Perbankan Dalam Islam

Perbankan Dalam Islam
Gagasan 'pembalikan paradigma' perbankan konvensional cukup menarik dicermati. Gagasan ini bukan hanya mengubah akar dan basis ontologis bank yang selama ini berakar pada bunga, tetapi suatu mekanisme dan hubungan mutual antara lembaga bank dengan nasabah dan masyarakat pada umumnya.
Prinsip kerja bank yang didasari nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana diyakini kaum santri tentang hak milik sebagai amanah dan fungsi publik dari setiap hak milik. Selain itu ia didasari nilai kerja sebagai ibadah di mana setiap tindakan ekonomi (bank) selalu dilihat dan diukur dari ada dan tidaknya kejujuran dan keadilan keuntungan di dalamnya.
Berbagai program telah berjalan dari 'dompet dhuafa' atau 'tabungan haji' yang habis pakai, perlu dikembangkan lebih produktif. Program 'tabungan korban' atau 'tabungan zakat' dikembangkan untuk fungsi-fungsi ekonomis yang lebih produktif.
Bagi umat yang berniat dan siap naik haji di suatu tahun bisa menabung yang baru akan dilaksanakan beberapa tahun kemudian yang bunganya dihibahkan atau dipergunakan penambal modal usaha umat. Demikian pula untuk ibadah korban, sodakoh atau zakat hingga tabungan sodakoh atau infak pembangunan masjid, pesantren atau sekolah.
Bank diharapkan bermanfaat bagi tujuan realisasi usaha pengembangan ekonomi produktif bagi umat melalui jaringan organisasi dan tradisi pengajian, selain lembaga pendidikan dan kesehatan. Hal ini diharapkan bisa mematahkan rantai kemiskinan umat yang bukan hanya terjadi di masa modern, tetapi sudah terjadi bersama sejarah umat.
Prinsip Amanah
Kemiskinan muncul akibat sistem ekonomi dan budaya yang dirancang tidak untuk maksud meniadakan kemiskinan, tetapi bagi keuntungan pemodal. Di saat ekonomi kapitalis gagal memecahkan problem kemiskinan yang diciptakannya, prinsip amanah, ta'awun dan perwalian dari ajaran Islam perlu dikembangkan menjadi sebuah teori dan sistem ekonomi santri berkeadilan dan produktif bagi kepentingan umat secara kolektif.
Fakta bahwa penduduk dunia modern yang hidup dalam kemiskinan adalah mereka yang disebut umat Muslim. Fakta serupa dengan mudah bisa dilihat di negeri ini yang penduduknya mayoritas memeluk Islam. Tentu, bukan karena Muslim mereka jadi miskin, tetapi perlu dijelaskan bagaimana hubunga antara kenyataan miskin dan fakta memeluk agama Islam.
Sebaliknya negeri-negeri berpenduduk non-Muslim adalah negeri kaya dan maju, walaupun kemakmuran negeri-negeri tersebut harus dibayar oleh kemiskinan negeri-negeri lain baik yang merupakan bekas jajahannya atau yang berada di luar kawasan Barat dan Eropa.
Sistem sosial dan ekonomi negeri-negeri maju tak menyediakan ruang bagi negeri miskin mengubah nasibnya menjadi kaya. Inilah cacat bawaan sistem sosial kapitalis dari ekonomi modern di mana hasil kerja merupakan hak milik mutlak pribadi yang tak mungkin dibagi-bagi kepentingan orang banyak yang miskin. Seorang ekonom Jerman EE Schumacher dalam buku terkenalnya Small Is Beautiful memberikan kritik keras pada etika ekonomi modern tersebut.
Soalnya ialah bagaimana mengembangkan ekonomi produktif, sekaligus memiliki nilai sosial bagi kepentingan orang banyak, rakyat kebanyakan dan umat yang awam? Sistem ekonomi modern yang produktif bisa dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi umat yang bersifat kolektif jika diarahkan memenuhi prinsi ta'awun, amanah dan perwalian (baca: mudharabah) sebagaimana gagasan Waqar S Husaini.
Kerja ekonomi seperti ini mirip mekanisme asuransi atau multilevel di mana mereka yang lebih memerlukan diberi prioritas (baca: amanah) untuk menikmati keuntungan di mana hasil kerja dan hak dari kelompok lain ditunda. Kewajiban zakat, infak, sodakoh, fitrah, korban, dan ibadah berdimensi sosial lain dijadikan sebagai model bagi pengembangan ekonomi berbasis umat tersebut di atas.
