FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI (makalah lengkap)

FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI

makalah ini membahas tentang kajian filsafat, antara pemikiran filsafat yunani dan pemikiran filsafat islam, persamaan dan perbedaan antara yunani dan islam dalam masalah filsafat, serta pandangan islam tentang filsafat. berikut ini uraiannya, lengkap dengan footnote dan daftar pustaka.
Sebagian para ahli filsafat, antara lain Ernest Renan, seorang filsuf Perancis, yang meninggal pada tahun 1892 M, seperti dikutif oleh Mushtafa Abdul Al-Raziq mengatakan bahwa bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang secara determinan mempunyai karakteristik suka memperdalam pemikiran dan menciptakan penemuan-penemuan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupannya, melainkan bangsa yang menyukai seni dan agama. Oleh sebab itu, adanya filsafat dalam Islam pada dasarnya bukanlah hasil cipta karya bangsa Arab sendiri. Yang sebenarnya terjadi, bangsa Arab mencoba mentransfer, mengomentari atau meringkas, bahkan ada yang mengkompromikan antara filsafat dan agama Islam, lalu dikatakannya, sebagai filsafat Islam.
Muhammad al-Bahiy mengomentari pernyataan Ernest Renan dengan mengatakan bahwa:
“Filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Yunani (Greek) yang dimasukkan ke dalam bangsa Arab Muslim melalui transliterasi dan trasformasi. Para sarjana Muslim begitu sibuknya memahami filsafat Islam. Sebagian ada yang mengeksplanasikan, sebagian yang lain mencoba memadukan antara filsafat Yunani dan prinsip-prinsip agama Islam apabila ternyata terjadi kontradiksi antara keduanya. Diantara beberapa filsuf yang berbuat seperti itu yaitu: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusydi. Mereka ini dianggap sebagai bagian dari orang-orang yang banyakmengetahui sejarah perkembangan rasional dalam Islam, para filosof, dan para ahli hikmahnya. Mereka yang berpandangan seperti ini adalah kelompok orientalis.[1]
Selanjutnya, Al-Bahiy mengatakan bahwa terdapat kelompok lain yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Arab merupakan suatu bangsa yang secara determinan mempunyai keistimewaan rasional seperti jenis bangsa manusia yang lain. Nilai rasionalitas itu dari keistimewaan inivatif yang secara konstan yang dinamakan adat.
Diantara mereka yang mengatakan seperti ini, yaitu Wilhelm Dilthey, seorang filsof Jerman yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah pemikiran bangsa Arab Muslim yang berkaitan dengan masalah alam fisik, metafisik, dan mengenai masalah manusia secara individual maupun social. Akan tetapi, pemikiran filsafat ini dibatasi oleh prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin agama Islam.[2]
Bahkan Al-Ahwani menyatakan bahwa filsafat Islam adalah pembahasan secara filosofis berkaitan dengan permasalahan-permasalahan makrokosmos dan manusia atas dasar ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[3]
Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Wilhelm dilthey di atas, cakupan filsafat Islam lebih luas daripada dikatakan oleh Al-Ahwani sebab Dilthey justru menganggap bahwa kajian yang tercakup dalam filsafat Islam bukan hanya menyangkut pembahasan tentang makrokosmos dan manusia saja seperti yang dikatakan oleh Al-Ahwani, melainkan menyangkut masalah makrokosmos manusia dan alam metafisika. Pada kenyataanya, memang para filosof Muslim bukan hanya membahas secara filosofis permasalahan makrokosmos saja, melainkan membahas secara mendalam permasalahan manusia dan metafisikanya.
