ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3 (makalah lengkap)

ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN
Bag. 3
      makalah ini membahas tentang islam dalam konsep fazlur rahman, pada bagian 3 ini yang akan diuraikan adalah tentang hari akhir, ide pokok alquran, politik dan kepemimpinan, konsep etika.
1.    Hari Akhir
Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya.[1] Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur bersama seluruh kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran menerangkan tentang hari kiamat dengan penggambaran kehancuran kosmos secara menyeluruh dengan maksud menggambarkan kekuasaan Tuhan.
Dalam kaitan ini, Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus memahami Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta (setelah kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level kehidupan yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran dunia secara total, tetapi hanya transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain.[2]
Hari kiamat merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan adalah di atas dunia ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang hanya terjadi sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang dan mendapatkan hasil yang baik. Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya bersifat spiritual karena raga dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan identitas atau kepribadian manusia yang sesungguhnya.[3] Dengan demikian, yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan atau penderitaan yang dirasakan manusia di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan spiritual).
Konsep teologi yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri yang ditulis dalam satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi pemikiran sebagai hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku dan artikel tulisannya, ditemukan beberapa doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh aliran-aliran terdahulu, yang kemudian dikritisinya. Dari berbagai tulisannya inilah apabila dicermati akan tampak bahwa konsep teologinya berpegang pada konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema pokoknya tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep teologi yang dikemukakan Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut paham teologi rasional.
2.    Politik dan Kepemimpinan
Fazlur Rahman menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Secara umum, klasifikasikan pandangan menegenai persoalan kepemimpinan tidak terlepas dari pandangan mereka tentang hubungan negara dan agama, yang secara ringkas ada 3 (tiga) arus besar pendapat para pemikir Islam tentang hubungan Islam dan negara ini, yakni:
a.    Kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi. Mereka menolak gagasan negara kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi. Jadi menurut pendapat pertama ini adalah, wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat, serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan Alquran..
b.    Kelompok yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian mendirikan negara bukan sebuah kewajiban. ‘Ali ‘Abd  Ar-Ráziq misalnya, tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad saw. Buktinya hanya beberapa rasul saja yang menjadi raja seperti nabi Dawud, justru kebanyakannya rasul itu bukan raja, melainkan hanyalah rasul semata.
c.    Di luar kelompok yang pro dan kontra di atas yang pendapatnya dapat dianggap sebagai sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja, tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.[4]
Menurut Fazlur Rahman, adalah keliru apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang menyeluruh dan terperinci. Tuntutan Alquran tentang kehidupan bernegara tidak menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting prinsip-prinsip yang terdapat dalam Alquran itu harus di-transformasikan ke dalam bentuk rumusan-rumusan kenegaraan yang dipandang perlu akan memenuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.[5]
Menurut Fazlur Rahman, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus dijelmakan dalam sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan. Para pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan berupaya menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif, integratif dan toleran.[6]
Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tujuan utama Alquran adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat ethis dan egalitarian. Jadi masyarakat Islam terbentuk karena ideologi Islam. Kondisi ideal dari tatanan masyarakat Islam itu adalah "yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan."[7]
Untuk tercapainya tujuan di atas, masya-rakat memerlukan pengaturan tersendiri, seperti pemenuhan kebutuhan bersama. Untuk melaksana-kan urusan bersama ini, Fazlur Rahman me-nyebutnya sebagai urusan pemerintahan, secara jelas Alquran memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan syura [dewan atau majelis konsultatif] di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Dalam hal ini Rahman mengemukakan:
