PERSPEKTIF BINTU SYATHI' TENTANG ASBAB NUZUL/ASBABUN NUZUL(makalah lengkap)

PERSPEKTIF BINTU SYATHI' TENTANG ASBAB NUZUL 

makalah ini membahas tentang perspektif bintu syathi' tentang asbab nuzul, beberapa contoh aplikasi penafsiran bintu syathi'.
C. Perspektif Bintu syathi’ tentang Asbab Nuzul 
asbab nuzul atau asbabun nuzul sangat penting karena beberapa alasan, diataranya: asbab nuzul menjadi sebab diturunkannya wahyu.
Wahyu diturunkan dalam konteks yang tidak kosong dari sejarah manusia, oleh karena itu interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan unsur kesejarahan yang berlaku saat itu. Jika ditelaah lebih jauh dalam perspektif linguistik, maka terdapat problem “jarak” ontologis antara eksistensi Nabi Muhammad yang bersifat natural dengan “eksistensi” Tuhan yang bersifat supranatural. Dalam hal inilah arti penting perspektif linguistik ataupun perspektif sastrawi yang digunakan untuk memahami secara lebih elaboratif mengenai persoalan pewahyuan, bahasa agama dan wacana keagamaan yang berkembang dari suatu teks, khususnya al-Qur’an. Yang menurut Nasr Abu Zaid, baik al-Qur’an maupun pewahyuan al-Qur’an, keduanya memiliki sejarah kontekstual.[1]
Analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab, konsep “wahyu” itu tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan terdapat hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Seseorang tidak mungkin memahami dengan mengambil teks di luar realitas. Oleh karena itu, asbab nuzul (peristiwa yang terjadi dan menyertai turunnya suatu ayat al-Qur’an) menjadi sangat diperlukan untuk memahami suatu kondisi. Tetapi konteks di sini lebih luas dari asbab nuzul, karena asbab al-nuzul menjadi diperlukan hanya untuk melihat kejadian-kejadian khusus.[2]
Asumsi tentang asbab al-nuzul seperti inilah yang dikembangkan oleh A’isyah Bintu Syathi’. Menurutnya, asbab al-nuzul tidak lebih dari Kejadian-kejadian di seputar teks, atau kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan. Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada universalitas makna dari pada kekhususan kondisi tersebut (al-’ibrah bi’umum al-lafzi la bi khusus al-sabab). Ia mencoba mengembangkan “teori teks narasi” bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafaz umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafaz umum.[3]
Misalnya Q.S al-Maidah (5:38). Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafaz ‘am, yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam (al) jinsiyah. Maka Bintu syathi’ memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.[4]
Mengenai asbab al-Nuzul surat al-Duha, tampak keunikan metode A’isyah Bintu Syathi’ dibanding dengan para mufasir klasik seperti, al-Tabari, al-Razi, dan al-Suyuthi, yang memahami bahwa turunnya surat ini sebagai jawaban atas pernyataan masyarakat Quraisy bahwa Rasul telah ditinggalkan Tuhannya. Namun surat ini sendiri sangat terlambat turun, sampai dua bulan. Menurut al-Razi, keterlambatan tersebut disebabkan jawaban Rasul bahwa beliau akan memberi jawaban besok tanpa mengucapkan kata insya’ Allah atas pertanyaan orang Yahudi tentang ruh, Zu al-Qarnain dan Ashab al-Kahfi, atau bahwa surat ini terlambat karena adanya anak anjing kepunyaan Hasan dan Husein di rumah Rasul, sehingga Jibril mengatakan, “tidakkah kamu tahu bahwa kami tidak masuk rumah yang ada anjing atau gambarnya, atau karena ada keluarga Rasul yang tidak memotong kukunya.[5]
Menurut Bintu Syathi’, alasan keterlambatan wahyu yang disampaikan al-Razi tidak pada tempatnya, terlalu dibuat-buat dan tidak ada kaitannya dengan al-Al-Qur’an. Yang diinspirasikan oleh zahir nass adalah bahwa keterlambatan wahyu merupakan fenomena alami, tidak lebih dari itu. Jika al-Qur’an memandang perlu untuk menjelaskan keterlambatan itu, untuk menenangkan jiwa, tentu ia tidak akan tinggal diam. Sebab tujuan dari bayan al-Qur’an adalah pemenuhan segala tuntutan situasi yang berkaitan dengan tujuan. Artinya, jika al-Qur’an tidak membahas hal-hal yang seperti itu, berarti yang dipentingkan adalah esensi dari situasi itu sendiri, bukan rincian-rinciannya yang parsial.


