IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR (makalah lengkap)

IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

A.      Karakteristik Belajar pada Pendidikan Karakter
Sejak awal keberadaannya, manusia telah melakukan aktivitas belajar, karena belajar adalah salah satu kebutuhan manusia. Pada umumnya belajar diartikan sebagai aktivitas menghimpun pengetahuan dari orang yang dianggap lebih tahu kepada orang yang kurang tahu. Freire menyebut model belajar ini dalam sistem pendidikan bank yang sangat ditentangnya. Freire sendiri memandang belajar sebagai proses pencapaian kesadaran kritis oleh peserta didik. Carl Rogers mengatakan belajar sebagai tindakan membiarkan kebebasan peserta didik untuk berekspresi sehingga tak ada unsur paksaan di dalamnya. Proses belajar seperti ini bukanlah proses mencetak seseorang menjadi orang lain, melainkan tindakan membiarkan dan memupuk seseorang menjadi dirinya sendiri.[1]
Salah satu fungsi pendidik (guru) dalam pendidikan adalah sebagai fasilitator. Guru yang mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sangat diperlukan agar peserta didik peka terhadap berbagai aspek belajar. Pendidik seperti itu cenderung mampu membantu peserta didiknya belajar secara mandiri, mendorongnya untuk menyelidiki sendiri, menggunakan berbagai sumber serta menghayati kegembiraan ataupun kegelisahan dalam belajar. Dengan demikian, pendidik harus pandai bergaul, ramah, dan memperkenankan peserta didik memilih bahan yang ingin dipelajari serta belajar bersama siswa yang lain.
Secara konvensional, guru (pendidik) paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik.[2] Meskipun loving merupakan kualifikasi yang paling akhir, sesungguhnya harus ditempatkan pada urutan pertama. Pendidik harus mengajar dengan berlandaskan cinta kepada sesama umat manusia tanpa memandang status sosial ekonomi, agama, kebangsaan, dan lain sebagainya. Misi utama guru adalah enlightening (mencerdaskan bangsa), mempersiapkan peserta didik sebagai individu yang bertanggungjawab dan mandiri serta memiliki karakter yang baik atau akhlak mulia. Proses pencerdasan harus berangkat dari pandangan filosofi guru bahwa peserta didik adalah individu yang memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan.
Penyelenggaraan pendidikan karakter, pendidikan keimanan dan ketakwaan itu adalah tugas sekolah, bukan menjadi tugas guru agama Islam saja. Karena tujuan pendidikan karakter, pendidikan keimanan dan ketakwaan tidak akan tercapai, jika hanya diserahkan kepada guru agama. Oleh karena itu, semua komponen sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan sekolah, bahkan orang tua di rumah, berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama itu kepada anak.
Sebagaimana dinyatakan dalam buku Panduan Pendidikan Karakter yang dikeluarkan oleh Kemendiknas tahun 2010, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitas diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.[3] Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari atau peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa proses pengintegrasian pendidikan agama (karakter) dalam pembelajaran bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:[4] (1) pengintegrasian materi pelajaran; (2) pengintegrasian proses; (3) pengintegrasian dalam memilih bahan ajar, dan (4) pengintegrasian dalam memilih media pembelajaran.
Pengintegrasian materi maksudnya adalah mengintegrasikan konsep atau ajaran agama (karakter) ke dalam materi (teori, konsep) yang sedang diajarkan. Pengintegrasian dalam proses belajar mengajar maksudnya bahwa guru perlu menanamkan nilai-nilai dalam proses pembelajaran dengan cara memberikan teladan kepada peserta didik dengan nilai-nilai karakter tersebut. Pengintegrasian dalam memilih bahan ajar, misalnya guru ilmu pengetahuan memilih materi-materi bahan ajar yang mencantumkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga peserta didik dapat meneladaninya. Dalam memilih media belajar, kita dapat mengintegrasikan nilai-nilai. Ketika guru memilih media pembelajaran tentang miniatur bangunan, guru lebih memilih miniatur masjid dari pada memilih miniatur rumah.[5]
Menurut Brooks dan Goble, untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah, terdapat tiga elemen penting untuk diperhatikan, yaitu prinsip, proses, dan praktiknya.[6] Dalam menjalankan prinsip, nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa di suatu sekolah faham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk itu  diperlukan sebuah pendekatan yang harus diterapkan di seluruh komponen sekolah (school wide approach), yaitu:[7]
1.    Sekolah atau madrasah harus dipandang sebagai lingkungan yang diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun, sekolah juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf, dan siswa, tetapi juga kepada keluarga, lingkungan masyarakat;
2.    Dalam menjalankan kurikulum karakter sebaiknya: a) pengajaran nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; b) diajarkan sebagai subyek dan tidak berdiri sendiri (sparated stand alone subject), namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah secara keseluruhan; c) seluruh komponen sekolah atau madrasah menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan;
3.    Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana peserta didik menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pendidikan umum dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilait tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi mausia Insan Kamil.[8] Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktifitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tahap kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
B.       Interaksi Pendidik – Peserta Didik dalam Proses Belajar Mengajar
Interaksi pendidik-peserta didik merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Pendidik yang berprilaku positif cenderung memiliki peserta didik yang berprestasi tinggi dan memiliki keterampilan positif dalam mengerjakan tugas. Karena pendidik yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan melibatkan peserta didik dalam pembelajaran lebih menguntungkan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, interaksi yang baik pendidik-peserta didik memberi kontribusi terhadap dinamika pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hubungan tersebut, terhimpun kemampuan pendidik dalam melakukan penerimaan (acceptance), memahami perasaan peserta didik, menciptakan suasana hangat, menumbuhkan sikap jujur, empati, dan bentuk interaksi sosial positif lainnya. Untuk itulah, perlu adanya pengenalan karakteristik peserta didiknya dan meningkatkan interaksi sosial dengannya.