Di dalam membahas makrokosmos, para filosof Muslim selalu berpedoman pada ajaran Al-Qur-an dan Sunah-Hadts Nabi Muhammad Saw. H.G. Sarwan antara lain menyatakan bahwa tuhan tidak statis, tetapi dinamis berdasarkan ayat Al-Qur-an yang artinya:
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”[4]
Padahal diantara filosof justru menganggap bahwa Prima Klausa (Tuhan) statis. Ibnu `Arabi dalam fushush al-Hikam, dengan teori wihdah al-wujudnya, menyatakan bahwa Alloh itu transenden dan imanen berangkat dari firman Alloh Swt:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir (imanen) dan Yang Bathin (transenden); dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”[5]
            Berkenaan dengan itu, pantaslah kalau T.J. De Boer (Tt. 29) seorang pemikir kebangsaan Belanda yang karyanya diterjemahkan oleh Edward R. Jones, BD, The history of philosophy in Islam menyatakan bahwa now the history of Phyloshophy in Islam is valuable, just because it sets forth the first attempt to appropriate the results of greek thinking, with greater comprehensiveness and freedom than in the early Christian dogmatic (kini dapat dinyatakan bahwa sejarah filsafat dalam Islam benar-benar ada sebab di situ terdapat seperangkat karya utama kaum Muslimin yang dapat dikatakan merupakan hasil karya kontinu sendiri sebagai hasil dari upaya secara bebas memahami pemikiran Yunani sehingga mampu manampakkan kebesaran yang komprehensif, yang berbeda dengan dogma-dogma Kristiani masa lalu).
Pada bagian lain, De Boer menyatakan bahwa By Muslim sciences and old or Non-Arab Sciences (pada abad ke-10 M oleh para sarjana Muslim, ilmu pengetahuan dibagi dalam ilmu-ilmu pengetahuan Arab dan ilmu-ilmu pengetahuan lam atau non-Arab). Secara umum, para filosof Yunani membahas permasalahan filsafat hanya bergantung pada kekuatan rasionalnya saja. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat disimak beberapa perbedaan dan persamaan para filosof Yunani dan para filosof Muslim.
Persamaan dan perbedaan Filsafat Islam dan Filsafat Yunani
Persamaan antara filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ni, nilai-nilai etika filsafat merupakan priduk akal, sedangkan nilai-nilai agama dipercayai sebagai ditentukan oleh Tuhan. Pada agama budaya sesungguhnya ia masih produk akal juga. Pada agama langitlah baru dapat dikatakan sebagai ketentuan Tuhan, sepanjang dipercayai bahwa agama langit dibentuk oleh wahyu, sedangkan agama budaya dilahirkan oleh filsafat.
Apabila dibahas ajaran tiap agama, selalu kita temukan penentuan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam Islam ini amat tegas digariskan. Terkenal sarinya “amar ma`ruf dan nahi munkar”, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.[6] Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan secara terperinci antara perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam.
Adapun perbedaan antara filsafat islam dan filsafat yunani adalah:
1.    Filsafat yang merupakan sumber pemikiran ilmiah Yunani hanya di dasarkan pada hipotesis-hipotesis dan pendapat-pendapat, sedangkan ilmu-ilmu Islam mendasarkan penyelidikan mereka atas dasar pengamatan dan percobaan.
2.    Orang-orang Yunani menganggap bahwa pengetahuan indrawi berkedudukan lebih rendah daripada pengetahuan rasio. Jadi, pengetahuan indrawi kurang dapat diandalkan sehingga mereka tidak mendirikan laboratorium-laboratorium. Ilmuwan-ilmuwan Muslim tetap mengandalkan pemikiran rasional, namun mereka melakukan pembuktian melalui pengamatan dan percobaan. Oleh sebab itu, mereka mendirikan laboratorium-laboratorium.
3.    Orang-orang Yunani hanya berfikir secara deduktif. Kaum muslimin diajari oleh Al-Qur’an supaya berfikir induktif dengan perintah dengan memperhatikan alam sekitarnya.
4.    Ilmu-ilmu Yunani hanya sekadar sekumpulan informasi. Ilmu-ilmu kaum Muslimin merupakan keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hokum dan teori.
5.    Yunani dalam jangka waktu 12 abad hanya melahirkan beberapa gelintir ilmuwan saja, sedangkan Islam hanya dengan 6 atau 7 abad saja telah melahirkan ribuan ilmuwan besar dan menjadi peletak dasar ilmu-ilmu modern.
6.    Yunani hanya meninggalkan beberapa buah buku bernilai. Sedangkan Islam telah meninggalkan beberapa ribuan karya tulis besar yang menjadi standar kajian ilmuwan Eropa di Perguruan tinggi (universitas) mereka sampai kini.
