual beli sepeti akad salam namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.
b.      Prinsip Sewa (Ijarah)
                     Yaitu penjanjian antara pemilik kurang dengan penyewa yang membedakan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar secara sesuai perjanjian kedua belah pihak.
c.        Prinsip Bagi Hasil (syirkah)
                     Prinsip bagi hasil untuk produk pembiayaan dioperasionalkan dengan pola sebagai berikut:
1)      Musyarakah, kerjasama dalam suata usaha oleh dua pihak. Semua modal disatukan untuk menjadikan modal proyek dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak dalam menentukan kebijakan
2)      Mudharabah, kerjasama yang mana sahibul maal memberikan dna 100 % kepada mudharib yang memiliki keahlian pihak sahibul maal berhak melakukan pengawasan akan tetapi tidak berhak mencampuri urusan usaha nasabah. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad.
3)      Mudharabah muqayadah, pada dasarnya sama dengan persyaratan diatas perbedaannya adalah terletak pada adanya pembahasan modal sesuai dengan pemodal.

C.     Produk Jasa
a.       Alih hutang piutang (hiwalah), trabsasi pengalian hutang piutang. Dalam praktek perbankan hiwalqah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan hutang.
b.      Gadai (rahn), untuk memberikan jaminan pembayaran kecuali kepada bank dalam membeikan pembiayaan
c.       Al-Qur’an, pinjaman kebaikan, digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat
d.      Waklah, nasabah memberi kuasa kepada bank untuk wewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer dan sebagainya
e.       Kafalah, bak garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.




[1] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajement Bank Syariah (Jakarta : Alfabet, 2003), 1
[2] ibid, 12
[3] Lukman Dendawijaya Manajement Perbankan (Jakarta : Ghalia Indonesia, 203) 17
[4] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajement Bank Syariah, 2
[5] Muhammad Manajement Bank Syai’ah (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002), 13
[6] Muhammad, Manajement Bank Syari’ah (Yogyakarta  : Ekonisia, 2004), 9

Related Posts:

PASAR MODAL SYARIAH

PASAR MODAL SYARIAH
(pengertian, sejarah, dan gambaran pasar modal, serta fatwa dewan syariah nasional tentang investasi syariah)

A.  Pengertian Pasar Modal dan Surat Berharga
Pasar modal merupakan salah satu sarana untuk melakukan kegiatan investasi. Pasar modal sama seperti pasar pada umumnya, yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan objek yang diperjual belikan adalah hak kepemilikan perusahaan dan surat pernyataan utang perusahaan. [1] Pada pasar modal konvensional, di pasar tersebut diperjual belikan instrumen keuangan saham seperti saham, obligasi, waran, right, obligasi konvertibel, dan berbagai produk turunan derivatif seperi opsi (put atau call money).
Dalam menjalankan fungsinya pasar modal dibagi menjadi tiga macam yaitu:[2]
1.  Pasar perdana, adalah penjualan perdana efek atau penjualan efek oleh perushaan yang menerbitkan efek sebelum efek tersebut dijual melalui bersa efek. Pada pasar perdana efek dijual dengan harga emisi, sehingga perusahaan yang menerbitkan emisi hanya memperoleh dana dari penjualan tersebut.
2.    Pasar sekunder, adalah penjalan efek setelah penjualan pada pasar perdana berakhir. Pada pasar sekunder ini harga efek ditentukan berdasarkan kurs efek tersebut.
3. Bursa paralel, merupkan bursa efek yang ada. Bagi perusahaan yang menerbitkan efek yang akan menjual efeknya melalui bursa dapat dilakuakn melalui bursa paralel. Bursa paralel merupakan alternatif bagi perusahaan yang go public memperjualbelikan efeknya juka dapat memenuhi syarat yang ditentukan pada bursa efek.  
Surat berharga atau sering disebut dengan ekuitas merupakan suatu kertas yang menunjukkan hak dari pemodal untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut, dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut mendapatkan haknya. Surat berharga yang bersifat ekuitas umumnya dikenal dengan saham sedangkan surat berharga fixed income dikenal dengan obligasi.