Dalam interaksi tersebut, masing-masing partisipan saling mempengaruhi perilaku yang lainnya. Keberadaan pendidik dengan segala aspek kemampuan dan kepribadian yang dimilikinya mempengaruhi persepsi sosial peserta didik tentang pendidik (gurunya), teman sekelas, dan dirinya sendiri. Sedangkan peserta didik dengan segala kemampuan dan karakteristik yang dimilikinya mempengaruhi cara mengajar guru. Dengan kata lain, perilaku guru mempengaruhi perilaku peserta didik, dan sebaliknya perilaku peserta didik mempengaruhi perilaku gurunya dalam pembelajaran. Kualitas hubungan guru-siswa berpengaruh kuat terhadap perilaku dan prestasi siswa. Hubungan siswa yang positif dengan guru dapat menumbuhkan harga diri (self esteem) dan mengembangkan konsep diri siswa yang positif.
Dengan terciptanya kaitan emosi antara siswa dan siswa, guru dan siswa, hasil pembelajaran akan lebih mendalam dan bermakna. Pembelajaran tidak sebatas pada “belajar tentang”, tetapi juga bagaimana “belajar menjadi”.[9] Belajar tentang karakter, berarti peserta didik belajar memahami tentang karakter, belajar tentang konsep karakter. Sedangkan belajar menjadi berkarakter, berarti peserta didik melakukan dan berlatih untuk menjadi anak yang berkarakter baik, tidak hanya mengetahui konsep karakter.
Keterlibatan emosi lebih nyata dalam pembelajaran, khususnya mata pelajaran yang melibatkan inner-self manusia sampai ke tahap belajar menjadi”. Misalnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Sosiologi, Antropologi, Sejarah, dan Pendidikan Agama, peserta didik memaknai konsep-konsep bagaimnana seharusnya menjadi seorang manusia yang hidup di lingkungan sosialnya sesuai dengan hasil belajar dan pemahaman di kelas. Di sini peserta didik mulai “belajar menjadi” belajar menjadi manusia yang sopan, santun, beradab, menghargai perbedaan, bekerjasama, berinteraksi, jujur, dan memiliki kaitan emosi.
Bila dalam pembelajaran, guru melangkah sampai ke tahap “belajar menjadi”, peserta didik akan terbiasa untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan sekolah. Saat menghadapi tes, peserta didik tidak akan menggunakan metode “SKS” (Sistem Kebut Semalam) lagi, karena dalam dirinya sudah tertanam kemampuan memotivasi diri, independen dan percaya diri. Peserta didik akan terbiasa seimbang dalam berpikir kreatif, analisis dan praktis.[10]
Selain mengembangkan kebiasaan bersosialisasi dalam membentuk komunitas belajar, guru juga diharapkan mengajar penuh dengan kreatifitas, inovasi dan mampu mengakomodasi berbagai gaya belajar peserta didik untuk menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan santai. Guru mampu memahami dan menerapkan berbagai metode atau model mengajar yang variatif. Semisal CTL (Contextual Teching and Learning), Cooperative Learning, Jigsaw, inovasi-inovasi pembelajaran dalam Quantum Learning, Quantum Teaching, Accelerated Learning dan lain-lain.
Dengan mengkreasikan dan mengimplementasikan model atau metode tersebut, jalinan-jalinan emosi positif yang dilalui dalam pembelajaran akan saling bersinergi dengan pengalaman-pengalaman emosi yang sudah tertanam dalam diri peserta didik. Ini yang mengakibatkan mulai terbentuknya rasa senang dalam belajar. Yang paling penting akibat lebih jauh dari kebiasaan ini adalah terciptanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.[11]
Selain itu suasana pembelajaran yang santai dapat diciptakan bila guru menyadari bahwa materi-materi pelajaran yang dipelajari akan melekat lebih lama dalam otak peserta didik bila suasana tidak kaku dan tidak serba prosedural. Lagi pula agar materi yang dikaji lebih bermakna bagi anak, rasanya dalam suasana santai akan lebih terasa. Dalam suasana santai, proses pengendapan berlangsung lebih lama, karena materi yang diterima akan bersentuhan  dengan pengetahuan yang berseliweran dalam otak peserta didik. Juga proses mengeksplorasi materi pembelajaran menjadi lebih mendalam. Dalam suasana demikian, refleksi akan menjadi bagian terdalam pembelajaran.