Sedangkan persamaan filsafat islam dan filsafat yunani adalah:
1.    Keduanya sama-sama menggunakan filsafat sebagai sarana untuk pengembangan pemikiran rasional.
2.    Keduanya mengembangkan progresif peradabannya melalui kegiatan kajian-kajian ilmiah di perguruan-perguruan tinggi yang terkonsentrasi secara sistematis dan terencana.
3.    Keduanya mengembangkan sejumlah peradabannya melalui pengembangan sejumlah perpustakaan-perpustakaan.
4.    Keduanya menggunakan para ilmuwan spesialis sebagai pelaksana pengembangan keilmuannya.
5.    Keduanya mengalami kemajuan ketika keduanya sangat menghargai karya-karya ilmuwan mereka sehingga para ilmuwan dengan tekunnya menggeluti keahliannya. Akan tetapi, keduanya mengalami kebangkrutan setelah keduanya tidak memperhatikan kesejahteraan para ilmuwannya sehingga para ilmuwan meninggalkan negeri keduanya.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam di atas, Islam terus berkembang. Namun menurut hemat penulis, kini setelah ilmu pengetahuan berkembang di Eropa, kaum Muslimin berbalik menjadi murid orang-orang Eropa. Hanya saying, ketika zaman keemasan Islam, kaum Muslimin menjadi murid-murid Yunani hanya mengambil nilai-nilai kebenaran Yunaninya saja sehingga kaum Muslimin tidak menjadi orang-orang Yunani meski telah mengadopsi ilmu-ilmu Yunani serta mengalami zaman kemajuan dan keemasan. Akan tetapi, kini kondisinya sangat berbeda. Banyak kaum Muslimin yang telah belajar ilmu-ilmu Barat kini telah menjadi orang-orang Barat. Tampaknya pada masa kini, sebagian para sarjana Muslim yang belajar di dunia Barat, setelah mereka kembali, bukan hanya ilmu-ilmu barat yang dibawanya, melainkan membawa juga budaya-budaya Barat. Sehingga budaya Barat berkembang di dunia Islam, yang secara kebetulan dianggap para tokoh Muslim ortodoks, terutama yang sangat tidak setuju kalau kaum Muslimin belajar dari dunia Barat menolak secara tegas semua produk barat.
Pandangan agama Islam terhadap filsafat
1.    Konfrontasi Filsafat dan Agama
Dialog yang abadi terkandung dalam konfrontasi filsafat dan agama. Agama mengejek filsafat, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari kebenaran, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari kebenaran, yang ditemukannya hanya kebenaran semu. Tiap saat ia mengira mendapat kebenaran, untuk disangsikan, dikritik dan ditinggalkannya lagi, mencari kebenaran yang sesungguhnya. Lihat kami, kata agama. Kami percaya titik. Dengan demikian kami tidak membuang-buang waktuuntuk berfikir mencari kebenaran, yang setelah diperdapat ditinggalkan lagi, karena ternyata tidak benar. Ketahuilah, budi manusia itu nisbi. Ia tidak akan mungkin menangkap kebenaran yang sejati.
Filsafat menjawab dengan ejekan pula. Kami ingin kebenaran yang kami usahakan dengan tenaga kami sendiri. Kami tidak seperti anak kecil, yang mudah percaya saja tentang agama yang dikatakan kepadanya. Dan sesungguhnya kegembiraan itu bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, tetapi dalam mencarinya.
Filsafat agama datang mengetengahi. Sebagai orang agama, filosof itu percaya, hasil penghayatan hatinya. Sebagai filosof, ia mempersoalkan kepercayaannya itu mengangkatnya ke alam budi, sehingga secara rasional dapat didudukkan.