B.  Sejarah
Pada awalnya prinsip syariah islam diterapkan pada industri perbankan dan Cairo merupakan negara yang pertamakali mendirikan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama “Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil (tanpa riba). Berdirinya Nasser Social Bank tersebut, kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB) dan the Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Kuwait Finance House tahun 1977.
Selanjutnya penerapan prinsip syariah pada sektor di luar industri perbankan, juga telah dijalankan pada industri asuransi (takaful) dan industri Pasar Modal (Pasar Modal Syariah). Pada industri Pasar Modal, prinsip syariah telah diterapkan pada instrumen obligasi, saham dan fund (Reksa Dana). Adapun negara yang pertama kali mengintrodusir untuk mengimplementasikan prinsip syariah di sektor pasar modal adalah “Jordan dan Pakistan”, dan kedua negara tersebut juga telah menyusun dasar hukum penerbitan obligasi syariah. Selanjutnya pada tahun 1978, pemerintah Jordan melalui Law Nomor 13 tahun 1978 telah mengijinkan Jordan Islamic Bank untuk menerbitkan Muqaradah Bond. Ijin penerbitan Muqaradah Bond ini kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Muqaradah Bond Act pada tahun 1981. Sementara pemerintah Pakistan, baru pada tahun 1980 menerbitkan the Madarabas Company dan Madarabas Ordinance.
Secara umum, penerapan prinsip syariah dalam industri pasar modal khususnya pada instrumen saham dilakukan berdasarkan penilaian atas saham yang diterbitkan oleh masing-masing perusahaan, karena instrumen saham secara natural telah sesuai dengan prinsip syariah mengingat sifat saham dimaksud bersifat penyertaan. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikatergorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam, seperti: alkohol; perjudian; produksi yang bahan bakunya berasal dari babi; pornografi; jasa keuangan yang bersifat konvensional; asuransi yang bersifat konvensional.


C.  Gambaran Pasar Modal Syariah di Indonesia
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Harus dipahami bahwa ditengah maraknya pertumbuhan kegiatan ekonomi syariah secara umum di Indonesia, perkembangan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia masih dianggap belum mengalami kemajuan yang cukup signifikan, meskipun kegiatan investasi syariah tersebut telah dimulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997 melalui instrumen reksa dana syariah serta sejumlah fatwa DSN-MUI berkaitan dengan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia.
         Perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Secara umum konsep pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep pasar modal syariah disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.
Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar syariah. Dengan semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, disamping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan.

D.  Fatwa DSN yang mengatur tentang kegiatan investasi syariah
Dalam perjalanannya, perkembangan pasar modal syariah di Indonesia telah mengalami kemajuan, sebagai gambaran setidaknya terdapat beberapa perkembangan dan kemajuan pasar modal syariah yang patut dicatat diantaranya adalah telah diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah :
1.     No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham.
2.    No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.
3.    No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
4.    No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5.    No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan      Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6.    No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa terdapat karekteristik tersendiri dalam melakukan investasi syariah, termasuk juga di sektor pasar modal. Batasan tersebut adalah berupa kesesuaian suatu produk investasi atas prinsip-prinsip ajaran Islam. Dewan Syariah Nasional (DSN) suatu lembaga dibawah MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang dibentuk tahun 1999 telah megeluarkan ketentuan mengenai kegiatan investasi di pasar modal syariah. Ketentuan tersebut dituangkan kedalam beberapa fatwa MUI tentang kegiatan investasi yang sesuai syariah ke dalam produk-produk investasi di Pasar Modal Indonesia.
Fatwa DSN Nomor : 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah Di Bidang Pasar Modal[3], telah menentukan tentang kriterian produk-produk investasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Pada intinya, produk tersebut harus mememuhi syarat, antara lain :
1.     Jenis Usaha, produk barang dan jasa yang diberikan serta cara pengelolaan perusahaan Emiten tidak merupakan usaha yang dilarang oleh prinsip-prinsip Syariah, antara lain :
a.    Usaha perjudian atau permaian yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
b.    Lembaga Keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
c.    Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman haram.
d.    Produsen, distributor, dan/ atau penyedia barang/ jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

2.    Jenis Transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, maysir, dan zhulm meliputi : najash, ba’i al ma’dun, insider trading, menyebarluaskan informasi yang menyesatkan untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang, melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keaungan ribawi lebih dominan dari modalnya, margin trading dan ikhtikar. 




[1] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Cetakan empat, Penerbit: Raja Grafindo:2004.
[2] ibid
[3] Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta (Bank Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2) hlm 263

Related Posts: