Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
(Pengertian, sejarah dan tujuan, pendirian, organisasi, kendala dan strategi BPR Syariah)

Bank Perkreditan Rakyat Syariah merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.

Jenis lembaga keuangan mikro sangat bervariasi baik ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, lembaga keuangan mikro di Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu keuangan bersifat mikro formal terdiri dari bank, yaitu Bank Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI unit.
Menyadari permasalahan yang dihadapi oleh industri LKM (Lembaga Keuangan Mikro) diatas Bank Indonesia secara sistematis dan berkelanjutan terus melakukan langkah-langkah untuk mengembangkan BPR menuju industri yang sehat agar mampu memenuhi fungsinya dalam melayani usaha mikro dan kecil.

   A.  Pengertian BPR Syariah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut Undang-Undang (UU) perbankan No. 7 tahun 1992, adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Dalam pelaksanaan BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Prinsip Syariah. Dalam hal ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.

   B.  Sejarah dan Tujuan BPR Syariah
Status hukum BPR diakui pertama kali dalam pakto tanggal 27 Oktober 1998, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sejak dikeluarkanya UU No. 7 1992 tentang Pokok Perbankan keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas melalui ijin dari Menteri keuangan.
Berdirinya BPR syariah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembaga-lembaga keuangan sebagaimana disebutkan diatas. Lebih jelasnya keberadaan lembaga keuangan tersebut dipertegas munculnya pemikiran untuk mendirikan bank syariah pada ditingkat nasional. Oleh karenanya peran BPR syariah diperlukan untuk menangani masalah keuangan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut.

Adapun tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya BPR Syariah adalah:
a.  Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam, terutama masyarakat golongan lemah yang pada umumnya berada didaerah pedesaan.
b. Menamabah lapangan pekerjaan terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
c.  Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomo dalam rangka menin pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.

Untuk mencapai tujuan operasionalisasi BPR Syariah tersebut diperlukan strategi operasional sebagai berikut:
1.    BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
2.    BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
3.    BPR Syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.

   C.  Pendirian BPR Syariah
Dalam mendirikan BPR Syariah harus mengacu pada bentuk Hukum BPR Syariah yang telah dalam UU perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan NO. 10 tahun 1998 pasal 2, bentuk hukum suatu BPR Syariah dapat berupa: Perseroan terbatas, Koperasi, Perusahaan Daerah
Syarat untuk pendirian BPR Syariah adalah sebagai berikut:
BPR Syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan izin Direksi Bank Indonesia. BPR Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh :
a. Warga negara Indonesia
b. Badan Hukum Indonesia yang seluruhnya pemilikanya oleh warga negara Indonesia
c. Pemerintah Daerah.
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana diamaksud dalam huruf a, huruf b, dalam huruf c.

Pemberian ijin pendirian BPR Syariah, Sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan dengan dua tahap :
1. Persetujuan Prinsip, yaitu persetujuan untuk melakuakan persiapan pendirian BPR Syariah
2. Ijin Usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR Syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
SK DIR BI NO.32/36/1999 tidak memberikan kemungkinan bagi pihak asing untuk mendirikan BPR Syariah. Menurut ketentuan pasal 15 SK DIR BI tersebut, yang dapat menjadi pemilik BPR Syariah adalah pihak-pihak yang :
1. Tidak termasuk dalam daftar oranga tercela dibidang perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2.  Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangakutan memiliki integritas yang baik, antara lain :
a.  Memiliki akhlak dan moral yang baik
b.  Mematuhi peraturan perundang –undangan yang berlaku
c.  Bersedia mengembangkan BPR Syariah yang sehat.

Modal yang harus disetor untuk mendirikan BPR Syariah ditetapkan sekurang- kurangnya sebesar :
a.  Rp. 2.000.000.000 (dua miliar) untuk BPR Syariah yang didirikan didaerah Khusus ibukota Jakarta raya dan kabupaten/kotamadya tangerang, bogor, bekasi, dan karawang.
b.  Rp 1.000.000.000 ( satu miliar rupiah) Untuk BPRS yang didirikan diwilayah ibukota propinsi diluar wilayah yang disebut pada butir a
c.  Rp 500.000.000. ( lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan diluar wilayah yang disebut pada butir a,dan b

   D.  Organisasi BPR Syariah
         Menurut ketentuan pasal 19 SK DIR BI 32/36/1999, Kepengurusan BPRS terdiri dari dewan Komisaris dan direksi di samping kepengurusan, suatu BPRS wajib pula memiliki dewan pengawas syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BPRS. Jumlah anggota Dewan komisaris BPRS harus sekurang kurangaya 1 orang. Sedangkan direksi BPRS sekurang-kurangnya harus berjumlah 2 orang. Anggota direksi dilarang memiliki anggota keluarga dengan :
1.  Anggota direksi lainya dalam hubungan sebagai orang tua, termasuk mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar, suami/istri.
2.  Dewan komisariat dalam hubungan sebagai orang tua, anak, suami/isteri.

Untuk menjaga konsistensi dan kelangsungan usaha BPRS ditentukan bahwa:
a.  BPRS dilarang melakukan usaha secara konvensional
b.  BPRS tidak diperkenankan untuk merubah kegiatan usahanya menjadi BPR konvensional.
c.  BPRS yang semula memiliki izin usahanya sebagai BPR konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan perinsip syariah, tidak diperkenankan untuk mengubah setatus menjadi BPR konvensional.
    
Pembukaan Kantor cabang BPRS dapat membuka kantor cabang hanya dalam wilayah propinsi yang sama dengan kantor puasatnya. Pembukaaan kantor cabang BPRS dapat dilakukan hanya dengan izin Direksi bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor cabang wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS. BPRS yang akan membuka kantor cabang wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 12 bulan terakhir tergolong sehat. Dan dalam pembukaan kantor cabang BPRS wajib menambah modal disektor sekurang-kuranganaya sebesar jumlah untuk mendirikan BPRS untuk setiap kantor.

   E.  Kendala dan strategi BPR Syariah
Dalam prakteknya BPR syariah mengalami berbagai kendala, diantaranya adalah:
  • Kiprah BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah, bahkan beberapa pihak menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. oleh karena itu, BPR syariah perlu meneguhkan identitasnya sebagai BPR yang menggunakan prinsip syariah.
  • Upaya untuk meningkatkan profesionalitas kadang terhalang rendahnya sumber daya yang dimiliki oleh BPR syariah. sehingga proses BPR syariah dalam melakukan aktivitas cenderung lambat dan respon terhadap permasalahan ekonomi rendah. maka upaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia perlu diarahkan disemua posisi, baik di posisi pemegang kebijakan ataupun berposisi dilapangan.
  • Kurang adanya koordinasi diantara BPRS syariah, demikian juga dengan bank syariah dan BMT. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat dilakukan guna mengangkat ekonomi masayarakat. oleh karena itu dibutuhkan framework yang bisa dijadikan acuan diantara lembaga keuangan ditingkat kabupaten, kecamatan desa atapun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa mengenyampingkan keberadaan lembaga keuangan yang lain.
  • Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep islam tentunya juga bertanggung jawab terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR syariah tersebut. aktivtas BPR syariah dibidang keuangan sering kali tidak menyisakan waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar islam, artinya aktivitas keuangan BPR syariah termasuk syiar islam dibidang keuangan. tetapi aktivitas keislaman yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara umum perlu juga diperhatikan . BPR syariah perlu memprakarsai terbentuknya majelis-majelis taklim dan semacamnya.
  • Nama "bank perkreditan rakyat syariah" masih menyisakan kesan sistem BPR menggunakan sistem BPRS konvensional. kata perkreditan tidak ada dalam terminilogi bank dan lembaga keuangan syariah. oleh karenanya, baik kiranya nama BPR syariah diganti.

 Adapun strategi pengembangan BPR syariah yang perlu diperhatikan adalah:
  • Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan saja produkny tapi sisitem yang digunakan perlu diperhatikan. upaya ini dapat dilakukan melalui BPR syariah sendiri dengan menggunakan strategi pemasaran yang halal, seperti; melalui informasi mengenai BPR syariah dimedia masa. hal lain yang ditempuh adalah perlunya kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan yang mempunyai relevansi dengan misi BPR syariah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah
  • Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kerjasama diantar BPR syariah atau kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangn syariah atau kursus pendek lembaga keuangan syariah. Pusat pendidikan tersebut memiliki tujuan untuk menyediakan SDM yang siap kerja dilembaga keuangan syariah khusus BPR syariah.
  • Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui seberapa besar kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola sumber sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat kesinambungan kerja diantara BPR syariah, demikian juga kesinambungan BPR syariah dengan bank syariah dan BMT. Sehingga hal ini akan meningkatkan koordinasi lembaga keuangan syariah.
  • BPR syariah bertanggung jawab tehadap masalah keislaman masyarakat diman BPR syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadarn akan peran islam dalam bidang ekonomi. Demikian juga dengan pola ini dapat membantu BPR syariah dalam mengetahui gejala-gejala ekonoomi sosial yang ada di masyarakat. Hal ini akan menjadikan BPR syariah dibidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.


Related Posts:

0 Response to "Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)"