Bobbi DePorter[12] menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan peserta didik dalam mengikuti proses belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila niat tidak tumbuh dari dalam diri sendiri, dorongan orang lain – dalam hal ini guru – amat diperlukan agar tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, antara lain:
·      memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat;
·      mengetahui apa yang disukai siswa, cara berpikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka; membayangkan apa yang siswa katakan;
·      mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang dinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepadanya, dan hindari sejauh mungkin sikap “sok tahu”;
·      berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus; dan
·      melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim yang menyenangkan, tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Hal terpenting dari langkah ini adalah tetap menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil resiko. Keberanian mengambil resiko yang menantang terletak keasyikan tersendiri dalam belajar. Hal itu hendaknya diwujudkan dalam suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan persoalan, terus berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa kebosanan.
Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling memiliki juga akan mempercepat proses mengajar dan meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik. Pendidikan karakter amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan persoalan.
Dan keenam, menunjukkan teladan yang baik (uswah hasanah). Perilaku nyata akan lebih berarti dari pada seribu kata (lisan al-hal abyan min lisana al-maqal). Hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para siswa. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap kasih sayang, empati, toleran, disiplin dan lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan kata kepada orang. Jadi, memberi teladan merupakan salah satu cara ampuh untuk membangun hubungan dan memahami orang lain, karena keteladanan membangun hubungan, memperbaiki kredibilitas, dan meningkatkan pengaruh.[13]
Perlu ditegaskan di sini, bahwa kualitas hubungan guru-siswa sangat berpengaruh kuat dalam membentuk perilaku dan prestasi para siswa. Untuk itu, para guru dituntut mengembangkan siswa sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimilikinya. Beberapa sikap yang harus dilaksanakan – terutama oleh guru selaku penanggungjawab pelaksana pembelajaran – di dalam proses belajar mengajar seperti uraian di bawah ini.[14]
1.    Memunculkan rasa empati terhadap peserta didik
Guru harus menerima siswanya menurut pribadi masing-masing dan dapat menghargai sifat-sifat mereka meskipun menyimpang dari yang umumnya dianggap baik. Ia menerima siswa dalam keadaan yang menjengkelkan atau menyenangkan, dalam keadaan marah atau ramah terhadap temannya. Sikap menerima dan menghargai tersebut pada dasarnya sama dengan keyakinan akan kemampuan siswa untuk belajar dan berkembang. Pencetusan perasaan yang negatif dipandang sebagai fase yang mengarah terhadap perilaku yang positif jika terus dibina secara intensif.
Di samping menerima siswa sebagaimana adanya, guru dituntut mempercayai siswa dan ikut merasakan yang dipikirkan dan dirasakan siswa. Hal ini akan mendasari upaya untuk memajukan perubahan pribadi dan intelektualitas siswa. Guru hendaknya menghargai perasaan, pandangan dan diri siswa, yaitu orang yang patut dipercayai. Sikap ini dapat mendorong siswa untuk mengambil resiko, merasakan dukungan belajar, dan mengembangkan kemampuan untuk berprakarsa sendiri. Hubungan guru-siswa merupakan hubungan yang hangat, tidak suka menguasai, tidak mengancam, dan memuaskan. Untuk itu guru seharusnya berprilaku sebagai berikut. Pertama, memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpartisipasi dalam pemilihan kegiatan belajar. Siswa memiliki kemungkinan untuk memilih bahan, projek, dan ikut dalam perancangan dan implementasi pengajaran. Guru menjadi lebih bertindak sebagai fasilitator daripada sebagai ahli. Kegiatan kelas dilakukan bersama siswa (learning together), dan masukan serta ide-ide siswa dihargai dan dilaksanakan jika ide tersebut baik untuk kemajuan pendidikan.
Kedua, guru menaruh minat, memperhatikan, dan ikut bertanggungjawab terhadap siswanya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sikap ramah, suara yang nyaman, anggukan, senyum, hubungan perseorangan, menanyakan perasaan dan pikirannya tanpa harus ada jarak antara keduanya. Guru dengan rasa kerendahan hati mau mendengarkan pertanyaan, pernyataan, keluhan, serta memperhatikan pendapatnya.
Ketiga, guru harus menunjukkan sikap empatinya, menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan siswanya. Guru hendaknya mengurai kembali apa yang diungkapkan siswanya, menjadi pendengar yang baik dengan memperhatikan siswa yang berbicara dan tidak memotong pembicaraannya. Setiap individu akan merasa senang apabila mendapat perhatian dan cenderung akan menjadi lebih respek dan komunikatif.