Syura was a pre-Islamic democratic Arab institution which the Qur'an (42:38) confirmed. The Qur'an commanded the Prophet himself (3: 159) to decide matters only after consulting the leaders of the people. But in the absence of the Prophet, the Qur'an (42: 38) seems to require some kind of collective leadership and responsibility.
Syura ini adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh Alquran (QS. as-Syuara: 38). Nabi Muhammad sendiri diperintahkan Alquran (QS. Ali Imran: 159) untuk memutuskan persoalan-persoalan yang ada setelah berkonsultasi dengan para pemuka masyarakat. Setelah Muhammad tidak ada, tampaknya Alquran (QS. as-Syura: 38) menghendaki semacam kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.
Itulah sebabnya Alquran walaupun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, tetapi di dalam kondisi tertentu Alquran juga mengakui bahwa negara sebagai wakil masyarakat yang tertinggi.Pemberontakan terhadap negara dapat diganjar dengan hukuman yang berat, berdasarkan firman Allah:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.....
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]”.[8]
Ayat tersebut menjelaskan ganjaran terhadap orang-orang yang memberontak terhadap Allah dan Rasul-Nya dan berbuat aniaya di muka bumi adalah hukuman mati, digantung di atas salib, kaki dan tangan dipotong secara bersilang, atau dibuang - demikian hukuman buat mereka dalam kehidupan dunia ini sedang di akhirat dan bagi mereka hukuman yang lebih berat, kecuali bagi mereka yang bertobat.
Akan tetapi Fazlur Rahman juga menegaskan bahwa pemberontakan bukan berarti tak diizinkan dalam Islam. Menurut Alquran, semua nabi sesudah Nabi Nuh as. adalah pemberontak terhadap tatanan masyarakatnya. Yang menjadi kriteria bagi Alquran atas upaya pemberontakan tersebut adalah apa yang selalu disebutnya sebagai "penyelewengan di atas dunia" yang diartikan sebagai keadaan yang menjurus kepada pengabaian hukum secara politik, etis, atau sosial ketika urusan-urusan nasional dan internasional tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga menimbulkan kekacauan bagi masyarakat.[9]
Pada umumnya kaum Muslimin disuruh untuk mentaati Allah, Rasul dan para peinimpin-peinimpin mereka yang dipilih maupun yang diangkat. Hal ini sejalan dengan ayat Alquran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ....
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”[10]
Selanjutnya Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa tidak dapat disangkal bahwa di dalam sejarah Islam, telah terjadi faksi-faksi politik yang didasarkan pada doktrin agama, menyebabkan munculnya sikap dan perilaku politik tertentu golongan-golongan Islam. Muslim Sunni misalnya, yang menandaskan konsep laissez faire,[11] sangat menekankandoktrin mengenai kepatuhan kepada otoritas de facto, yang menghasilkan lemahnya sikap kriteria masyarakat terhadap perkembangan sekitarnya.
Perpaduan antara kepatuhan politik yang sengaja dibentuk dengan kepasifan moral masyarakat, tidak hanya memungkinkan oportunisme politik, tetapi tampaknya juga memberikan dukungan doktrinal kepada oportunisme tersebut. Walaupun demikian, jika tidak didukung oleh faktor-faktor dominan lainnya, doktrin pasifisme moral dan kepatuhan politik yang murni, tentu tidak akan menyebabkan sikap yang begitu saja menerima oportunisme politik. Jadi sangat disayangkan bahwa dalam sejarah umat Islam, kepasifan politik dan moral tersebut ternyata terus berkembang di kalangan umat Islam.[12]
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
3.    Konsep Etika
Salah satu karakter pemikir Islam adalah komitmennya terhadap proyek reconstruction (membangun kembali) atau rethinking (memikirkan kembali) segala sesuatu yang berkaitan dengan masya rakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi kemanusiaan dan peradabannya Untuk itu para akademisi Islam senantiasa akrab dengan perubahan (change) dan memang mereka sendiri menjadi penggeraknya.[13]
Berkaitan dengan ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa etika bukan saja sebagai the basic elan of the Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri manusia. Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat diubah. Ia merupakan “perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat hukum moral. Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut dengan “ibadah”.[14] Penyusunan etika Alquran menurut Fazlur Rahman didasarkan pada dua alasan, yaitu Alquran dalam keyakinan umat Islam adalah kalam Allah, dan Alquran diyakini umat Islam mengandung secara aktual dan potensial jawaban-jawaban atas semua masalah kehidupan sehari­-hari.[15]
Oleh karena itu, suatu sistem etika yang tumbuh dari Alquran menjadi kebutuhan yang perlu dikembangkan sehingga misi Alquran sebagai petunjuk bagi manusia benar-benar aktual dan aplikatif. Sebagaimana disebutkan Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi Fazlur Rahman adalah merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya.[16] Etika Alquran dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman dapat ditelusuri dari gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi konsep-konsep kunci etika Alquran, yaitu istilah “iman, islam, dan taqwa”. Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika Alquran sebagai hakikat dari Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek ajarannya.