Potensi Dana
Jika berbagai bentuk kegiatan pengajian dikelola dengan fungsi tambahan koleksi dana produktif, setiap bulan bisa dikumpulkan miliaran rupiah. Dari dana ini banyak usaha bisa dilakukan yang bisa memberi keuntungan umat bagi kebutuhan ritual dan sosial, atau kapital. Hal ini bisa dilakukan bagi santri atau murid sekolah atau madrasah yang jika setiap hari menabung 100 rupiah tahun pertama bisa dikumpulkan dana 300-an ribu rupiah untuk setiap siswa atau santri.
Sepuluh ribu Sekolah Muhammadiyah dari 200 perguruan tinggi, di tahun pertama bisa mengumpulkan dana hampir setengah triliun rupiah. Jika dana ini dikelola oleh lembaga bank bisa dibiayai berbagai usaha produktif santri yang pada gilirannya menjadi dana abadi siswa. Hal ini bisa dikembangkan bagi pengajian yang dikelola oleh Muhammadiyah atau NU dan organisasi Islam lainnya.
Pertanyaannya ialah mampukah Bank Persyarikatan milik Muhammadiyah atau organisasi Islam lainnya memenuhi fungsi mediasi keuangan bagi kegiatan ekonomi dan ritual serta sosial kaum santri? Jawaban pertanyaan ini lebih banyak tergantung pada kesediaan kaum santri mengembangkan basis kapital bagi kepentingan umat itu sendiri yang sebenarnya sudah dimulai.
Yang diperlukan kemudian ialah bagaimana sistem keuangan modern bisa dimanfaatkan dengan beberapa modifikasi seperlunya sehingga terhindari dari riba sebelum teori moneter dan ekonomi santri bisa disusun.
Melalui jasa perbankan tersebut, agenda pengumpulan dana umat bisa dilakukan melalui sistem administrasi yang terbuka dan bertanggungjawab. Pengumpulan dana tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan jasa perbankan milik persyarikatan tersebut. Manfaat ekonomi santri berbasis umat di atas antara lain merupakan penarikan iuran anggota yang sekaligus berfungsi ekonomi produktif.
Selain itu, dana tersebut berfungsi sebagai pengumpulan modal bagi umat dan fungsi jaminan kesehatan, SPP dan naik haji atau pun tabungan berbagai jenis ibadah lain sperti korban dan zakat yang tentunya memerlukan hitungan ekonomi dalam sistem moneter.
Pada gilirannya dana abadi siswa dan umat bisa dimanfaatkan bagi usaha sekolah atau kesehatan gratis dan keperluan permodalan lainnya. Setiap siswa yang sejak tahun pertama menabung melalui sistem yang telah dikemukakan, tidak perlu lagi pembiayaan di tahun-tahun berikutnya. Demikian pula bagi keperluan pendidikan hingga di tingkat perguruan tinggi seperti pemeliharaan kesehatan anggota pengajian jika melakukan usaha dan serupa.
Jaminan Sosial
Kebutuhan ritual korban, zakat fitrah atau lainnya bisa dipenuhi melalui jasa perbankan santri atau ditambahkan bagi usaha pembesaran kapital santri. Pada putaran tahun-tahun berjalan bisa dikembangkan jaminan sosial bagi kaum buruh dan nelayan serta petani miskin atau pengembangan usaha agrobisnis dengan tenaga kerja dari umat setelah melalui serangkaian pendidikan profesi.
Penutup
Akhirnya yang penting ialah memulai. Sukses suatu daerah perlu dikembangkan sebagai pengalaman kolektif melalui jaringan organisasi. Sekecil apa pun sukses akan selalu berarti jika disadari bahwa nasib umat tergantung pemahaman diri dan tanggung jawab masa depan sejarah.
Itulah maksud ayat mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tak engkau kerjakan maksud hadits mulai dari diri sendiri dan ayat Allah tidak meminta tanggung jawab kecuali sesuai kemampuan seseorang dan hanya mereka yang bersedia menolong sesamanya akan memperoleh pertolongan Allah.
Melalui cara tersebut bisa direalisasi ajaran bahwa umat dan santri bagai satu tubuh saling memperkuat satu sama lain, sehingga fungsi Islam bagi rahmat seluruh umat bisa dipenuhi.


Related Posts:

0 Response to "Perbankan Dalam Islam"