2.    Mengakui Konsep Diri Peserta Didik
Konsep diri (self-concept) merupakan gambaran individu tentang dirinya sendiri. Konsep ini cenderung dapat dibimbing, mengendalikan, dan mengatur tindakan seseorang dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Siswa yang menganggap dirinya mampu dan cerdas, mungkin akan senang bekerjasama, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan mau membantu orang lain. Sebaliknya, siswa yang memiliki konsep diri negatif tidak memiliki kegembiraan hidup seperti siswa yang memiliki konsep diri yang positif.
Konsep diri tumbuh setelah individu membuat perbandingan dirinya dengan orang lain. Untuk itu, guru hendaknya sering memberikan penguatan (reinforcement) dan menunjukkan kepada siswa untuk mau bergaul secara baik. Siswa yang tidak senang bergaul harus didekati agar tidak terbentuk konsep diri yang negatif. Siswa yang mempunyai sikap seperti itu harus diberi motivasi agar memperoleh perasaan yang mampu membangkitkan rasa percaya dirinya. Kesempatan yang perlu diberikan agar siswa memiliki konsep diri yang positif dengan beberapa cara. Pertama, membuat kontrak kegiatan bersama siswa. Cara ini dapat membantu siswa untuk memilih kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuannya. Kontrak kegiatan tidak memaksa siswa untuk mencapai tingkat yang sama. Di sini perlu ditumbuhkan perasaan pada siswa bahwa dia mampu mencapai yang direncanakan itu.
Kedua, memberikan umpan balik (feedback) yang positif. Umpan balik dapat berupa nilai, komentar, saran, atau bimbingan.
Ketiga, tidak menetapkan tujuan yang terlalu muluk untuk dapat dicapai siswa, harus disesuaikan kemampuan masing-masing siswa. Persyaratan yang bervariasi untuk setiap siswa dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahannya.
3.    Menumbuhkan Sikap Toleransi
Sikap toleransi memang amat mudah diucapkan tetapi sulit diaplikasikan dalam tingkah keseharian. Dan bahasa Jawa, toleransi disebut tepa selira, yaitu sikap menjaga perasaan orang lain agar ia tidak tersinggung.[15] Toleransi mengandung sikap agree in disagreement, mendiamkan atau membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan diri sendiri, meski terdapat pebedaan secara diametral sekalipun. Menghargai perbedaan berarti siap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live together.
Dalam proses belajar mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan melalui berbagai metode pembelajaran. Seorang guru di tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan berani menolak pendapatnya mengenai suatu masalah yang dilakukan secara rasional dan argumentatif dengan menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik. Jadi, inti dari toleransi adalah menghargai dan menghormati perbedaan dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya.
4.    Guru Sebagai Fasilitator
Fungsi guru sebagai fasilitator diharapkan sosok guru yang selalu mendukung siswanya dalam belajar. Guru memberi kesempatan kepada siswanya untuk memilih, baik dalam bentuk kegiatan maupun dalam isi bahan pelajaran, dengan konsekuensi siswa harus mampu bertanggungjawab atas segala sesuatu yang menjadi pilihannya. Guru menyediakan sumber belajar yang diperlukan dan bertoleransi apabila ada siswa yang membuat kesalahan. Artinya, guru tidak akan memberikan hukuman, tetapi menciptakan suasana tenang dan nyaman untuk memperbaiki kesalahan siswa tersebut.
Sebagai fasilitator, guru harus membantu siswa dalam kegiatan inkuirinya. Guru sebaiknya membiarkan siswa menggunakan berbagai sumber untuk mencari sendiri apa yang diinginkannya dan untuk menemukan makna dari yang dipelajarinya. Membiarkan dalam artian tidak secara mutlak, tetapi dalam proses pengembangannya nanti, guru diharuskan tetap selalu memonitor dan membimbing segala aktivitas siswa. Serta tidak bosan-bosan meminta siswa untuk menelaah segala yang bermanfaat dari materi yang sedang dipelajarinya, baik untuk dirinya maupun masyarakat.
5.    Guru Menciptakan Suasana Pedagogi-Dialogis
Perlu diingat bahwa salah satu prinsip belajar dalam pendidikan humanis adalah learning together dan learning to live together. Siswa akan lebih mudah belajar apabila pengajar berpartisipasi sebagai teman yang lebih tua dalam pengalaman belajar yang sedang dia alami. Guru perlu menyadari bahwa ia tidak menguasai seluruh bahan. Dengan demikian, hubungan guru-siswa tidak lagi berupa hubungan antara seorang ahli dengan siswa, tetapi lebih ditekankan kepada hubungan yang didasarkan atas dua pribadi. Dalam pengajaran, guru mengurangi ceramahnya, namun meningkatkan interaksi dengan siswanya.