2.    Pertentangan Ulama dan Filsafat
Dengan latar belakang keterangan pada Peranggan 50 mudah kita mengerti kenapa filsafat Islam mendapat kritik dan perlawanan kalangan ulama-ulama (seperti Al-Ghazali) ada yang menolak filsafat Islam seluruhnya. Terhadap kritik dari perlawanan itu, filosof-filosof Islam menjawab, bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu, karena kedua-duanya memperkatakan prinsip-prinsip yang gaib, jauh dari ujud yang dihadapi. Tujuan filsafat senada dengan tujuan agama, kata mereka. Kedua-duanya bertujuan membina kebahagiaan melalui iman dan amal yang baik. Setelah khajanah ilmu dan filsafat Yunani diterjemahkan oleh kaum sarjana Islam, dinamakanlah ia ulum-ul-awail (ilmu-ilmu kuno). Lawannya ialah al-ulum-us Syari`iyyah (ilmu-ilmu Syara`). Segolongan ahlusunnah meragukan kebenaran ulum-ul-awail itu, bahkan mereka ini menolak tiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat.
Yang menjadi sasaran utama kemarahan ahlisunnah adalah metafisika atau Theodise Aristoteles. Pemikiran Aristoteles dipandang mereka berlawanan sama sekali dengan kepercayaan Islam. Ilmu mantik Aristoteles dipandang berbahaya bagi akidah, karena ilmu inilah yang mengendalikan pemikiran dalam filsafat. Ilmu matematika juga dikritik, karena dapat menyiapkan orang ke jalan filsafat.
Pertentangan antara filosof dan ulama (pertentangan ini bertambah tajam dengan pengaruh serangan Al-Ghajali terhadap filsafat), terutama di dunia Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar. Nasib demikian dialami oleh Ibnu Rusyd.
Dari ucapan Ibnus-Shalah tentang filsafat kita memperoleh gambaran, bgaimana pandangan kaum ulama umumnya dahulu terhadap fiksafat:
Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syari`ah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh Syetan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina daripada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita.
Tentang mantiq, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedangkan jalan kepada keburukan adalah buruk pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara`, tidak dibolehkan oleh sahabat, tabi`in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh-tokoh umat mana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu.
Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantic dalam hokum-hukum Syara` maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukumSyara`tidak memerlukan mantic sama sekali. Apa yang dikatakan oleh orang yang ahli logika tentang definisi dan argument-argumenuntuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu Syari`at yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syari`at dan ilmu-ilmunya telah lengkap, dan para ulamanya telah menyelami lautan kebenaran dan ketelitian, tanpa mantic, filsafat, dan ataupun pilosof-pilosof.
Barangsiapa mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantic dengan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk Syetan dan ditipunya.[7]
Demikianlah serangan Ibnus-Shalah terhadap filsafat yang besar pengaruhnya terhadap Ahlusunnah. Sebelum itu ulama-ulama terkenal, seperti Ibnu Hazm, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu il Qayyim telah pula melontarkan kritik-kritik yang pedas.
Sekalipun filsafat ditolak oleh ulama-ulama, namun dalam prakteknya tanpa disadari, ulama-ulama itu berfilsafat juga. Dalam membahas ajaran-ajaran Islam, ilmu mantic mau tidak mau dipergunakan. Ilmu kalam tidaklah lain filsafat ketuhanan. Dalam membina hokum dan metode-metodenya dan ilmu-ilmu Keislaman, ulama-ulama telah memasuki lapangan filsafat tanpa disengajanya.