D. Beberapa contoh Aplikasi Penafsiran Bintu Syathi’
Berikut beberapa contoh pembahasan dalam metode tafsir Bintu Syathi’:
1. Waw Qasam (Sumpah)
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di dalam al-Qur’an yang diawali dengan waw al-Qasam – Bintu Syathi’ menolak pendapat bahwa semua itu – seperti kebanyakan kitab tafsir – menandakan pemuliaan obyek sumpah. Bintu Syathi’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah hanya salah satu alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap suatu hal lewat fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak terjangkau oleh akal. Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi. Bintu al-Syathi’ memberikan gambaran dari berbagai surah-surah yang dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah bersumpah demi waktu pada surah al-‘Asr, duhademi siangdemi waktu malam, dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang adalah merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq). Sedangkan malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
2. Huruf Muqatta’ah
Tema ini telah menjadi perdebatan panjang sepanjang masa di kalangan ulama tafsir. Pokok permasalahannya adalah perbedaan dalam intepretasi ayat Allah yang berbunyi;
..... وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون فى العلم يقولون أمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب[1]
Mereka memperdebatkan tentang huruf waw dalam ayat tersebut apakah merupakan huruf ‘athaf (kata penghubung) dengan pengertian;
“dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali Allah dan para pakar ilmunya”
atau huruf isti’naf atau ibtida’ (huruf pembuka pembicaraan baru) dengan pengertian;
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali hanya Allah. Dan pakar ilmu tersebut berkata”
Dari sinilah muncul 2 kelompok yang berbeda tentang keabsahan menintepretasi ayat-ayat mutasyâbihât. Syeikh Fairuz Abadi dalam kitab tafsirnya Tanwîrul Miqbâs Min Tafsîri Ibni Abbâs mencoba memberikan pentakwilan terhadap huruf-huruf muqatta’ah yang berada di awal beberapa surat. Setiap penggalan dari huruf tersebut memiliki pengertiannya masing-masing yang masih berhubungan dengan tema pembahasan dalam surat tersebut. Sedangkan ulama-ulama salaf semisal Ibnu Abbas, Mujahid, Sya’bi, Ibnu Qayyim Jauziyyah lebih memilih untuk mengembalikan seluruh pemaknaan kepada Allah (ista’tsarallahu bi ‘ilmihi). Syeikh Sya’bi ketika ditanya tentang pengertian huruf muqatta’ah, beliau menjawab; “setiap kitab memilki rahasianya masing-masing, rahasia dari Al Qur’an ini adalah huruf muqatta’ah yang terdapat pada pembuka beberapa surat”[2]
Mengenai huruf muqatta'ah ini, para sarjana barat menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang huruf-huruf tersebut sebagau singkatan dari nama-nama para pengumpul Al Qur’an sebelum Zayd bin Tsabit. Kelompok surat yang diawali dengan “Ha-Mim” diduga berasal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi “Ha-Mim”. Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf “Sad” sebagai kependekan dari nama Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman, sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk mendukung hipotesa ini.[3]
Ibnu Qayyim Jauziyyah menyebutkan bahwa pemilihan huruf muqatta’ah pada awal beberapa surat tersebut lebih merupakan simbol dari keutamaannya. Huruf tersebut merupakan pondasi utama dari pesan-pesan yang disampaikan Allah dalam surat.[4] Dalam terma pembahasan ini, Bintu Syati lebih setuju dengan pandangan yang disampaikan Ibnu Qayyim. Bahwa huruf muqatta’ah merupakan bagian dari i’jaz bayani Al Qur’an. Ketika Allah melayangkan surat tantangan kepada kaum musyrikin untuk mendatangkan satu surat semisal dengan Al Qur’an, namun mereka tidak sanggup. Padahal Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Allah SWT. berfirman;
وان كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهدائكم إن كنتم صادقين[5]
Sebagaimana kaum musyrikin zaman dahulu menganggap bahwa Al Qur’an merupakan dongeng belaka, sehingga mereka cenderung memilih untuk tidak mendengarkan segala perkataan Al Qur’an, maka dengan munculnya huruf muqatta’ah ini merupakan upaya untuk menarik perhatian mereka untuk lebih jauh mengetahui tentang Al Qur’an.
Bintu Syathi' menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Fawatih dimulai surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2. Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai dengan huruf muqatta’ah,  mengandung pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3. Kebanyakan surah yang diawali dengan muqatta’ah diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik  mencapai puncaknya.[6]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatta’ah adalah bagian ijaz al-Quran karena dengan ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqatta’ah mengandung nama Allah maha Agung.
2. Anti Sinonimitas
Salah satu temuan penting Bintu Syathi’ dalam tafsirnya yaitu tentang sinonim kata-kata yang memiliki pengertian serupa dalam Al Qur’an. Dalam hal ini beliau lebih cenderung untuk menolak adanya sinonimitas. Segala yang disampaikan di dalam Al Qur’an memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Allah SWT. Berfirman;
..... ما فرطنا فى الكتاب من شيئ[7]
Dalam kitab tafsirnya, at Tafsir al Bayani Lil Qur’anil Karim, disebutkan dengan pendekatan metode istiqra’ tentang penggunaan beberapa kata yang mempunyai arti kata yang sama namun berbeda dalam pengertiannya.
a)      Kata khalafa dan aqsama[8]
Kata khalafa
Kata aqsama
Wa yahlifuna billahi Innahum laminkum wama hum minkum (QS. Taubah; 34)
La uqsimu bi yaumil qiyamah (QS. Qiyamah;1)
Wa yahlifuna ‘alal kadzibi (QS. Mujadalah; 14)
Fala Uqsimu bima tubsirun (QS. Al Haaqah;34)
Wa la tuti’ kulla hallafin mahin
Fala Uqsimu bil Hunnas (QS. At Takwir;
Dari sini beliau berkesimpulan bahwa kata aqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah untuk dilanggar. Terlihat rata-rata Fa’il dari kata ini lebih banyak kembali kepada Allah. Sedangkan kata khalafa digunakan untuk sumpah yang ada potensi untuk dilanggar, terlihat rata-rata Fa’il dari kata ini lebih banyak kembali kepada selain Allah.