Prinsip seperti ini, akan memudahkan bagi siswa untuk membentuk kelas dialogis dengan guru atau antar siswa tanpa adanya perasaan sungkan. Karena rasa sungkanisme yang tinggi sangat tidak menguntungkan dalam dunia pendidikan – sebagai wadah untuk berproses – karena akan membunuh kritisisme berpikir siswa. Kritisisme akan muncul ketika antara guru – sebagai orang yang mempunyai pengalaman lebih dulu – dengan siswa yang baru berproses tidak lagi ada jarak yang terlalu jauh. Seperti yang dikatakan Ira Shor, perlunya pedagogi yang disituasikan (dialogis). Dalam pedagogi yang distuasikan, seorang guru bersama siswa menggali tema-tema yang menurut persepsi mereka sangat problematis. Mensituasikan pedagogi kritis pada problema yang bertema subjektif yang belum dianalisis oleh siswa, akan mendorong motivasi intrinsik terhadap bahan ajar yang menjadi perhatian utama siswa. Selain itu juga memberikan momen pelepasan atas pengalaman yang belum pernah direfleksikan sebelumnya.
6.    Mengkombinasikan Perasaan dengan Bahan Pengajaran
Konsep karakter sangat menekankan kasih sayang dalam pengajaran sebagaimana prinsip dalam Islam, bahwa segala aktivitas baik pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia, dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang penuh kasih sayang,[16] tetapi tidak ada kasih sayang (emosi) tanpa kognisi dan tidak ada kognisi tanpa emosi. Mengkombinasikan bahan dan perasaan ini terkadang disebut ajaran tingkat ketiga. Ajaran tingkat kesatu adalah fakta, tingkat kedua adalah konsep, dan ajaran tingkat ketiga adalah nilai.
Relasi antara fakta, konsep, dan nilai dapat digambarkan dengan suatu piramida. Alas pertama yang lebar menggambarkan fakta; konsep merepresentasikan pemahaman dan perumusan yang diturunkan dari fakta; sedang puncak piramida menggambarkan nilai, yaitu suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Puncak piramida menggambarkan bahwa keputusan yang diambil dalam hidup merupakan keputusan yang didasarkan atas fakta dan konsep. Pengajaran yang bermakna hendaknya mencakup ketiga tingkat tersebut. Pembahasan nilai yang tergabung dalam konsep seharusnya merupakan suatu kesatuan dalam pengalaman belajar di kelas. Oleh karena itu, guru dan siswa secara bersama-sama perlu menguji dan menjelajah nilai-nilai yang mendasari bahan pengajaran.
7.    Adanya Transparasi Guru-Siswa
Adanya keterbukaan guru dimaksudkan agar guru tidak menutupi kepribadian yang sesungguhnya. Ia harus secara jujur menampakkan perasaan yang sebenarnya, yaitu bahwa guru dapat merasa benci atau suka, senang dan sedih, marah, jengkel, atau gembira. Keterbukaan guru tersebut diharapkan dapat mendorong siswa mengungkapkan emosi dan perasaannya, sehingga membantu guru dan siswa memahami karakteristik masing-masing.
Prinsip dari pola-pola interaktif guru-siswa sebagaimana di atas berorientasi terhadap adanya kebebasan yang diberikan guru kepada siswa untuk berkreativitas secara kritis dan inovatif, karena tidak akan ada kreativitas tanpa kebebasan. Kreativitas merupakan proses mental dan kemampuan tertentu untuk mencipta. Kreativitas adalah proses pemikiran terhadap sesuatu yang darinya dapat dihasilkan gagasn-gagasan baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Kreativitas juga berarti sebagai proses interaktif antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat terlihat dari kemampuannya mengatasi masalah (problem sensitivity), mampu menciptakan ide alternatif untuk memecahkan masalah (idea fluency), mampu memindahkan ide dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain (idea flexibility). Orang yang kreatif pun dapat dilihat dari kemampuannya untuk menciptakan ide yang asli (idea originality). Seluruh kemampuan pengembangan ide dan sensivitas terhadap persoalan yang merupakan cirri kreatif tersebut tidak akan dapat terbentuk bilamana dalam diri seseorang terjadi tekanan dan pembatasan atas kebebasannya.