Serangan-serangan gencar ulama itu dalam perjalanan sejarah makin lemah. Dalam peredaran masa dan perkembangan Islamdari satu negeri ke negeri lain, timbul masalah-masalah yang tidak langsung dijawab oleh Al-Qur-an dan Hadits, akal harus dipergunakan, ijtihad harus digerakan,. Makin dipelajari Al-Qur-an dan Hadits makin ternyata, bahwa Islam memberikan kebebasan berfikir. Kebebasan yang sehat ialah yang diatur oleh hikum. Kebebasan berfikir biasa, yang membentuk filsafat, diatur oleh logika. Kebebasan berfikir Islam, yang membentuk filsafat Islam, diatur oleh ilmu mantik dan diasaskan pada Al-Qur-an dan Sunah-Hadits. Berfikir yang diatur oleh ilmu mantic, berasaskan naqal adalah system berfikir Islam, yang diistilahkan ijtihad. Ijtihad dengan sistematis, radikal dan universal membentuk filsafat Islam. Tanpa pengasasan pada naqal filsafat itu bukan filsafat Isla. Pengasasan ini dapat membuktikan pada ulama bahwa filsafat itu bukanlah bujukan dan rayuan Syetan.[8]
3.    Pembelaan filsafat oleh tokoh muslim
Ibnu Rusyd membela filsafat dengan menunjukan fungsi filsafat sebagai penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan yang Menciptakan-Nya.[9] Al-Qur-an berkali-kali menyuruh demikian, Misalnya:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”[10]
“…………..Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”[11]
Ibnu Rsyd menunjuk kepada nadhar (yandhuru fi, memikirkan tentang) dan i`tibar dalam kedua ayat itu. Kedua ayat dengan istilah-istilah itu menyuruh kepada qiyas, yakni pengambilan hukum yang belum diketahui dari sesuatu yang sudah diketahui. Dalam logika ini disebut silogisme. Kita harus mengarahkan pandangan kita kepada alam wujud dengan qiyas aqli. Karena itu penyelidikan filsafat adalah wajib. Kalau dari ayat Al-Hasyr itu seorang fakih menetapkan adanya qiyas syar`I (kias dalam fiqih), kenapa seorang filosof tidak berhak pula menetapkan qiyas aqli? Kalau dikatakan qiyas aqli bid`ah, bukanlah qiyas syar`I juga bid`ah? Kedua-duanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. [12]
Manakala pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara`, adalah ahli piker harus mempelajari ilmu mantic dan filsafat, sekalipun keduanya itu berasal dari luar Islam. Andai kata ada orang karena mempelajari filsafat menjadi sesat, itu bukanlah salahnya filsafat, tetapi karena orang itu tidak memiliki kemampuan untuk berfilsafat, atau sebab mempelajarinya tanpa guru. Diambil dari ibnu rasyd missal tentang minum air. Kalau ada orang tercekik lalu mati, adalah mati karena tercekik minum air suatu peristiwa yang kebetulan atau kekecualian, sedangkan mati karena haus adalah kelaziman.[13]
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa filsafat adalah karya seluruh umat manusia oleh semua angkatannya, karya mana dimulai buku-buku Yunani. Manakala lapangan ilmu dan teknik tidak mungkin diselesaikan oleh seorang diri semata-mata, apalagi filsafat sebagai induk dari segala ilmu yang ada, sehingga sudah sepatutnyalah kita mempelajari ilmu filsafat.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Prof, Dr, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT Remaja Rosda Karya, Cet. XVI, Bandung, 2008
Al-Qur-an dan Terjemahannya
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Pertama, PT Bulan Bintang, Cet. 6, Jakarta, 1992
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1969
Irawan, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama Press, Cet. IV, Bandung, 2008
Louis O. Kattsolf, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996
Manaf, Mujahid Abdul, Sejarah Agama-Agama, Cet. II, Jakarta, 1996
Rozak, Abdul, Filsafat Umum, Cet. I, Bandung, 2002





[1] Abdul Rozak, Filsafat Umum, Cet. I, Bandung, 2002, hal. 21-22
[2] Louis O. Kattsolf, Prof, Dr, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996, hal. 66
[3] Ahmad Tafsir, Prof, Dr, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT Remaja Rosda Karya, Cet. XVI, Bandung, 2008, hal 5
[4] Al-Qur-an Surat Ar-Rahman (55) : 29
[5] Al-Qur-an Surat Al-Hadid (57) : 3
[6] Manaf, Mujahid Abdul, Drs, Sejarah Agama-Agama, Cet. II, Jakarta, 1996, hal. 26
[7] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta : Bulan bintang, 1969) p. 27.
[8] Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Pertama, PT Bulan Bintang, Cet. 6, Jakarta, 1992
[9] Irawan, S.Pd, M. Hum, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama Press, Cet. IV, Bandung, 2008, hal. 29
[10] Al-Qur-an Surat Al-A`raaf (7) : 185
[11] Al-Qur-an Surat Al-Hasyr (59) : 2
[12]Louis O. Kattsolf, Prof, Dr, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996
[13] Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Pertama, PT Bulan Bintang, Cet. 6, Jakarta, 1992

Related Posts:

0 Response to "FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI (makalah lengkap)"