BAB III
PENUTUP

Dalam konteks pembaharuan Islam, Fazlur Rahman adalah penerus kaum modernis. Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber modern, ia menyarankan pijakan yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah Islam klasik yang sangat kaya. Berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak dalam romantisme berlebihan, Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan kekayaan yang terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki relevansi  untuk mengatasmasalah-masalah modern.
Dapat disimpulkan bahwa ada dua kunci dalam memahami kompleksitas pemikiran Fazlur Rahman, (1) relevansi dan (2) integritas. Relevansi berkaitan dengan pemikiran Rahman dan integritas berkaitan dengan sosok Fazlur Rahman sebagai pribadi. Kontruksi metodologi yang dirumuskanFazlu Rahman dalam memahami Islam pada dasarnya adalah suatu upaya untuk menemukan relevansi berbagai kekayaan yang terkandung dalam khazanah Islam dengan konteks komodernan yang dihadapi umat Islam saat ini.
Tentang filsafat kenabian, Fazlur Rahman mengkritik kecenderungan elitis di kalangan intelektual muslim yang menggunakan “metode kebenaran ganda”, yaitu kebenaran untuk kaum elit dan kaum awam. Kecenderungan elitis seperti ini mendasarkan argumennya pada anggapan bahwa masalah-masalah intelektual yang sensitif semestinya tidak dibicarakan secara terbuka, sebab orang awam tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai untuk memahami persoalan-persoalan intelektual tersebut, yang pada gilirannya justru membuat mereka bingung.
Anggapan semacam ini jika dibiarkan, menurut Fazlur Rahman, sangat berbahaya karena bisa mendorong tumbuhnya kemunafikan di dalam masyarakat. Seperti, eksistensi kenabian ditinjau dari sudut filsafat dan tasawuf maupun fiqih. Banyak sekali kasus yang terjadi dalam Islam, misalnya al-Ghazali yang menulis buku yang tidak dimaksudkan untuk masyarakat luas, tetapi ditujukan untuk kalangan terbatas. Wallahu a’lamu bial-shawab.



DAFTAR RUJUKAN

A’la, Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam wacana islam indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003
Adnan, Amal Taufik (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1987
Al-Bahy, Muhammad, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran Islam dan Perkembangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Al-Quran dan Terjemahannya
Amal, Taufik Adnan (Peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993)
Amal, Taufik Adnan dan Fauzi, Ihsan Ali, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang Pemikir, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman, Bandung: Mizan, 1993
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Effendi, Djohan, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Bandung: Mizan, 1985
Fahal, Muktafi dan Aziz, Achmad Amir, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press, 1999
Issawi, Charles, An Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat Islam tentang Sejarah, Bandung: Tintamas, 1967
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Bandung: Pustaka, 1984.
Ma’rif, Ahmad Syafi’i, Peta Bumi Intelektual Islam, Bandung: Mizan, 1994
Maarif, Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985
Madjid, Nurcholish, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993
Madjid, Nurcholish, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember, 1993
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Poerwantara Dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991
Rahman, Fazlur, “Mengapa saya hengkang dari Pakistan” dalam Islamika, No.2 Oktober-Desember 1993
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago press, 1982
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Senoaji Saleh, Jakarta: Bumi Aksara. 1987
Rahman, Fazlur, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 2003
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1984
Shill, Edward, Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran Intelektual, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993
Sholihin, M dan  Anwar, Rosihon, Kamus Tasawuf , Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002
Wan Daud, Wan Mohd. Nor, “Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No. 8,1991)




[1] Fazlur Rahman, Tema Pokok ..., h.154
[2] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam ..., h. 148
[3] Fazlur Rahman, Tema Pokok....,  h. 163
[4] Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 16.
[5] Ibid., 16
[6] Ibid., 16
[7] Q.S. Ali Imran [3]: 104.
[8] Q.S. al-Maidah [5]: 33-34
[9] Rahman, Tema Pokok, h. 64-65
[10] Q.S. an-Nisa [4]: 59
[11] Konsep laissez faire, konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat mengajarkan apa yang mereka sukai, dan tidak mencampuri urusan politik. Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu, h. 136.
[12] Rahman, Membuka Pintu, h. 137-138.
[13] Edward Shill, Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran Intelektual (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). 30
[14] Ibid.,32
[15] Ibid., h. 54.
[16] Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal Islamika, No. 2 (Oktober-Desember, 1993), h. 23.

Related Posts:

0 Response to "ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3 (makalah lengkap)"