Pola hubungan interaktif guru-siswa menerapkan sistem andragogi. Sistem ini menuntut memang keaktifan siswa untuk berbuat (learning by doing). Di sini siswa diberi umpan dan kail, kemudian dibimbing untuk mencari ikan sendiri. Jadi, bukan langsung diberi ikan tanpa proses pemancingan. Proses belajar mengajar yang menekankan pentingnya nilai-nilai akhlak inilah yang menjadikan pendidikan bernuansa karkater. Peran guru dalam proses belajar mengajar yang andragogis adalah sebagai mediator, fasilitor atau pembina. Dalam proses pembelajaran yang seperti inilah, akan terjadi interaksi yang intens antara guru-siswa, siswa-siswa, bahkan guru-guru, sehingga pola komunikasinya berbentuk multi-ways traffic communication (pola komunikasi multi-arah). Pola ini anti-tesis dari pola komunikasi satu arah (one ways traffic communication) yang masih banyak digunakan dalam sistem pendidikan di Indonesia selama ini.[17]
Dapat disimpulkan, bahwa proses belajar mengajar, pendidik tetap memegang peran penting untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif. Demi terciptanya suasana yang demikian itu, pendidik harus menjadi qudwah atau teladan baik di dalam dan di luar kelas, terlebih disaat berinteraksi secara langsung di kelas. Karena kualitas hubungan pendidik-peserta didik sangat berpengaruh kuat dalam membentuk perilaku dan prestasi para peserta didik. Untuk itu, pendidik harus mampu memunculkan rasa empati terhadap peserta didiknya, mengakui konsep diri siswa baik yang positif maupun yang negatif untuk selanjutnya mampu memberi motivasi, menumbuhkan sikap toleransi, memposisikan dirinya sebagai fasilitator, menciptakan suasana belajar dialogis, mampu mengkombinasikan antara perasaan (keinginan peserta didik) dengan bahan pengajaran, dan guru dengan segala kerendahan hati dituntut transparan atas segala kekurangan.
C.      Metode Pendidikan Karakter
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan karakter, diperlukan metode-metode pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik kepada siswa, sehingga siswa tidak hanya tahu tentang moral (karakter) atau moral knowing saja, tetapi juga diharapkan mereka mampu melaksanakan moral atau moral action yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.
Secara umum, melihat begitu kompleknya pembangunan karakter individu, Ratna Megawangi mengarai perlunya menerapkan aspek 4 M dalam pendidikan karakter (Mengetahui, Mencintai, Menginginkan, dan Mengerjakan).[18] Metode ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang  dikerjakan berdasarkan kesadaran utuh. Sedangkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintai, dan diinginkan. Dari kesadaran utuh itu, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh pula.[19]
Berkaitan dengan metode pendidikan karakter, metode yang ditawarkan oleh Abdurrahman An-Nahlawi dirasa dapat menjadi pertimbangan para pendidik dalam menginternalisasikan pendidikan karakter kepada peserta didik. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:[20]
1.    Metode Hiwar atau percakapan
Metode hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki. Dalam proses pendidikan, metode hiwar mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percakapan dengan seksama dan penuh perhatian. Hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
a.    Permasalahannya disajikan secara dinamis, karena kedua pihak langsung terlibat dalam pembicaraannya secara timbal balik, sehingga tidak membosankan. Bahkan, dialog seperti itu mendorong kedua belah pihak untuk saling memperhatikan dan terus mengikuti pola pikirnya, sehingga dapat menyingkap sesuatu yang baru, mungkin juga salah satu pihak berhasil meyakinkan rekannya dengan pandangan yang dikemukakannya itu.
b.    Pembaca atau pendengar tertarik untuk terus mengikuti jalannya percakapan itu dengan maksud dapat mengetahui kesimpulannya. Hal ini juga dapat menghindarkan kebosanan dan memperbaharui semangat.
c.    Metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
d.   Bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi tuntutan islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai orang lain, dan lain sebagainya.[21]


2.    Metode Qishah atau cerita
Menurut Al-Razzi, kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan penting, karena dalam kisah-kisah terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa alasan yang mendukungnya, yakni:
a.    Kisah senantiasa memikat, karena mengundang pembaca dan pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
b.    Kisah dapat menyentuh hati manusia, karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh, sehingga pembaca atau pendengar dapat menghayati  dan merasakan isi kisah tersebut, seolah-olah dia sendiri yang menjadi tokohnya.
c.    Kisah qur’ani mendidik keimanan dengan cara; membangkitkan berbagai perasaan, seperti khauf, ridho, dan cinta (hubb); mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada satu pihak, yaitu kesimpulan kisah; melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.
3.    Metode Amtsal atau perumpamaan
Dalam mendidik umat manusia, Allah banyak menggunakan perumpamaan (amtsal), misalnya terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti yang menyalakan api”. (QS. Al-Baqarah: 17).
Metode perumpamaan ini juga baik digunakan oleh para guru dalam mengajari peserta didiknya terutama dalam menanamkan karakter kepada mereka. Cara penggunaan metode amtsal ini hampir sama dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah (berkisah atau membaca kisah) atau membaca teks.[22] Metode perumpamaan ini mempunya tujuan pedagogis, diantaranya adalah:
a.    Mendekatkan makna pada pemahaman;
b.    Merangsang pesan dan kesan yang berkaitan dengan makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut, yang menggugah, menumbuhkan berbagai perasaan ketuhanan;
c.    Mendidik akal supaya berpikir logis dan menggunakan qiyas (silogisma) yang logis dan sehat;
d.   Perumpamaan merupakan motif yang menggerakkan perasaan menghidupkan naluri yang selanjutnya menggugah kehendak dan mendorong untuk melakukan amal yang baik dan menjauhi segala kemungkaran.