b). Kata na’y dan bu’d. Kata na’y merujuk kepada jarak yang kaitannya dengan permusuhan dan suasana. Sedangkan bu’d lebih kepada jarak dalam konotasi waktu dan tempat.
c). Kata hilm dan ru’ya. Kata hilm merujuk kepada mimpi yang tidak jelas tentang kebenarannya. Sedangkan ru’ya lebih kepada hal yang telah pasti dan jelas.
Pernyataan yang serupa juga disampaikan beberapa ulama adab diantaranya Ibnu Jinni dan Ibnu Faris.
3. kata Kabad dalam Q.S. Al- Balad: 4
ôs)s9 $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# Îû >t6x. ÇÍÈ  
 “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”.
Kata kabad yang dalam terjemahannya diartikan dengan “kesusahan”, merupakan sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan panjang, dan memunculkan pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu Syathi’ dalam menafsirkan kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang keadaannya. Kata tersebut mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul tanggung jawab dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang kemudian diungkapkan oleh Bintu Syathi; sebagai kabadnya, bebannya, penderitaannya jika ia memang memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’ memperkuat argumennya dengan mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Q.S. Al-Balad : 8-10.
óOs9r& @yèøgwU ¼ã&©! Èû÷üuZøŠtã ÇÑÈ   $ZR$|¡Ï9ur Éú÷ütGxÿx©ur ÇÒÈ   çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ
   “Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan”.
Bintu Syathi’ menyatakan bahwa dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan yang menuju kepada kebaikan dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di pisahkan secara tegas sehingga manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini. Dan ketika manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
4. Israiliyyat
Terma ini merupakan problem tersendiri di kalangan beberapa ulama tafsir. Banyak dari mereka yang terjebak menyantumkan argumen-argumen penguat analisa tafsir yang referensinya masih dipertanyakan. Diantaranya israiliyyat (kabar tentang zaman pra-Islam yang disampaikan oleh para ahli kitab). Seiring dengan tuntutan dari umat untuk lebih mengetahui detil peristiwa dalam Al Qur’an.


Dalam usahanya untuk menyingkirkan unsur unsur luar dan asing dalam pemahaman atas Al Qur’an, dalam tafsirnya, Bintu Syathi’ menolak untuk terlibat dalam pembahasan-pembahasan mendetil mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab Injil, Taurat, dan rekaman-rekaman Arab serta non Arab yang bersifat mistis atau historis, jika didalam Al Qur’an terdapat rujukan kepada materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut. Ia menyatakan bahwa, jika Al Qur’an memang bermaksud mengungkap sejarah dalam detilnya, kitab suci ini pasti telah melakukannya. Namun Al Qur’an menggunakan materi-materi semacam itu dalam bentuk sebuah ringkasan biasa, yang berarti bahwa apa yang diinginkan untuk diperhatikan adalah teladan-teladan moral yang harus ditelaah dan pelajaran-pelajaran spiritual yang harus diturunkan darinya.[9]


baca kelanjutannya di: contoh aplikasi penafsiran bintu syathi'




[1] Nasr Hamid abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin (Yogyakarta: LkiS. 2001), h. 126
[2] A’isyah Bint Al-Syathi, Al-Qur’an wa al-Tafsir al-‘Asyri (Mesir: Dar al- Ma’arif, 1970), h.43
[3] Hal ini terlihat ketika ia menginterpretasikan surat al-Dhuha dalam A’isyah Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990), cet-7, h. 23
[4] Analisa lebih mendalam mengenai penerapan teori ini dapat dilihat di dalam Ali al-Shabuni, Rawa’I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, juz I. (Beirut: ‘Ali al-Kutub, 1987), h. 615
[5] A’isyah Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990), cet-7, h. 53

Related Posts:

0 Response to "PERSPEKTIF BINTU SYATHI' TENTANG ASBAB NUZUL/ASBABUN NUZUL(makalah lengkap)"