4.    Metode Uswah atau keteladanan
Metode keteladanan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian, dan lain-lain.[23]
Dalam penanaman karakter peserta didik di sekolah, keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena peserta didik (terutama siswa yang usia pendidikan dasar dan menengah) pada umumnya cenderung meneladani (meniru) guru atau pendidiknya. Hal ini karena memang secara psikologis siswa memang senang meniru, tidak saja yang baik, bahkan terkadang yang jelekpun mereka tiru.
Secara psikologis, ternyata manusia memang memerlukan tokoh keteladanan dalam hidupnya, ini adalah sifat pembawaan. Taqlid (meniru) adalah salah satu sifat manusia. Peneladanan ini ada dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan, dan sebagainya. Sedangkan keteladanan yang disengaja ialah seperti memberikan contoh membaca yang baik, mengerjakan sholat yang benar. Keteladanan yang disengaja adalah keteladanan yang memang disertai penjelasan atau perintah agar meneladani. Dalam pendidikan islam kedua keteladanan itu sama saja pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara tidak formal, yang disengaja dilakukan secara formal. Keteladanan yang dilakukan secara tidak formal itu kadang-kadang kegunaannya lebih besar dari pada keteladanan formal.[24]
5.    Metode pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang disengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan. Dan inti kebiasaan adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan itu dapat dilakukan dalam setiap pekerjaan. Oleh karenanya, menurut pakar, metode ini sangat efektif dalam rangka pembinaan karakter dan kepribadian anak.
Karena metode ini berintikan pengalaman yang dilakukan terus menerus, maka menurut Ahmad Tafsir, metode pembiasaan ini sangat efektif untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap beragama dengan cara menghafal doa-doa dan ayat-ayat pilihan.[25]
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter, pembiasaan peserta didik akan lebih efektif jika jika ditunjang dengan keteladanan dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Oleh karenanya, metode ini dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari keteladanan atau metode teladan. Dimana ada pembiasaan disana ada keteladanan. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus ini yang dalam teori pendidikan akan membentuk karakter.
6.    Metode Ibrah dan Mau’izhoh
Menurut An-Nahlawi, kedua kata tersebut memiliki perbedaan dari segi maknanya. Ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun kata mau’izhoh ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.[26]
Rasyid Ridla menyimpulkan bahwa kata mau’izhoh itu berarti bermacam-macam. Pertama, berarti nasihat, yaitu sajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasihati untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik itu harus bersumber pada Yang Maha Baik, yaitu Allah. Yang menasehati harus lepas dari kepentingan-kepentingan dirinya secara bendawi dan duniawi. Ia harus ikhlas karena semata-mata menjalankan perintah Allah. Kedua, mau’izhoh berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasihat hendaknya berulangkali mengingatkan agar nasihat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasihati tergerak untuk mengikuti nasihat itu.[27]
7.    Metode Targhib dan Tarhib (janji dan ancaman)
Targhib ialah janji kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib  dan tarhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Akan tetapi keduanya mempunyai titik tekan yang berbeda. Targhib agar melakukan kebaikan yang diperintah Allah, sedangkan tarhib agar menjauhi perbuatan jelek yang dilarang oleh Allah.
Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dengan metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan barat. Menurut Ahmad Tafsir perbedaan utamanya ialah targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman berdasarkan ganjaran dan hukuman duniawi.[28]
Doni A. Koesoema mengajukan lima metode pendidikan karakter, yaitu:[29]
1.    Mengajarkan
Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsepsi nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan) dan maslahatnya (bila tidak dilaksanakan). Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertana, memberikan pengetahuan konseptual baru; kedua, menjadi pembanding atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses “mengajarkan” tidaklah menolong, melainkan melibatkan peran peserta didik.
2.    Keteladanan
Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menempati posisi yang sangat penting. Guru harus lebih dahulu memiliki karakter yang hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya dari pada yang dikatakan guru. Bahkan, sebuah pepatah kuno memberi peringatan pada para guru bahwa peserta didik akan meniru karakter negatif secara lebih ekstrim dari pada gurunya, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.[30]
Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter.


3.    Menentukan prioritas
Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus, karenanya tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban. Pertama, menentukan tuntunan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik; kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan dalam lembaga pendidikan karakter; ketiga, jika lembaga ingin menetapkan perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga, maka karakter standar itu harus dipahami oleh anak didik, orang tua, dan masyarakat.
4.    Praksis prioritas
Unsur lain yang sangat penting setelah prioritas karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mempu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah dapat direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu.
5.    Refleksi
Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Apa yang telah dialami masih tetap terpisah dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematut-matutkan dari pada peristiwa atau konsep yang telah teralami: apakah saya seperti itu? Apakah ada karakter baik seperti itu pada diri saya?
Berkaitan dengan mencari alternatif metode pembelajaran dalam pendidikan karakter ini, kita bisa mempertimbangkan tawaran pendekatan pembelajaran nilai yang dikemukakan oleh Noeng Muhadjir yang dikutip oleh Zubaedi. Menurutnya, pendidikan karakter dapat diselenggarakan dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:[31]
a.     Metode dogmatis, ialah metode yang mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
b.    Metode deduktif, merupakan cara menyajikan nilai-nilai kebenaran (keutuhan dan kemanusiaan) dengan jalan menguraikan konsep tentang kebenaran itu agar dipahami oleh peserta didik. Metode ini bertolak dari kebenaran sebagai teori atau konsep yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, atau ditarik dalam nilai-nilai lain yang lebih khusus atau sempit ruang lingkupnya.
c.     Metode induktif, ialah kebalikan dari metode deduktif, yakni dalam membelajarkan nilai-nilai dimulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut.
d.    Metode reflektif, merupakan gabungan dari metode deduktif dan metode induktif, yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar-mandir antara memberikan konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam kasus-kasus kehidupan sehari-hari, atau melihat dari kasus-kasus sehari-hari dikembalikan kepada konsep teoritisnya secara umum.
Batasan karakter berada dalam dua wilayah. Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral. Sementara socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia yang meminta untuk dilahirkan, tugas pendidikan adalah membantu melahirkannya.[32]
Dalam hadits Rasulullah ditegaskan bahwa tugas kenabian Muhammad Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak. Ini berarti telah ada benih akhlak pada masing-masing manusia, tinggal bagaimana lingkungan pendidikan dapat mengoptimalkan benih-benih tersebut. Sejalan dengan hadits yang lain yang menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitri, bergantung bagaimana lingkungannya yang akan membentuk kefitrian itu dalam warna tertentu yang khas.
Merujuk pada teori-teori tersebut, pendidikan karakter berdiri diatas dua pijakan. Pertama, keyakinan pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuhkembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus menginformasi apa yang telah dikenal dalam aktualisasi tertentu.[33]
Pada tahap implementasi, dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilakukan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yakni dalam satuan pendidikan formal dan non formal, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman yang dibangun melalui pendekatan, yakni intervensi dan habituasi.[34]
Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan terstruktur. Agar proses pembelajaran berhasil guna, peran pendidik sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, rumahnya, dan lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai  nilai, sehingga terbentuk karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi.
Agar pembelajaran nilai-nilai karakter dapat berhasil dengan baik, selain penerapan metode-metode di atas juga dibutuhkan peranan orang tua yang benar-benar menjadi pasangan yang berkomitmen tinggi dalam proses belajar anak-anak mereka. Orang tua adalah pendidik di rumah. Oleh sebab itu mereka harus menganut visi yang sama dengan satuan pendidikan formal dan non formal, demikian pula dengan tujuan satuan pendidikan formal dan non formal. Orang tua mesti setuju dengan tujuan satuan pendidikan formal dan non formal untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak.




[1]Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. (Yogyakarta: Resist Book, 2004), hal. 100
[2]Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 194
[3]Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 214-215
[4]Ahmad Tafsir, Pendidikan Budi Pekerti. (Bandung: Maestro, 2009), hal. 85
[5]Heri Gunawan, Pendidikan Karakter ..., hal. 215
[6]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 111
[7]Ibid., hal. 112
[8]Sofan Amri, et. all.,  Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran: Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran. (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), hal. 52
[9]Ibid., hal. 63
[10]Ibid., hal. 63
[11]Ibid., hal. 63-64
[12]Bobbi DePorte,et. all., Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. (Bandung: Kaifa, 2003), hlm. 19-39
[13]Ibid., hal. 38
[14]Zubairi, Pendidikan Humanis Perspektif Islam: Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar. (Malang: Skripsi tidak diterbitkan, 2007), hal. 142-148
[15]Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 107
[16]QS. Al-Anbiya’: 107
[17]Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan ..., hlm. 141
[18]Ratna Megawangi, Semua berakar pada Karakter: Isu-isu Permasalahan Bangsa. (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007), hal. 84
[19]Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), hal.107
[20]Heri Gunawan, Pendidikan Karakter ..., hal. 88-96
[21]Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam: Metode Penyusunan dan Desain Pembelajaran. (yogyakarta: Teras, 2009), hal. 69
[22]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, cetakan kesembilan, 2010, hal. 141-142
[23]Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam ..., hal 102
[24]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam ..., hal. 143-144
[25]Ibid., hal. 145
[26]Heri Gunawan, Pendidikan Karakter ..., hal. 96
[27]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam ..., hal. 145-146
[28]Ibid., hal. 147
[29]Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo, cetakan ketiga, 2011), hal. 212-217
[30]Opiniku, “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari” dalam http://lyntrias.wordpress.com/2007/07/06/guru-kencing-berdiri-murid-kencing-berlari/ diakses 17 Mei 2012
[31]Zubaedi, Desain Pendidikan Karaker: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 231-232
[32]Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter ..., hal. 120
[33]Ibid., hal. 121
[34]Heri Gunawan, Pendidikan Karakter ..., hal. 97

Related Posts:

0 Response to "IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR (makalah lengkap)"